Sejarah tak cuma bergerak dengan tulisan dan pidato di rapat umum. Sejarah bukan sekadar deretan lagu dan slogan. Sejarah belum sempurna meski telah ada bendera. Sejarah masih terus menginginkan lengkap dan bergairah. Kita mengartikan itu menikah. Sejarah di Indonesia, sejarah memuat gejolak-gejolak perasaan berjudul pernikahan. Sejarah pun memiliki halaman perceraian.
Sejak awal abad XX, para penggerak Indonesia biasa bermasalah dengan asmara atau pernikahan. Soetomo mendapat kritik dan serangan gara-gara tak menikah dengan perempuan bumiputra. Ia telah sanggup mendirikan Boedi Oetomo tapi mudah dihajar sesama anak jajahan mengacu pernikahan. Babak sejarah di Indonesia memang makin seru akibat pernikahan. Dulu, pemicu terbesar: Kartini. Ia saat masih gadis memberi seruan-seruan besar melalui surat-surat. Dilema dan konflik menghasilkan “kepasrahan” dalam pernikahan. Seratusan tahun lalu, kita mencatat dua pernikahan dalam arus sejarah Indonesia menimbulkan keharuan: Kartini dan Soetomo.
Pada situasi berbeda, sejarah bertambah meriah saat Soekarno memuja Inggit Garnasih. Kedatangan ke Bandung mula-mula untuk studi dan politik. Detik-detik bergerak, asmara pun bergejolak. Soekarno menggandrungi Inggit Garnasih. Ia dijadikan perempuan idaman meski masih milik orang lain (Sanoesi). Soekarno tak ingin melanjutkan lakon bersama Oetari. Soekarno menanti untuk bisa menikahi Inggit Garnasih. Penantian berbarengan keberanian-keberanian membarakan ide-ide Indonesia.
Kini, kita mengenang peristiwa 100 tahun silam. Ingatan agar album sejarah Indonesia tetap mementingkan tema pernikahan. Soekarno dalam buku berjudul Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat (1966) mengungkapkan: “Inggit dan aku kawin ditahun 1923. Keluargaku tak pernah menjuarakan satu perkataan mentjela ketika aku berpindah dari isteriku jang masih gadis kepada isteri lain jang selusin tahun lebih tua daripadaku. Apakah mereka menekan perasannja karena perbuatanku ataupun merasa malu kepada Pak Tjokro, aku tak pernah mengetahuinja.” Soekarno bukan peragu. Ia menghendaki sejarah bergerak saat ia didampingi Inggit. Kita menduga Soekarno sadar itu “kehendak” besar dalam sejarah.
Soekarno berusia 20-an tahun. Ia ingin berjalan di dunia terang. Sosok sadar seribu masalah hidup tapi terus ingin memberi jawaban. Inggit diharapkan menjadi “sokongan” penting saat Soekarno menentukan arah sejarah. “Dia adalah ilhamku,” pujian Soekarno kepada Inggit. Kita maklum dengan keputusan dan argumentasi Soekarno. Ia fasih membahasakan kehendak. Ia tak mau sejarah melulu bersama buku. Soekarno masih memuji Inggit: “Dia memberikan kepadaku segala sesuatu jang tidak bisa diberikan oleh buku.” Soekarno rakus membaca buku-buku. Ia sadar kesaktian buku tapi menganggap perempuan (istri) memberi kesempurnaan melampaui kalimat-kalimat di kertas.
Sejarah pun bergerak oleh Soekarno-Inggit. “Separuh daripada semua prestasi Soekarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih di dalam Bank Jasa Nasional Indonesia,” pujian diungkapkan SI Poeradisastra (1981). Pembahasaan cukup mengejutkan agar kita tak melulu membaca sejarah bertokoh Soekarno. Pada masa 1920-an dan 1930-an, Soekarno itu sosok tak utuh tanpa Inggit. Di setiap kejadian, Inggit justru berperan besar berdalih pangan, keselamatan, keberanian, dan kehormatan.
