Sedang Membaca
Sabilus Salikin (20): Pengertian Sufi dan Tasawuf (lanjutan)
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Sabilus Salikin (20): Pengertian Sufi dan Tasawuf (lanjutan)

Sabilus Salikin (1): Islam, Tasawuf, dan Tarekat 1

Sabilus Saikin bagian ke-20 masih melanjutkan pengertian sufi dan tasawuf  menurut ulama dalam kitab Tahdzîb al-Asrâr fî Ushûl al-Tasawuf. Bagian sebelumnya menjabarkan pengertian sufi dan tasawuf hingga nomor 45. Berikut ini lanjutannya.

  1. Abû ‘Ali al-Hasan, sufi adalah kaum pilihan, dia dipilih maka dia memilih.
  2. Abû Husain bin Jarîr, sufi adalah orang yang tidak terhalangi oleh bumi dan langit dan tidak tertutupi kecuali pandangan yang belawanan.
  3. Abû Bakar Muhammad bin Mûsa al-Wasîthi, sufi adalah orang yang ucapannya penuh dengan ibarat, serta hatinya menerangi jalan fikirannya.
  4. ‘Ali bin Sahal, sufi adalah orang yang bersih dari bencana dan sirna dari melihat pemberian.
  5. Qazuwainî, Tasawuf adalah ilmu yang diperoleh tanpa belajar dan tanpa usaha.
  1. Abû Ja’far al-Haddâd, tasawuf adalah merasa tenang terhadap Allâh SWT, dan Lari dari makhluk.
  2. ‘Ali bin ‘Abdullah, tasawuf adalah ilmu yang samar sifatnya tapi tetap hakikatnya
  3. Abul Husain al-Zanjânî, tasawuf adalah bagusnya amal (perbuatan), sempurnanya ‘ubudiyah (ibadah) dan meRasa fakir kepada Allâh SWT serta bagusnya orang yang mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW.
  4. Abul Husain al-Warâq, sufi adalah orang yang jika dihadapkan pada dua keadaan, maka dia akan memilih hal yang paling baik dan yang paling luhur.

 

  1. Abû ‘Abdullah bin Jallâ’, sufi adalah;
    1. Orang yang fakir dan sunyi dari sebab
    2. Orang yang selalu bersama Allâh SWT dimanapun berada dan dia tidak tercegah dari Allâh SWT oleh setiap kedudukannya.
  2. Ibnu Yazdâniyâr, tasawuf adalah orang yang menerima agama dengan baik, menjaga, membersihkan dan memenuhi.
  3. Ghânim bin Sa‘îd, tasawuf adalah memuliakan kefakiran dan mengagungkan Allâh yang H

 

  1. ‘Utsmân al-Maghribî, tasawuf adalah keadaan hatinya bercampur kebingungan dan orang yang bingung tidak ada nama yang dikenal.
  2. Abû Hatim al-‘Athâr, sufi adalah mereka para pemimpin yang membentangkan pemberitahuan.
  3. al-Quhthabî, sufi adalah orang yang mensifati seluruh dhahirnya sebagai pertanda dirinya, meremehkan segala sesuatu yang rusak (sesuatu selain Allâh), jiwanya resah meninggalkan segala sesuatu yang bisa mendekatkan diri kepada Allâh SWT (taqarrub), jiwanya memutuskan bukti dan faidah, keadaan jiwanya merasa lemah berhadapan dengan Allâh SWT.

 

  1. Abû Bakar bin Sannân, tasawuf adalah engkau menemukan kelemahan dalam dirimu, sehingga kekuasaan (Allâh) menjadi jelas terhadapmu.
  2. Zanzânî, tasawuf adalah menghilangkan kedudukan, tidak menghiraukan kehidupan dunia dan akhirat (lebih mementingkan bermu‘amalah dengan Allâh), setiap orang yang kembali kepada Allâh maka dia telah mengesakan Allâh. setiap orang yang kembali kepada nafsunya maka dia telah menemukannya. Setiap orang yang kembali kepada makhluk maka dia telah menemukan mereka. Dan hal ini telah diketahui.

