Sedang Membaca
Humor: Menyembuhkan Batin, Menanamkan Spiritualitas
Muhammad Syafi'i
Penulis Kolom

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Aktif di Lingkar Studi Agama dan Filsafat Yogyakarta

Humor: Menyembuhkan Batin, Menanamkan Spiritualitas

Sewaktu saya mengerjakan tugas review jurnal berbahasa Inggris dari Professor di kampus saya, entah kenapa tiba-tiba bola mata dan fokus pikiran saya menyoroti redaksi salah satu kata dalam jurnal tersebut. Kata itu adalah “comedic”.

Yap, saya terhenti sejenak dan membayangkan lebih jauh bahwa ada gagasan yang tampaknya menarik untuk bisa dibahas lebih lanjut.

Comedic dalam kamus Thesaurus merupakan sesuatu yang memiliki relasi dengan komedi, tepatnya adalah cara bagaimana seseorang membuat orang lain menjadi tertawa atau merasa terhibur. Comedic juga ditujukan kepada media humor sebagai alat untuk mengibur diri. Sementara medic, dalam bahasa Indonesia sering disebut medik, merujuk kepada pengobatan atau atau sesuatu yang dapat menyembuhan rasa sakit atau penyakit tertentu.

Relasi comedic dan medic tampaknya tidak sekadar kedekatan dari segi bahasa sebagaimana ketidaksengajaan yang kemudian saya sadari. Mereka juga dekat dalam segi pemaknaan.

Jika pengobatan medis atau medic adalah metode dalam rangka menyembuhkan penyakit fisik maka komedi (comedic) justru menyembuhkan penyakit batin, bahkan juga berpotensi untuk mengupayakan penyembuhan penyakit fisik.

Namun tidak seperti pengobatan medis yang wujudnya bisa kita indera, komedi dengan ciri khasnya yang mengandung humor tidak berperan secara langsung dalam bentuk fisik, melainkan melalui dimensi psikologis. Entah ini suatu kebetulan, sejauh pengetahuan saya belum ada referensi ilmiah yang menyatakan bahwa comedic berasal dari medic.

Oleh karenanya, dari faktor ini saya tertarik untuk mengupas humor dalam konteks keberagamaan kita hari ini.

Tertawa: Tanda Kebahagiaan dan Ekspresi Kebebasan

Humor dalam kehidupan memiliki peranan yang sangat sentral. Dari dulu hingga kini, humor memberi kita akses kepada cara komunikasi yang bersahabat dan keluar dari urat-urat ketegangan. Dengan humor manusia mampu menyadari keberadaannya sebagai makhluk bermain (homo ludens).

Baca juga:  Bagaimana Cara Mendidik Anak-anak Bertoleransi?

Bermain dengan segala sesuatu yang ada di sekelilingnya, terutama dengan bahasa yang menjadi alat komunikasi antar individu secara verbal. Humor menjadi aspek yang tak bisa ditolak bahkan oleh manusia yang serius sekalipun.

Di mana ada humor, di situ ada tawa. Itu berarti humor mampu menjadi sarana hiburan dan pelipur lara yang ampuh. Bahkan dalam humor yang bersifat serius seperti protes sosial dan erotis sekalipun orang justru merasakan daya hibur humor lebih mendalam.

Humor mampu menyalurkan ketegangan batin yang menyangkut ketimpangan norma masyarakat yang dapat dikendurkan melalui tawa.

Menurut penelitian, tawa yang dihasilkan dari mendengar humor dapat memelihara keseimbangan jiwa dan kesatuan sosial dalam menghadapi keadaan yang tidak tersangka-sangka atau perpecahan masyarakat (Danandjaja, 1989, 498).

Ini berarti humor tidak selamanya bersifat agresif dan radikal yang memfrustasikan sasaran agresifnya dan memprovokasikan perubahan, serta mengecam sistem sosial masyarakat, tetapi dapat pula bersifat konservatif yang memiliki kecendrungan untuk mempertahankan sistem sosial dan struktur masyarakat yang telah ada.

Memang ada sebagian orang yang mengatakan bahwa tidak selalu orang yang tertawa menandakan bahagia, namun dari ekspresi itu kita tahu bahwa tawa yang dihasilkannya menandakan kebebasan dan kelapangan. Dalam situasi masyarakat yang telah memburuk misalnya, humor memiliki posisi penting.

Ia mampu membebaskan manusia dari beban kecemasan, kebingungan, kekejaman, dan kesengsaraan. Dengan demikian manusia dapat mengambil tindakan penting untuk memperoleh kejernihan pandangan sehingga dapat membedakan apa yang benar-benar baik dan benar-benar buruk.

