Komunitas Djawah di Mekkah

Sedini abad ke-17 kapal-kapal VOC sudah mengangkut peziarah yang ingin pergi ke Mekah, tetapi ziarah itu hanya merupakan perjalanan pribadi yang diusahakan oleh beberapa pangeran dan budayawan saja. Henri Chambert-Loir mencatat, kali pertama orang Nusantara naik haji pada 1482, yaitu laksamana Melaka Hang Tuah. Sekitar 1520 disusul Sunan Gunung Jati dan Syekh Yusuf Makassar pada 1650 (data lain, 1644). 

Pada abad ke-19, dengan membaiknya transpor laut, menunaikan haji  menjadi gejala massa. Dari 1853-1859, pemerintahan Hindia Belanda mendaftar 13.000 peziarah tetap, artinya rata-rata sekitar 2.000 setahun. Pada 1872, konsultan Belanda dibuka di Jedah yang mengawasi kunjungan jemaah haji dan menyusun statistik dengan teliti, hampir 10.000 peziarah  setahun selama musim haji 1880; dan meningkat 11.788 pada 1895; 24.024 pada 1991, pada 1927 mencapai 52.412.

Untuk enam tahun yaitu 1914, 1921, 1924, 1927, 1928, 1931, rombongan haji Nusantara 42-50 persen dari total orang naik haji. Jumlah jemaah haji terbanyak berasal dari Nusantara, baik pada masa itu maupun masa kini.

Maka terbentuklah komunitas orang Djawah di Mekah. Kata Jawa atau Djawah digunakan dalam bahasa Arab untuk menunjukkan orang Nusantara segalibnya, malah pada mulanya termasuk orang yang bukan Islam, misalnya budak atau orang Hindu. Kemudian kata Jawa lebih khusus menunjukkan orang Nusantara Islam, termasuk orang Patani dan Sulu, baik bermukim di Haramain maupun yang berhaji. Kata ini dalam bahasa Arab ditulis Jãwa, tetapi sering dieja Jawah dalam literatur tentang Indonesia, dan ejaan ini berguna untuk membedakan Jawah sebagai komunitas orang Nusantara Islam dengan Jawa sebagai nama pulau dan etnik. 

Baca juga:  Kisah Seorang Raja Yang Merayakan Maulid

Jawi (Arab, Jãwī) adalah kata sifat dari kata Jawa itu. Seorang Nusantara Islam dapat disebut Jawah atau Jawi. Dalam teks Arab, masyarakat Jawi disebut ashab al-jãwīyīn (“para sahabat Jawi”) atau jamã’at al-jawīyīn (“komunitas Jawi”). Bilad al-Jawa adalah negeri orang Jawi, yakni  Nusantara. Dalam literatur Indonesia, para Jawah di Mekah disebut mukim atau mukimin (Arab, muqimin). Belanda menyebutnya moekimers. Beberapa nama itu (Jawah, Jawi, mukim),  menyatukan semua orang Asia Tenggara muslim dalam satu kata panggilan, ikut memperkokoh identitas orang Jawi sebagai anggota satu komunitas. Menurut Martin van Bruinessen, komunitas Jawah terbagi ke dalam ‘Jawah mukim’ dan ‘jamaah haji Jawah’. 

Para emigran ini datang dari Nusantara (negeri kuno “Javaga” menurut orang Arab), dari  Minangkabau, Sumbawa, Batavia, dan terutama dari daerah Lampung dan Jawa Barat. Mereka menetap di Mekah untuk selamanya atau untuk sementara, demi melanjutkan studi atau berdagang. Komunitas Djawah ini tetap memelihara hubungan dengan negeri asalnya, melalui para syeikh atau “pemimpin haji”, yang sering pulang-pergi.

Sekira 1880 jumlahnya cukup besar untuk menimbulkan kekhawatiran pemerintah Hindia Belanda. Pada 1885 Snouck Hurgronje yang tinggal beberapa minggu di Mekah, mencari keterangan mengenai kelompok tersebut. Orang Djawah pada waktu itu 8-10.000 orang,  seperenam dari jumlah penduduk Mekah yang pada waktu normal mencapai 50-60 000 orang. Alhasil, sejak 1860 bahasa Melayu merupakan bahasa kedua di Mekah. 