 

  1. Yûsuf bin Husain, beliau berkata;
    1. Tasawuf adalah menanggung resiko dalam bermu‘amalah dengan Allâh sampai tidak menggunakan beberapa waktu yang dimakruhkan
    2. Orang-orang terbaik dari sufi adalah yang terbaik dari manusia, yang terjelek dari sufi adalah yang terjelek dari manusia, sehingga para sufi adalah yang terbaik atas segala keadaan
    3. Setiap umat memiliki ahli sufi, mereka adalah titipan Allâh yang keberadaannya diRahasiakan dari manusia.

 

  1. Abû Bakar al-Warâq, sufi adalah orang yang hatinya bersih dari macam-macam kotoran, hatinya selamat dari kejelekan orang lain, hatinya mengakar dengan sifat mengerahkan seluruh kemampuan dan lebih mementingkan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri (ngalah).
  2. Abû Bakar bin Thâhir: sufi adalah orang yang tidak cinta dengan jin dan manusia dibanding Allâh (lebih mencintai Allâh), karena barang siapa yang cinta tanpa melibatkan Allâh maka dia tidak beruntung.
Baca juga:  Kisah Sufi Unik (27): Ketika Abu Ya'kub al-Nahrajuri Mengkritik Orang Pelit

 

  1. al-Zaqâq, sufi adalah orang yang menjadikan pekerjaannya mengikuti kehendak orang lain (tidak mengecewakan).
  2. Abû Ya’qub al-Muzâbili, tasawuf adalah melenyapkan keadaan jiwa dalam sisi kemanusiaan (keadaan hati tidak ditunjukkan kepada manusia).
  3. Hasnûn al-Dainûri, tasawuf adalah menjaga dzat yang disembah, meniggalkan sesuatu yang tidak ada, dan mengambil sesuatu dari yang ada.

 

  1. Abû Bakar al-Zâhdâbâdî, tasawuf adalah
    1. Meniggalkan Rasa aman dari ajakan nafsu
    2. Tidak hidup kecuali dengan dzat yang wajib wujudnya di dunia dan akhirat.
  2. Abû Muhammad al-Zanjâni, tasawuf adalah mengeluarkan kesibukan dunia dari dalam hati.
  3. Abû Bakar al-HalanjiTasawuf adalah jernih, yang berarti orang yang mendatangi panggilan hakikat, yaitu tidak berbohong.

 

  1. Abû Hasan al-Sirwâni al-Kabîr, sufi adalah orang yang selalu bersama dengan al-Waridad (sesuatu pengetahuan ghaib yang datang ke dalam hati tanpa disengaja) bukan bersama wirid.
  2. Ja’far bin Muhammad bin Nashîr al-Khalidi, tasawuf adalah menenggelamkan diri dalam ibadah, keluar dari (kebiasaan) manusia, dan melihat kepada Allâh secara menyeluruh.
  3. Abû al-Hasan al-Bûsyanji, tasawuf adalah meringkas harapan, melanggengkan amal (ibadah), memperbanyak takut (kepada Allâh), dan menyedikitkan malas (beribadah kepada Allâh).

 

  1. Abû Bakar al-Daqi, sufi adalah;
    1. Bangun tidur langsung berdzikir atau tafakkur sampai tertidur
    2. Berhakikat dengan sungguh-sungguh bersama Allâh.
  2. Abû ‘Abdillah Ahmad bin ‘Athâ’ al-Rûdzabâri, sufi adalah orang yang merasa nikmat dengan cobaan karena dia tidak memandang terhadap cobaan itu, tetapi cara pandangnya kepada dzat yang telah menentukan cobaan tersebut, Allâh telah menentukan cobaan itu kepadanya sehingga dia merasakan kenikmatan terhadap sesuatu yang telah ditentukan oleh Allâh. Pandangan tersebut berlandaskan karena cinta kepada Allâh sehingga antara cobaan dan nikmat terasa sama.

