Genap sepekan pernikahan yang dihelat oleh keluarga Presiden Joko Widodo bak etalase budaya Jawa. Arak-arakan pengantin Kaesang Pangarep-Erina bersama anggota keluarga dari Lodji Gandrung nenuju Pura Mangkunegaran laksana besi sembrani.
Masyarakat tumplek bleg hendak menyaksikan kirab kolosal itu. Selain ribuan tamu, terlihat pengawal yang merapatkan barisan sepanjang bibir Slamet Riyadi sampai istana Mangkunegaran mengenakan busana batik. Mereka tampak njawani. Batik membalut tubuh mereka yang kekar dan perut bidang.
Dari pagi hingga siang, jeda sebentar, lalu dilanjut malam hari, Pendapa Mangkunegaran yang megah itu menjadi saksi para tamu menyaksikan kebahagiaan “ragilnya” Presiden Jokowi melepas masa lajang.
Tampak pula penyanyi beken asal Surabaya, Ari Lasso, berbusana batik berfoto dengan mempelai. Tanpa harus menunggu berhari-hari, foto istimewa di Pura Mangkunegaran itu diunggah jebolan vokalis Dewa19 di instagram.
Seabad silam, tahun 1921, pendapa terbesar di Asia Tenggara itu juga dipakai buah hati Gusti Mangkunegara VII (1916-1944), Partini, menikah bersama Hussein Jayadiningrat, yang berasal dari keluarga darah biru Bupati Serang.
Belahan hati Partini ini adalah seorang cendekiawan Jawa yang pertama kali menyandang gelar guru besar di Indonesia. Sepasang pengantin tersebut memakai busana basahan yang enak dipandang dan memantulkan keluhuran sebuah warisan budaya Jawa.
Selepas acara “temu”, mereka berfoto dengan barisan tamu penting dari berbagai kalangan.
Ringkas kata, gara-gara Kaesang rabi (menikah), aspek batik kembali menyeruak diperbincangkan. Terlebih menyangkut motif batik berikut aturan pemakaiannya pada acara tertentu.
Batik Solo
Berbicara batik, kawasan Solo memang gudangnya. Kampung Laweyan sebagai situs industri batik tertua di Soloraya, masib berdenyut hingga kini.
Diyakini mengada sejak era kerajaan Majapahit dengan bukti kunjungan raja Hayam Wuruk ke daerah bawahan Pajang, Laweyan dengan bandar Kabanaran sudah ramai dengan bertumpu pada aliran Sungai Jenes untuk perdagangan lawe (kain).
Ekosistem Laweyan juga didukung dengan adanya kampung Sayangan yang memproduksi alat canting untuk membatik. Laweyan di kemudian hari menjawab tantangan batik yang tidak hanya dikenakan oleh bangsawan istana.
Sementara itu, hadir pula kampung Kratonan yang kini masih dijumpai jejaknya menggarap batik untuk keluarga aristokrat. Bakdi Soemanto, guru besar Universitas Gadjah Mada, salah satu anak yang lahir dari rahim pembatik Kratonan.
Semasa hidup, ia pernah bercakap dengan saya di Fakultas Ilmu Budaya “kampus biru” mengatakan bahwa orangtuanya menggeluti batik secara turun-temurun. Solo disampiri julukan “kota pemasok batik” terasa wajar dengan kehadiran kampung Kauman di area Istana Kasunanan yang turut meramaikan sandangan batik. Identitas Kauman sebagai daerah “alim ulama” saling bertindih dengan identitas kampung batik.
Mereka semua melayani permintaan pasar yang doyan memakai batik untuk keperluan formal maupun informal.
Muncul sepotong pertanyaan, bagaimana sebenarnya menitik atawa mengidentifikasi batik Jawa pedalaman, terutama Surakarta yang menjadi panggung pernikahan Kaesang?
Belum lama saya ngobrol ngalor ngidul bersama Gusti Dipokusumo, buah hati Paku Buwana XII. Ia mengisahkan, saat berusia kecil, dirinya masih menangi (melihat) abdi dalem pembatik di njero keraton untuk meladeni permintaan pakaian batik keluarga inti Paku Buwana XII.
Menurutnya, paling gampang menyorot batik Solo adalah motif yang dipakai dalam tradisi yang sudah dibakukan dan dilestarikan berabad-abad.
Cirikhas batik Solo bukan hanya pada sogan. Secara semantik, “sogan” berasal dari kata “soga”. Soga merupakan nama tumbuhan dari keluarga papilionaceae dan berwarna kuning.
Dengan penggunaan pewarna alami tersebut, mengakibatkan warna batik terasa lebih sejuk. Sogan Solo berkelir coklat, dengan sedikit warna jingga. Batik sogan yang klasik ini senantiasa dirimbuni peminat, dan telah teruji waktu.
Di samping pantas dipakai pada acara formal, baju batik sogan juga bagus dikenakan tatkala bersantai atau kasual.
Selain sogan, aspek paling mudah ditengarai batik Surakarta ialah motif yang galib dipakai dalam acara mitoni atau tingkepan. Kebetulan, ritual mendoakan bayi dalam kandungan perut berusia tujuh bulan itu dicatatkan oleh pujangga Surakarta Ki Padmasusastra dalam Serat Tatacara.
Dalam naskah tua yang ditulis akhir abad XIX itu, pujangga Jawa modern ini merekam beberapa tahapan dalam upacara tradisional mitoni, salah satunya ganti busana oleh suami-istri. Dalam aturan yang dibakukan tradisi besar (keraton), pihak penyelenggara menyediakan 7 buah motif kain batik yang berbeda.
Asa tersirat pada motif kain dan kemben yang bakal dipilih bahwa si bayi kelak memiliki kebaikan yang tersimbolkan dalam lambang kain.
Mari kita deretkan motif kain tersebut: (1) sidomukti menyimbolkan kebahagiaan; (2) sidoluhur melambangkan kemuliaan; (3) truntum menyiratkan segenap nilai kebaikan selalu dipegang teguh; (4) parangkusuma melambangkan perjuangan untuk tetap hidup;
(5) semen rama melukiskan supaya cinta kedua orangtua yang sebentar lagi menjadi bapak-ibu tetap bertahan selamanya atawa tidak terceraikan; (6) udan riris mengandung sepucuk asa supaya kehadiran buah hati dalam masyarakat senantiasa menyenangkan; (7) cakar ayam menyimbolkan anak yang bakal lahir itu bisa mandiri memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kemudian, kain terakhir yang tercocok ialah kain berbahan lurik bermotif lasem dengan kemben motif dringin.
Demikianlah, sepenggal pemahaman tentang batik yang sempat mengundang penasaran khalayak saat gelaran pernikahan Kaesang Pangarep.
Batik tidak hanya sedap dipandang, tetapi juga memberi makna yang bertemali erat dengan falsafah hidup, pesan, dan harapan yang tulus bagi si pemakai.
Batik yang semula menjadi busana di lingkaran keraton, meluber ke masyarakat luas tetap membungkus pesan mulia.
Demokratisasi atas busana batik tidak merontokkan pesan arif yang termaktub. Lewat selembar batik, kita melangitkan doa.