Setidaknya dalam satu bulan terakhir, publik di seluruh dunia menyoroti Prancis. Penyebabnya mungkin terlihat sepele: pembuatan kartun Nabi Muhammad. Ini bukan untuk pertama kalinya terjadi, melainkan sudah berulang-ulang.
Pada tahun 2015 kasus seperti ini, Charlie Hebdo, bahkan menimbulkan serangan teror yang mematikan. Tahun ini sudah beberapa nyawa melayang. Tentu saja respons tersebut tidak bisa dibenarkan. Tetapi bagaimana dengan pembuatan kartunnya itu sendiri?
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, secara tegas mengatakan bahwa negaranya melindungi kebebasan berpendapat, termasuk pembuatan kartun Nabi Muhammad. Meski paham dengan kemarahan umat Islam, dia tidak bisa melarangnya. Konstitusi dan hukum yang berlaku di Prancis menjaminnya.
Prancis memang terkenal sebagai negara sekuler yang keras. Lebih dari sekadar netral-agama, negara ini lebih cenderung anti-agama. Dirumuskan dalam prinsip laïcité, negara ini tidak memperkenankan simbol agama tampil di ruang publik. Makanya sejak 2004, penggunaan kerudung bagi anak sekolah negeri dilarang. Namun sebaliknya, pembuatan kartun Nabi Muhammad justru dijamin oleh undang-undang.
Pandangan ini jelas membuat banyak orang Islam marah. Terlebih mereka tidak bisa membedakan antara “Islam” sebagai agama dan “Islamisme” sebagai ideologi politik separatis. Ketika Presiden Macron menyatakan akan melawan Islamisme—Islamiste dalam istilah Prancis—sejumlah negara Muslim langsung mengumumkan boikot produk Prancis. Dari Indonesia, Presiden Jokowi secara terbuka mengecam pernyataan Macron yang dianggap melukai perasaan umat Islam.
Yang menarik dari masalah ini adalah respons orang Indonesia sendiri yang ternyata sangat beragam. Selain mengecam, ada juga yang mendukung pernyataan Macron. Bagi kelompok terakhir ini, seharusnya Indonesia justru harus belajar dari Prancis dalam memberlakukan agama. Salah satu dari mereka, Luthfi Assyaukanie, mengedarkan ulang tulisannya di The Jakarta Post 5 tahun lalu (5 Juni 2015) yang menyebut bahwa masalanya adalah umat Islam di Prancis memang tidak tahu diri. Alih-alih berintegrasi dengan norma dan budaya setempat, mereka dinilai Assyaukanie malah membentuk blok-blok tersendiri yang terpisah dari masyarakat kebanyakan.
Apa yang yang disampaikan oleh Assyaukanie mungkin ada benarnya, tetapi cukup pasti mengabaikan gambaran besarnya. Bagaimanapun, relasi antara umat Islam dan Barat, dalam hal ini Prancis, adalah bagian dari sejarah perjumpaan yang sangat panjang. Namun, alih-alih dilandasi oleh kesetaraan, perjumpaan keduanya dilatarbelakangi oleh permusuhan dan penindasan.
Dalam konteks politik hari ini, keyakinan sekuler a la Prancis menyiratkan suatu sikap tidak hormat terhadap perbedaan kultural. Rupanya trauma politik mereka terhadap agama di Abad Pertengahan belum terselesaikan, sehingga masih dibayar hingga kini melalui pemberlakukan kebijakan yang melarang sama sekali ekspresi agama di ruang publik pada satu sisi, tetapi saat yang sama membiarkan pelecehan simbol agama pada sisi yang lain. Mereka tidak mau tahu bahwa bagi umat Islam penggambaran visual Nabi Muhammad adalah terlarang.
Diwujudkan dalam bentuk yang berbeda, logika sekularisme Prancis tersebut tercermin di Indonesia dalam hukum penistaan agama. Diturunkan dari Undang Undang No.1/1965 tentang pencegahan, penyalahgunaan, dan penodaan agama, perkara ini dikuatkan dalam pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang tempo hari menjerat Basuki Tjahaja Purnama sampai masuk penjara. Kelihatannya hukum ini kontras dengan apa yang terjadi di Prancis, tetapi dasar berpikirnya sama: bahwa mayoritas berhak menentukan apa yang boleh dan tidak boleh ditampilkan di ruang publik. Hanya posisinya saja yang berbeda. Di sana Islam minoritas, di sini mayoritas.
Bagi publik Prancis, kartun Nabi Muhammad mungkin dianggap soal sepele. Begitu juga dengan ucapan Basuki Tjahaja Purnama di Kepulauan Seribu bagi sebagian publik (sekuler) di Indonesia. Namun hal-hal yang dianggap sepele itu mempunyai makna tertentu bagi kelompok yang menyakralkannya. Aspek sakralitas ini, bagaimanapun, mempunyai dimensi politik tertentu yang mestinya dikelola. Dalam hal ini sekularisme a la Prancis terlihat kedodoran, sehingga menimbulkan kekisruhan sosial seperti sedang berlangsung sekarang.
Tentu saja respons yang berlebihan terhadap sikap Prancis, apalagi sampai terjadi penyerangan dan pembunuhan, tidak bisa dibenarkan. Tidak ada keraguan untuk itu. Namun, sekali lagi, mengaitkan hal tersebut hanya dengan identitas kultural pelakunya yang kebetulan beragama Islam adalah sikap yang ceroboh. Motivasi keagamaan yang mendorong tindakan kekerasan tersebut mestinya pertama-tama dipahami sebagai motivasi personal, bukan sebagai bagian yang inheren dari suatu ajaran.
Masalahnya bertambah kompleks di dunia yang terpolarisasi. Ultra-nasionalis yang Islamofobia di satu sisi dan Islam teroris di sisi lain adalah kenyataan yang, sialnya, semakin meruncing karena provokasi media dan para politik yang tidak bertanggung jawab. Sementara itu, dalam kasus Prancis, ketimpangan sosial dan ekonomi yang mengekslusi akses para imigran Muslim terhadap sumber-sumber kesejahteraan dan kewarganegaraan membuat provokasi tersebut seolah mendapatkan tempat.
Oleh karena itu, tidak ada cara lain untuk mengatasinya kecuali semua pihak mau menahan diri dan kemudian memikirkan ulang cara mereka memahami dan menempatkan agama di ruang publik, termasuk simbol-simbolnya. Model sekularisme Prancis jelas problematik karena gagal menerima ekspresi kultural yang dianggap berbeda dengan identitas nasional mereka. Suatu model yang bisa menampung keragaman kultural, tetapi juga tetap mampu berdiri di atas semuanya secara adil, sungguh sangat diharapkan kehadirannya. Apakah Pancasila di Indonesia yang menyuarakan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua) adalah alternatifnya? Mungkin iya bagi Indonesia, tetapi negara-negara lain pastinya mempunyai problematiknya sendiri yang berbeda.