Dulu, orang-orang mungkin berharapan pernikahan itu langgeng. Sejarah tak pernah mulus. Soekarno merasa belum meraih sempurna-sempurna. Pernikahan itu berakhir. Orang-orang menangis, kecewa, marah, dan maklum. Sekarno terus menapaki sejarah dengan “berpisah” dari Inggit. Ia mengajukan argumentasi tak pantas dibandingkan dengan “Indonesia menggugat” saat ia melawan kolonialisme. Kita berimajinasi “Soekarno menggugat” tapi menimbulkan lara dan kenestapaan sejarah.
Kita bermaksud mengenang 100 pernikahan, bukan perceraian. Ramadhan KH melalui buku berjudul Kuantar ke Gerbang (1981) bercerita melalui sosok Inggit: “Perkawinan kami itu dilangsungkan dengan sederhana saja. Maklumlah, pihakku orang-orang biasa ditambah kami bukan perawan dan bujang. Kusno (Soekarno) mengenakan pakaian putih-putih bersih, jas tutup, peci beludru hitam, sepatu hitam yang dibuka di luar karena harus duduk bersila. Aku mengenakan kebaya berbunga-bunga, kain corak lereng warna putih.” Dua sosok berbabahgia dalam guncangan sejarah. Mereka membuat janji ingin saling membahagiakan. Mereka pun menikah demi memuliakan Indonesia.
Inggit, sosok penuh pengabdian dan sadar kewajiban-kewajiban. Ia telah mengerti hidup. Inggit memiliki album kehidupan lebih panjang dibandingkan Soekarno. Pernikahan itu mengandung konsekuensi-konsekuensi besar. Janji mulia dari Inggit: “Aku merasa berkewajiban mengemongnya supaya ia cepat berkesampaian mendapatkan gelarnya. Itulah tugasnya yang utama datang ke di Bandung. Ia mesti jadi insinyur!” Janji itu mewujud. Soekarno berhasil meraih gelar sarjana. Ia pun makin bergairah dalam pergerakan politik. Inggit sadar wajib mengambil peran kunci dalam nafkah dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan Soekarno. Istri itu mengabdi tanpa secuil keraguan. Ia menginginkan Soekarno menjadi sarjana tapi tak berpikiran kelak Soekarno pun berhasil menjadi presiden.
Kita tak bakal rampung bertepuk tangan, memuji, dan berdoa dengan pengisahan Inggit: “Aku mengabdinya. Benar, aku memberikan segala apa yang diperlukannya kepadanya, yang dikatakannya sendiri tidak dapat diperolehnya semenjak ia meninggalkan rumah ibunya.” Soekarno membawa masalah biografis. Ia dalam hubungan pelik bersama perempuan-perempuan berpengaruh dalam hidup, sejak kecil sampai dewasa.
Kita lekas ingat dengan penjelasan di halaman awal buku susunan Cindy Adams (1966). Soekarno mengungkapkan: “Tjara jang paling mudah untuk melukiskan tentang diri Soekarno ialah dengan menamakannja jang maha-pentjinta. Ia mentjintai negerinja, ia mentjintai rakjatnja, ia mentjintai wanita, ia mentjintai seni – melebihi dari segala-galanja – ia tjinta kepada dirinja sendiri.” Di situ, ada pengakuan tentang wanita.
Kini, kita wajib mengenang 1923. Soekarno memang paling moncer bila kita mengenang 1945. Ia memiliki tahun-tahun terpenting, sejak kelahiran sampai tersingkir dari kekuasaan. Pada 2023, kita mengingat pernikahan seratus tahun silam meski tak ada acara besar di Indonesia. Pernikahan tak langgeng tapi sejarah Indonesia sudah bergerak saat mereka membuat janji bersama selama puluhan tahun. Begitu.