 

  1. Umar bin Najîd, sufi adalah orang yang bersabar terhadap perintah dan larangan.
  2. Abû Abdillah bin Khafîf, Tasawuf adalah;
    1. Sabar atas berlakunya ketetapan Allâh dan mengambil sikap seperti sikapnya orang-orang pilihan, tidak mengambil amal yang ringan (rukhshah) karena takut dan lari dari api neraka
    2. Menghilangkan perilaku watak kemanusiaan, meletakkan sifat-sifat ruhaniah, (semua perilaku) berhubungan dengan ilmu hakikat, melakukan amal yang utama karena kehidupan akhirat yang abadi, memberi nasihat kepada seluruh umat, patuh kepada Allâh SWT secara hakiki, mengikuti syari’at Rasulullah SAW
    3. Tidak lupa, tidak melirik, tidak berpisah dari Allâh SWT, berbakti kepada orang tua, meninggalkan tuntutan nafsu dan meRasakan Rasa yang sama ketika dipuji dan dicela

Abû Abdillah bin Khafîf juga berpendapat, bahwa sufi adalah orang yang memperhatikan Allâh dengan sesuatu keadaan jiwa yang wajib dijaganya.

 

  1. Abû Sahal: tasawuf adalah berpaling dari pertentangan.
  2. Abû Qâsim al-Nashrâbadi:tasawuf adalah cahaya dari Allâh yang Haq yang menunjukkan jalan kepada-Nya, dan getaran dari jiwa (khatir) yang berasal dari Allâh yang memberi tanda isyarat menuju kepada Allâh.

 

  1. Husain al-Hamîri, sufi adalah;
    1. Orang yang tidak gelisah dalam kegelisahannya dan orang yang tetap dalam (maqam) ketetapannya
    2. Keberadaan Sufi ada dalam al-Wujdu (sesuatu pengetahuan ghaib yang datang ke dalam hati tanpa disengaja) dan sifatnya dalah hijab (penghalang)
    3. Orang yang tidak bisa angkat oleh bumi dan langit tidak bisa menaunginya (menurut Hadis qudsi bahwa langit dan bumi tidak bisa memuat Allâh, yang bisa memuat Allâh hanya hati hamba Allâh)
Baca juga:  Buku Ajar Sains Berperspektif Gender

لَايَسَعَنِيْ أَرْضِيْ وَلَاسَمَائِيْ وَلَكِنْ يَسَعَنِيْ قَلْبُ عَبْدِيْ التَّقِى، (فيض القدير ،ج 2 حديث 4969)

Dunia adalah alam jasmani sementara hati adalah alam ruhani. Alam jasmani tidak bisa memuat alam ruhani sehingga dikatakan bumi tidak mampu mengangkat dan langit tidak bisa menaungi orang sufi.

  1. Lebih mulia dibanding ungkapan bahasa akan tetapi barangsiapa yang menyicipinya maka dia menemukan rasanya.

 

  1. Abû Qasim Al-Râzî, tasawuf adalah;
    1. Keadaan jiwa yang tegak bersama dengan Allâh al-Haq
    2. Tasawuf dapat membuahkan tawaddhu‘, meninggalkan memandang selain Allâh dan meninggalkan meRasa bahagia dengan kefakiran (merasa lebih utama dari orang lain), melihat keutamaan orang-orang fakir, berubat kebaikan kepada seluruh makhluk baik mukmin dan kafir selama tidak merobohkan syari’at dan masuk pada kemakruhan.
  2. Abû Bakar al-Husaini al-Mukri, tasawuf adalah menjaga beberapa rahasia dan menjauhi hal-hal yang jelek.

