Beberapa waktu lalu, Gunung Agung kembali menunjukkan aktivitas vulkaniknya. Beberapa penerbangan sempat ditutup karena letupan debu gunung api terbesar di Pulau Bali itu. Tidak hanya bandara di pulau dewata dampaknya, namun juga di Pulau Jawa. Terutama di Banyuwangi yang merupakan daerah paling timur. Beberapa penerbangan ke Bandara Banyuwangi juga mengalami pembatalan.
Aktivitas gunung Agung sendiri bukanlah hal yang baru. Tahun lalu juga sempat menunjukkan aktivitas vulkaniknya, meski tak sampai benar-benar meletus. Dalam catatan sejarahnya, Gunung Agung meletus sebanyak empat kali. Terhebat meletus pada 1963 yang berlangsung hingga 1964. Bali bak pulau mati.
Dampak Gunung Agung pada 1963 tersebut, benar-benar melekat pada ingatan banyak orang. Seringkali penulis temukan ketika mengobrol dengan orang-orang tua. Tak jarang orang yang hidup pada masa itu, menjadikannya sebagai titi mangsa.
“Anakku lahir waktu Gunung Agung meletus,” demikian salah satu contohnya.
Selain kisah-kisah tutur (tradisi lisan), kenangan akan letusan Gunung Agung juga diabadikan dalam bentuk lain. Salah satunya dalam bentuk syair. Seperti halnya satu syair yang cukup populer di masyarakat Suku Osing di Banyuwangi.
//Udan awu ulan Syawal aja lali.
Wong mbledhose Gunung Agung Pulo Bali
Mendhung peteng sampek kaya dening bengi
Peteng dhedhet sampek sedina suwengi
Wong umate akeh hang padha ngungsi
Melayu ngungsi nong dhaerah Banyuwangi.
Wong umate kaya gabah diinteri.
Bondo dunyo anak lan rabi using dipikiri
podho golet nasib urip dewe dewe
Gemeledhug niku suwarane napa?
Ndadosaken kagete manah kula.
Nuju tanggal ping selikur Ahad Paing.
Niku minangka kangge pangeling eling.//
Syair anonim tersebut, merupakan kenangan orang Banyuwangi terhadap letusan gunung agung. Menariknya, syair itu tidak hanya menjadi penanda belaka. Tapi, juga menjadi materi dakwah. Hal tersebut disenandungkan di kegiatan tradisi keagamaan. Yakni, menyelingi pembacaan Shalawat Barzanji. Di Banyuwangi sendiri dikenal dengan nama “Asraqalan”.
Syair tersebut, benar-benar menggambarkan situasi saat itu.
“Udan awu ulan Syawal aja lali// Wong mbledhose Gunung Agung Pulo Bali “
[Hujan abu bulan Syawal jangan dilupa// tatkala meletusnya Gunung Agung Pulau Bali]Dampak paling nyata dari letusan Gunung Agung di Banyuwangi adalah hujan debu. Jadi tidak mengherankan jika hal tersebut, menjadi penanda kenangan yang paling kuat. Dalam hitungan Indeks Letusan Vulkanis (Vulcanic Eruption Index), ledakan Gunung Agung kala itu mencapai skala 5.
Letusan itu memuntahkan pasir, bebatuan vulkanis, dan awan panas. Daya lontarnya mencapai ketinggian 8 hingga 10 kilometer. Dari laporan dua ahli geologi dari ITB dan Survei Geologis Indonesia, MT Zen dan Djajadi Hadikusumo pada 1964 itu, dapat dibayangkan dampaknya ke Banyuwangi yang berjarak dekat.
“Mendhung peteng sampek kaya dening bengi/ Peteng dhedhet sampek sedina suwengi”
[mendung gelap hingga sampai selayaknya malam/gelap gulita hingga sehari semalam]Demikian dahsyatnya ledakan tersebut, membuat banyak orang Bali mengungsi. Surat kabar Suara Indonesia tertanggal 21 Oktober 1963 menyebutkan, jumlah pengungsi pada bulan tersebut mencapai 98.792 orang.
Tidak sedikit dari para pengungsi tersebut yang datang ke Banyuwangi. Sebagaimana diabadikan dalam penggalan syair tersebut.
“Wong umate akeh hang padha ngungsi/ Melayu ngungsi nong dhaerah Banyuwangi”
[wong umatnya banyak yang mengungsi/ lari mengungsi ke daerah Banyuwangi]Dari syair tersebut, ada satu hal lain yang menarik. Yaitu, satu mangsa yang termuat di dalam syair.
“Nuju tanggal ping selikur Ahad Pahing”
[menuju tanggal 21 (syawal) Ahad Pahing]Jika disimak catatan sejarah letusan pada 1963 itu, berlangsung setahun lamanya. Aktivitas Gunung Agung mulai menyemburkan asap pada 18 Februari 1963. Jika dikonversi pada kalender hijriyah, hari itu tepat 23 Ramadan 1382 H. Enam hari kemudian lava meluber. Duapuluh hari kemudian, luberannya mencapai 7 kilometer.
Puncak dari letusan tersebut terjadi pada 15 Maret 1963. Letusan yang mencapai skala 5 VEI itulah, yang mengakibatkan gelombang pengungsi. Jika ditilik waktunya, itu bertepatan 18 Syawal 1382 H. Dengan demikian, gelombang pengungsi baru sampai ke Banyuwangi tiga hari kemudian dari letusan tersebut.
Saat ini, juga bulan Syawal dalam kalender hijriyah. Semoga, kesamaan waktu tak sama dengan keserupaan peristiwa. Gunung Agung segera menghentikan “batuk-batuknya”. Sebagai mahluk berakal, sudah sepatutnya kita menginstropeksi diri dan men-tadabur-i setiap fenomena alam tersebut. Seperti halnya ditegaskan di akhir syair:
“Niku minangka kangge pangeling eling.”