“Bukanlah orang kuat yang selalu mengalahkan lawannya dalam pergulatan, orang kuat yang sebenarnya adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” HR al-Bukhari (no. 5763) dan Muslim (no. 2609)
Tersebut seorang peminat seni beladiri bernama Rashid Patch yang bermukim di Amerika Serikat. Pada tahun 1960-an dan 1970-an dia sangat tekun dalam mempelajari berbagai macam aliran bela diri, dari Karate, Judo, sampai Aikido. Dia juga mempelajari Kung Fu aliran Wing Chun di bawah asuhan murid Bruce Lee.
Beberapa waktu kemudian, latihan utama dia adalah Tai Chi Chuan. Tai Chi Chuan adalah Tai Chi bela diri yang bentuk latihannya adalah saling melemparkan tubuh lawan di ruangan latihan dan jurus-jurus senjata. Ingat, ini bukan Tai Chi yang lembut dan elegan “untuk kesehatan” seperti yang sering terlihat di taman-taman atau lapangan terbuka.
Guru Rashid adalah seorang Master Taois bernama Master atau Sifu Chu. Dia belajar pada Master Yang Chen Fu, salah satu seniman beladiri terkenal di abad ke-20. Sifu Chu berusia sekitar 60-an sampai 70-an. Badannya kecil dan ringan. Sifu Chu memiliki penampilan riang dan kharismatik. Tapi, apabila dia mau, dia akan “menyelubungi” dirinya sehingga hampir tak diketahui dan nyaris tak terlihat. Tampaknya ini adalah hasil pencapaian mistis Sifu Chu.
Karena badan Rashid besar dan tinggi dibanding kebanyakan murid lainnya, Sifu Chu menjadikannya “mainan” untuk mendemonstrasikan teknik-tekniknya. Kendati berat Rashid 230 lbs (104 kg), sementara Sifu Chu hanya sekitar 110 lbs (50 kg), tapi dengan mudahnya, hanya dengan satu tangannya Sifu Chu melemparkan Rashid sekitar 30 kaki (1 m) ke udara. Sifu Chu akan bilang,”Pukul aku di kepalaku, beneran, jangan bo’ongan. Aku mau tunjukkan tekniknya.”
Rashid pun akan meninju dengan sungguh-sungguh dan terpental sambil membatin, “Ini luar biasa…”.
Setelah setahun belajar dengan Sifu Chu, Rashid mengerti teknik yang biasa digunakan gurunya. Tapi, anehnya, setiap kali sang Sifu melemparkannya, Rashid tak pernah merasakan sentuhan gurunya itu.
Di setiap sesi yang dijalani Rashid, pada satu saat tertentu sang Sifu akan menghampirinya dan bilang, “Kuda-kudamu sangat bagus. Tapi hatimu lemah. Kamu harus melatih hatimu.” Dalam seminggu, Sifu Chu akan bilang hal ini pada Rashid tiga sampai empat kali. Dan ini berlangsung sampai beberapa tahun. Rashid berharap sang Sifu akan memberinya latihan pernafasan Taois khusus atau latihan meditasi untuk melatih hatinya, namun apa yang dibilang gurunya hanya, “Hatimu lemah. Kamu harus melatih hatimu.”
Beberapa tahun berlalu, Rashid menjadi murid senior. Setiap hari ia selalu datang lebih awal untuk memastikan apakah ruangan sudah bersih, lantai sudah dipel. Suatu petang, Sifu Chu datang lebih awal, sekitar 20 menit sebelum sesi dimulai.
Perlu diketahui, sifu Chu selalu datang tepat waktu dan masuk ruangan tanpa diketahui. Setelah lima menit berlalu, dia akan berseru, “Kenapa kalian belum juga berlatih?” Petang ini, dia datang lebih awal, sungguh mengejutkan.
Dia menghampiri Rashid dan berkata,”Aku ketemu latihan yang bisa melatih hatimu. Ayo, ikuti aku.” Dia meraih tangan Rashid dan membimbingnya ke luar pintu. Mereka berjalan beberapa saat dan sampai di depan satu bagian toko dengan tulisan “Disewakan” tergantung di jendelanya.
Sifu Chu bilang,”Kemarin waktu aku berjalan di saat petang, aku lihat ada satu kelompok yang berlatih. Latihannya cocok buat melatih hatimu.”
Kemudian, dia menggiring Rashid kembali ke aula latihan, di mana saat mereka tiba tepat waktu sesi latihan akan dimulai.
Rashid menghabiskan waktu seharian bahkan lebih mencoba menghubungi agen penyewaan lokasi yang ditunjukkan Sifu Chu tadi.
Akhirnya ia mendapat informasi bahwa satu kelompok sufi menyewa ruang toko tersebut untuk melakukan halaqah zikir di satu petang. Rashid tidak tahu sama sekali tentang sufi atau apa yang mereka kerjakan. Tapi, paling tidak dia telah dapat nama kelompok tersebut berikut nomor telepon mereka.
Ketika ia pergi ke latihan Tai Chi malam itu, ia ingin memberitahukan Sifu bahwa ia sudah menemukan apa yang disitir gurunya. Tapi, sang Sifu memotong kata-kata Rashid dan bilang,”Aku punya pengumuman penting!” Para murid pun berkeliling di sekitarnya dan Sifu Chu bilang bahwa dia akan berlibur. Rashid cs semua berpikir bahwa itu gagasan bagus dan bertanya apa yang akan dikerjakannya selama liburan. Dia bilang bahwa dia ingin menyambangi beberapa gunung. Ada yang bilang padanya bahwa Colorado punya pegunungan yang baik. Karenanya dia bermaksud pergi ke Colorado. Rashid dan yang lainnya bertanya berapa lama liburannya, dia menukas, “Dua minggu.”