 

  1. Manshûr bin Muhammad al-Sajzî, tasawuf itu menyedikitkan makan, tidur, merendahkan nafsu, berusaha sekuat tenaga melaksanakan taat dan meninggalkan maksiat.
  2. Husain bin al-Mutsannâ,tasawuf adalah membersihkan hati dari segala getaran hati yang rusak, dan jiwa bisa merasakan adanya al-Washlu (diterima oleh Allâh).
  3. Ruwaim al-Junaid, ketika ditanya apa itu tasawuf dan hakikatnya. Beliau menjawab, tasawuf adalah ambillah lahirnya jangan engkau bertanya tentang hakikinya sehigga engkau bisa tenggelam di dalamnya. Lalu Imam Ruwaim berkata, sufi adalah orang yang melaksanakan taat kepada Allâh tanpa ada yang mengetahuinya kecuali Allâh.

 

  1. Basyar, sufi adalah orang yang dikhususkan oleh Allâh.
  2. Abû Qâsim, sufi adalah orang yang bertambah ilmunya maka berkurang watak dasar kemanusiaannya, (Tahdzîb al-Asrâr fî Ushûl al-Tasawuf, halaman: 11-22).

 

Selanjutnya, Sayyidina ‘Usmân bin ‘Affan berkata; tasawuf adalah mencari washîlah menuju keutamaan, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 1 halaman: 100). Keterangan lain menyebutkan bahwa tasawuf adalah berakhlak dengan akhlak ketuhanan, (Mu’jam al-Kalimât as-Shûfiyah, halaman: 22).

 

Berikut ini penjelasan beberapa ‘Ulama’ tentang tasawuf yang terdapat di dalam kitab Hilyah;

  1. Abû Yazîd al-Rabi‘ bin Khutsaimberkata sesungguhnya tasawuf ialah memuliakan hati dan tidak menghiRAukan unsur lahir/zhahir, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 2, halaman: 5).
  2. ‘Urwah bin Zubair, tasawuf adalah menampakkan anugerah dan menyimpan cobaan, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 2, halaman: 70).

 

  1. Sâlim bin Abdullah, tasawuf adalah menetapi khudhu‘ (sifat tunduk) dan qunu‘ (sifat rendah diri) serta tidak berkeluh kesah, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 2, halaman: 70).
  2. Abû al-‘Aliyyah, tasawuf ialah ridha dengan bagian yang diterima dan dermawan dengan kenikmatan, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 2, halaman: 112).

 

  1. Muhammad bin Wâsi‘,sesungguhnya tasawuf ialah khusyû‘ (tunduk), khumûl (menyembunyikan amal yang baik dan menampakkan amal yang buruk), qunu‘ (sifat rendah diri), dan dzubûl (sifat layu), (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 2, halaman: 238).

Menurut Imam Qusyairi terdapat ciri-ciri kepribadian dan perilaku orang sufi;

عَلاَمَةُ الصُّوْفِيّ الصَّادِقِ: أَنْ يَفْتَقِرَّ بَعْدَ الْغِنىَ، وَيَذِلَّ بَعْدَ الْعِزِّ، وَيَخْفىَ بَعْدَ الشُّهْرَةِ، وَعَلاَمَةُ الصُّوْفِيْ اَلْكَاذِبِ: أَنْ يَسْتَغْنِيَ بِالدُّنْيَا بَعْدَ الْفَقْرِ، وَيَعِزَّ بَعْدَ الذِلِّ، وَيَشْتَهِرَ بَعْدَ الْخُلَفَاءِ، (الرسالة القشيرية، ص: 126-127).

 

Berikut ciri-cirinya yang terbagi menjadi dua;

  • Seorang Sufi Shâdiq: merasa miskin setelah memperoleh kekayaan, merasa hina setelah mendapatkan kemuliaan, dan menyamarkan dirinya setelah terkenal
  • Seorang Sufi Kâdzib: merasa kaya akan harta sesudah faqir, merasa mulia setelah hina, merasa terkenal yang mana sebelumnya dia tidak masyhur, (ar-Risâlah al-Qusyairiyah, halaman: 126-127).
Baca juga:  Empat Penjuru Pesantren di Jombang

 

Sementara itu, maqâm orang sufi ada tiga, diantaranya;

  1. Maqâm Islâm, kesempurnaan taqwâ dan istiqâmah
  2. Maqâm Imân, kesempurnaan thuma‘nînah dan yaqîn
  3. Maqâm Ihsân, adalah tingkatan yang tertinggi. Yaitu maqâm dimana seorang hamba dapat ber-musyâhadah (melihat Allâh dengan mata hati) atau merasa selalu diawasi Allâh, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 84).