Baca juga:  Jika Musik Haram, Kata al-Ghazali, Maka Suara Burung Haram Pula

Dengan humor, manusia dapat menghadapi ketimpangan masyarakat dengan canda dan tawa. Inilah mengapa humor mampu menjadi alat psikoterapi, ia mampu memberi penyembuhan psikologis, terutama bagi masyarakat yang sedang berada dalam proses perubahan kebudayaan secara cepat, seperti Indonesia.

Berpikir Jernih dengan Humor

Sebagai agama yang mengandung nilai-nilai progresif, Islam memiliki karakter untuk melakukan kritik terhadap ketidakberesan masyarakat maupun otokritik untuk umatnya. Karenanya pesan-pesan agama yang progresif itu tidak jarang mengalami bias makna ketika sampai kepada pemahaman masyarakat, dalam arti mungkin bisa terjadi ketegangan akibat penyampaian yang serius dan terkesan memaksa.

Maka sekali lagi, humor mendapat momennya sehubungan dengan penyampaian risalah agama.

Melalui humor yang menghibur, ajaran agama yang sebenarnya mengandung doktrin serius bisa lebih mudah dicerna, dipahami, dan diterima. Bahkan dalam kritikan-kritikan pedaspun, selama dalam rangka humor, tidak dirasa begitu melecehkan atau mempermalukan.

Di Indonesia, salah satu tokoh paling fenomenal dalam menggelontorkan humor spontan, segar, dan cerdas adalah Gus Dur. Selalu ada humor-humor yang terselip dalam sisi kehidupannya, bahkan dalam agenda serius kenegaraan, seorang Gus Dur menampilkan diri sebagai sosok yang jauh dari sikap tegang. Meski begitu, humor Gus Dur bukan tanpa makna, bahkan hanya dengan kalimat singkat seringkali kita sudah menangkap pesan filosofis yang ia sampaikan. Ini yang tidak dimiliki kebanyakan presiden Indonesia, bahkan di seluruh dunia.

Sebagai contoh, misalnya ketika adanya kontroversi mengenai wacana negara kesatuan dan negara federal. Amien Rais (PAN) waktu itu memilih negara federal, sementara Akbar Tandjung (Golkar) dan Megawati (PDIP) tidak setuju karena berpotensi memecah persatuan bangsa. Ketika ditanya soal ini Gus Dur hanya menjawab:

Baca juga:  Selawat Zamzani: Tradisi Mencintai Nabi Khas Ponorogo

“Kalau saya begini saja, namanya tetap negara persatuan tetapi isinya pakai negara federal. Gitu aja kok repot”.

Dari situ, Gus Dur tidak sekadar berhumor tetapi memberi pelajaran berharga tentang pentingnya mengambil esensi dari segala sesuatu. Jangan hanya karena ia sudah terkotak-kotak lalu kita larut mempersoalkan pengotakannya dan melupakan semangat awal sebelum adanya pembedaan itu. Seringkali kita terselimuti oleh hal-hal yang hanya melingkupi sekitarannya sehingga kesimpulan kita menjadi tidak jernih.

Sebelum menutup ini, saya jadi teringat dengan salah seorang ulama tasawuf yang juga sangat humoris di daerah saya di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Biasanya akrab dipanggil Guru Zuhdi. Beliau mengatakan (dalam bahasa Indonesia):

“Saya ini harus bagaimana lagi dengan umat Rasulullah, tugas saya ini hanya membantu agar Islam yang damai bisa tercipta dan yang paling penting adalah bagaimana membuat kalian yang mendengar jadi bahagia dan tidak mudah marah. Marah itu adalah sumber segala masalah. Ia membuat kita menjadi tegang dan dikuasai nafsu. Karenanya, saya lebih sering guyon kepada kalian ketimbang berceramah seperti orang-orang, karena rasanya saya tidak berhak menggurui kalian.”

“Seandainya kalian diperlihatkan, ketika kalian terhibur dengan setiap guyonan itu, sesungguhnya hati kalian menganga, disitulah ruh dari ilmu yang kita pelajari sama-sama ini masuk ke dalam qalbu. Inilah semangat ajaran Rasulullah, mendahulukan aspek batiniyyah agama. Karena, batin yang bersih akan memancarkan pikiran yang jernih, dan pikiran yang jernih akan melahirkan manusia dengan akhlak yang penuh kasih, sebagaimana luhrunya akhlak baginda Rasulullah SAW”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top