Dua minggu pun berlalu. Kelas Guru Chu berkumpul, namun sayangnya sang guru tak hadir. Merasa khawatir, mereka berombongan menuju apartemen Sifu Chu. Nihil. Alamat yang menunjuk keberadaan sang guru pun tidak ada.
Para murid ini semuanya tercenung dan teringat kisah Lao Tsu, Pendiri Taoisme. Hikmat dari kisah Lao Tsu bilang: Jangan pernah membiarkan guru Taois Anda pergi ke gunung! Begitulah mereka kehilangan Lao Tsu! Diceritakan bahwa Lao Tsu adalah seorang pustakawan Kekaisaran dan terkenal sebagai guru hikmah.
Confucius, yang hidup semasa dengannya, berkata tentangnya, “Aku telah bertemu orang bijak dan arif, dan aku telah bertemu Lao Tsu. Lao Tsu bukanlah keduanya, dia adalah naga!” Namun, Lao Tsu tak menulis apa pun tentang hikmahnya. Satu hari, dia meninggalkan ibukota, dan penjaga perbatasan mengenalinya saat ia hendak meninggalkan negeri itu. Si penjaga menahannya, “Anda adalah guru besar, bagaimana anda pergi tanpa meninggalkan satu catatan pun tentang filosofi anda?” Lao Tsu meminta kuas dan tinta. Dia duduk di meja penjaga dan menulis Tao Te Ching, sebuah risalah pendek tentang kebijaksanaan Tao. Dia menyerahkan risalah tersebut pada si penjaga dan melanjutkan perjalanannya melintasi perbatasan menuju pegunungan. Sejak itu ia tak pernah terlihat lagi.
Rashid berpikir bahwa dia dan kelasnya telah membiarkan Sifu Chu pergi ke gunung dan pergi tanpa jejak. “Awan bersembunyi, tak tahu di mana gerangan”. Demikian semua membatin. Bagi Rashid apa yang dipunyai sekarang hanyalah instruksi untuk melatih hatinya dan nama satu kelompok sufi. Rashid melacak mereka dan mulai menghadiri halaqah zikr.
Tiga tahun kemudian, Rashid menerima panggilan telepon bersemangat dari salah satu anggota kelas lama Sifu Chu. Saat berjalan di Pecinan San Fransisco, mereka mengenali salah seorang cucu Sifu Chu di jalan. Bergegas mereka menembus lalu lalang, dan menyergah sang cucu, “Di mana guru Chu?” Sang cucu memberi mereka alamat di Los Angeles.
Rashid pun terbang ke Los Angeles. Tak ada nomor telepon, jadinya ia hanya menuju ke alamat yang didapat. Ia tiba di pintu apartemen yang tinggi dan mengetuk. Pintu terbuka, dan itulah Sifu Chu. Sang guru memandang Rashid dan langsung berkata, “Ah! Hatimu sudah banyak terlatih!”
Setelah beberapa percakapan, sang guru berkata pada Rashid, “Aku sudah pensiun sekarang. Kau terus lakukan latihan ini, bagus untuk hatimu.”
Kaum sufi membawa Rashid pada halaqah zikir. Setelah beberapa waktu, dia mulai menyadari bahwa semua wali sufi besar punya nama muslim.
Setelah 4-5 tahun menjalankan zikir secara teratur, seorang syekh di Kairo menanyai Rashid, “Apakah engkau setuju, La ilaha illa Allah?”. Rashid menjawab, “Tentu saja”. Syaikh itu melanjutkan, “Apakah engkau setuju Muhammad rasulullah?”
Rashid menjawab, “Dia (Muhammad) diawasi secara dekat selama puluhan tahun oleh sahabat dan musuh besarnya. Kalau dia menipu, atau andaikata berkhayal, pastilah hal itu tercatat. Karena musuh-musuhnya tak menemukan bukti, maka kesimpulan satu-satunya yang mungkin adalah dia memang nabi.”
Syekh itu bilang, “Maka kamu seorang muslim. Kamu perlu belajar lebih banyak lagi, insya Allah, Tuhan akan memudahkanmu untuk belajar.” Sang syekh tak pernah bertanya tentang apa yang dipercaya Rashid, ia perhatian hanya pada apa yang mau diakui oleh Rashid secara terbuka.
Rashid tak pernah lagi melihat Sifu Chu setelah pertemuan pada 1979 itu. Surat-surat yang dikirimnya kembali dengan ditandai “alamat tidak lengkap”. Tak ada yang pernah menelusur ke keluarganya. Hilang tanpa bekas. Itulah pengalaman Rashid dengan seorang master Taois.
Sampai kini Rashid tetap menjalankan zikrullah karena bermanfaat untuk hatinya. Kelompok sufi di mana Rashid melatih hatinya adalah kelompok tarekat Chistiyah. Cerita Rashid ini memperlihatkan bahwa bagi seorang master Taois, hati yang bersih adalah hal yang tak kalah penting dalam seni bela diri. Semakin hati bersih semakin mencerapi kebijaksanaan bela diri.