 

Dalam Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’ disebutkan bahwa sufi adalah orang yang tidak memiliki apa-apa, serta tidak dikuasai oleh siapapun.

وَقِيْلَ: الصُّوْفِي مَنْ لَا يَمْلِكُ شَيْئًا وَلَا يَمْلِكُهُ شَيْءٌ،

Dikatakan bahwa seorang Sufi adalah orang yang tidak memiliki sesuatu, dan tidak pula dimiliki oleh apapun, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 329).

 

Kemuliaan dan keutamaan para sufi adalah bahwa mereka bisa mencapai Haqîqat Îmân dengan mewujudkan tiang atau rukun-rukun Îmân yang diantaranya adalah Îmân kepada Qadar, (baik dan buruknya, manis dan pahitnya) bagi mereka adalah sama dalam arti ridha, pasrah, kesempurnaan ma’rifat dan murninya keyakinan baik pada waktu gembiR maupun susah, waktu dalam kehinaan maupun kejayaan, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 69).

 

Fudhayl bin Iyad menceritakan kisah seorang raja yang terkenal dengan nama Sultan Hârun al-Rasyîd yang sedang mendengarkan nasihat seorang ‘ulama’ sufi yang bernama Syaikh Raja‘ bin Hayat yang mengatakan; “Wahai sultan jika anda ingin selamat dari siksa Allâh SWT di akhirat, maka cintailah orang-orang muslim seperti anda mencintai diri sendiri, apa yang anda benci pada diri sendiri berlakukanlah pada diri mereka (jika sudah bisa) lalu matilah sesukamu. Aku mengatakan ini kepada anda karena aku sangat khawatir pada suatu hari anda terpleset dari jalan kebenaran, apakah ada orang mengatakan hal ini pada anda sebelumnya dengan landasan belas kasihan dan memintakan rahmat Allah untuk anda?”

 

Seketika itu, Sultan Hârun al-Rasyîd menangis sampai tak sadarkan diri. Setelah sadar, Sultan  Hârun al-Rasyîd minta untuk dinasihati lagi. Kemudian Syaikh Raja‘ bin Hayat berkata; “Wahai pimpinan orang-orang mu’min, sesungguhnya paman nabi yang bernama abbas datang kepada nabi lalu bartanya tentang kepemimpinan”. Nabi SAW bersabda;

إِنَّ الْإِمَارَةَحَسْرَةٌ وَنَدَامَةٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا تَكُوْنَ أَمِيْرًا فَافْعَلْ.

“Sesungguhnya menjadi pemimpin adalah kesedihan dan penyesalan pada hari kiyamat, jika engkau mampu untuk tidak jadi pemimpin maka lakukanlah”.

 

 

Mendengar nasihat ini Sultan  Hârun al-Rasyîd menangis dengan keras lalu Sultan  Hârun al-Rasyîd meminta nasihat lagi, syaikh Raja’ bin Hayat berkata wahai orang yang wajahnya tampan anda akan ditanya oleh allah tentang keadaaan ini pada hari kiyamat, jika anda mampu untuk menjaga wajah tampan ini dari jilatan api neraka, maka hati-hatilah tiap pagi dan sore dalam hati anda ada tipu daya kepada salah satu rakyat anda karena Nabi SAW bersabda;

مَنْ أَصْبَحَ لَهُمْ غَاشًّا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ.

“Barang siapa pada pagi harinya memiliki tipu daya kepada manusia, maka dia tidak akan mencium bau surga”.

 

Kemudian Sultan Hârun al-Rasyîd menangis, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 6 halaman: 341).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top