Baca juga:  Ramadan 1366 H, Hari-Hari Terakhir Hadratussyekh M Hasyim Asy'ari

Ada yang menjadi pembantu rumahtangga (ah, perihal ini sudah jadi cerita lama rupanya!), pedagang kecil, tetapi banyak yang kaya dan hidup dari bunga uang yang berasal dari Nusantara.  Yang terpelajar semisal Hasan Mustapa dari Garut dan Sjech Nawawi dari Banten memberikan pelajaran khusus (bahasa Arab, hukum) atau pelajaran agama yang kadangkala diarahkan untuk melawan orang Barat, dan mengarahkan kepada murid-murid mereka, yang berbeda latar budayanya, untuk memiliki satu kesatuan budaya dan politik yang sama. Mereka mengetahui keadaan di Hindia Belanda dan peduli akan perkembangan Perang Aceh (1873-1906). Ini menginsafkan mereka mengenai penjajahan Belanda maupun Inggris dan Prancis atas bangsa-bangsa Islam.

Orang Jawah bernama baik di mata orang Arab pada awal abad ke-19: terkenal saleh dan jujur. Tetapi reputasi mereka jelek pada akhir abad ke-19. Snouck Hurgronje menjelaskan, “Banyak pemuda memanfaatkan mengaji sebagai alasan untuk hidup enak-enak dari tahun ke tahun selama kerabatnya mengirim uang atau selama tukang pinjam masih sabar.”

Menurut Denys Lombard, peran orang Djawah pada abad ke-20 sulit dikatakan, sebab sesudah peninggalan Hurgronje, keterangan tentang mereka kurang. Menurut Putuhena, dalam dekade kedua abad ke-20, terdapat 90 guru agama, di antaranya tiga perempuan,  mengajar berbagai ilmu pengetahuan agama. Mereka mengajar di rumah, beberapa orang saja mengajar di Masjidil Haram. 

Akibat Perang Dunia I (1915), para Jawah dipulangkan, pemerintah Belanda mengirim lima kapal uap ke Jedah. Jumlah mereka turun (1919), lalu meningkat sebentar, karena 5000 dipulangkan antara Oktober 1924 dan Juli 1925 akibat Perang Hijaz. Jumlah bertambah sampai 10.000 (1930). Hanya 5000 menurut laporan Belanda, namun angka ini terlalu rendah karena 5000 dipulangkan lagi (1932-33). Tercatat 3.500 pulang (1932) akibat malaise atau krisis dunia. Comite Penoeloeng Hadji-Hadji jang Terlantar di Hidjaz didirikan dan 2.196 dipulangkan (1933). Berjumlah 3.113 (1938), tetapi hampir seluruhnya dipulangkan pada 1940.

Baca juga:  Sajian Khusus: Seabad Usmar Ismail

Bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusuma pada 1924 menceritakan “Di mana-mana kelihatan jemaah-jemaah oleh saya. Sekaliannya dipanggil orang di situ, “Jawa”, dengan ditambah Sunda, Madura, Mriki, Padang, Palembang dll.; jadi: Jawa Sunda, Jawa Mriki, Jawa Padang dan sebagainya. Tukang jual seterup pun merasa tiada berkeberatan menyerukan dagangannya dalam bahasa Sunda. Sehari-harian mereka berseru, “Sirop manis saholala, sirop manis saholala! Mari sini, kadieu Jawa, mari sini, kadieu, mangga kulan!

Hingga kini, komunitas Djawah alias mukimin Indonesia tetap ada. Puluhan tahun mukim dan beranak-pinak, maka terdapat keluarga Hejaz yang bernama “Al-Minkawabawi” (Minangkabau), “Al-Asyi” (Aceh), “Al-Batawi”, Ar-Rawi (Rao), “Al-Banjari”, “Al-Bantani” (Banten), “Al-Falimbani” (Palembang). 

Para mukimin itu membantu jemaah haji mulai dari mencari hewan korban sampai berjualan makanan di maktab-maktab jemaah haji Indonesia. Bahkan di Arafah saat wukuf yang merupakan puncak haji, pada 2005 penulis menemukan mukimin perempuan asal Jawa Mriki berjualan pecel pada malam hari. Karuan, warga komunitas Djawah yang tengah berwukuf ramai-ramai memborong kuliner asli “Jawa Mriki” itu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top