Hatmiati Masyud
Penulis Kolom

Hatmiati Masy’ud adalah sastrawan dan akademisi di STAI Rasyidiyah Khalidiyah Amuntai

Tradisi “Pamali” Banjar dan Denyutnya yang Melemah

Tradisi "Pamali" Banjar dan Denyutnya yang Melemah

Tradisi lisan adalah satu kejeniusan lokal yang menjadi bagian dari realitas budaya suatu masyarakat. Tradisi lisan menjadi identitas masyarakat tempat mereka berada. Tradisi lisan hidup dan berkembang sejalan dengan peradaban manusia sehingga mampu membentuk sikap serta perilaku masyarakat. Satu contoh adalah pamali, tradisi suku Banjar yang denyutnya masih ada namun makin melemah.

Sebelum membahas pamali lebih jauh, saya ingin menyinggung sedikit mengenai tradisi lisan sebagai local genius atau jenius lokal. Sebagai bagian dari kejeniusan lokal, satu tradisi yang diwariskan secara lisan (baik di dalam masyarakat yang sudah mengenal aksara maupun belum mengenal aksara) mengontruksikan masyarakat pemakai tradisi tersebut. Soerjanto Poespowardojo dalam Kepribadian Budaya bangsa (Local Genius), penerbit Pustaka Jaya (1986) menegaskan bahwa kuatnya jenius lokal untuk bertahan dan berkembang menunjukkan kepribadian masyarakat itu.

Oleh karena itu, tentu tidak perlu disanggah lagi bahwa usaha untuk memupuk serta mengembangkan jenius lokal itu menjadi sangat penting. Tak pelak, tradisi sebagai jenius lokal itu berfungsi dalam kehidupan masyarakat, baik dalam gaya hidup, pola dan sikap hidup, persepsi, maupun dalam orientasi masyarakat. Pemeliharaan dan pelestarian tradisi lisan yang menjadi milik suatu masyarakat hanya dapat lakukan kalau masyarakat masih memakai tradisi tersebut secara terus menerus agar tidak punah.

Mari kita memperbincangkan pamali atau pemali, yakni  ungkapan tradisional berbahasa Banjar yang berisi paparan tentang siapa saja yang tidak boleh melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, pada waktu-waktu tertentu, di tempat-tempat tertentu. Sebab, diyakini ada akibat-akibat tertentu yang melekat sebagai hukuman yang diancamkan kepada siapa saja yang berani melakukan perbuatan-perbuatan terlarang itu. Sepertinya mengada-ada? Tentu tidak. Tradisi seperti ini hidup di banyak suku di Nusantara. Pamali juga dikenal orang Sunda. Orang Jawa pun memiliki tradisi seperti ini, dengan nama berbeda.

Baca juga:  Joko Pinurbo, Puisi dan Religiositas

Pamali merupakan tradisi lisan yang berkembang dan dimiliki oleh masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan. Pamali hidup dan berkembang di masyarakat Banjar karena di dalam ia menggambarkan konstruksi, ciri khas, dan budaya masyarakat Banjar. Pamali dapat memberitahukan bagaimana kehidupan dan pandangan masyarakat  Banjar tentang pendidikan, budaya, kebiasaan, ekonomi, dan agama.

Ditaati tapi makin pudar

Pamali pada masyarakat Banjar tradisional sangat ditakuti dan ditaati. Meskipun demikian, tradisi lisan berupa tuturan pamali dalam masyarakat Banjar mulai jarang dilakukan, hal ini terjadi karena pergeseran nilai-nilai kehidupan akibat pengaruh modernisasi yang terjadi dalam masyarakat Banjar.

Budaya modernisasi yang menghinggapi masyarakat Banjar telah membuat pamali sebagai salah satu tradisi lisan yang selama ini dipakai sebagai batasan-batasan norma dalam perilaku sosial budaya, baik secara individu maupun sebagai makhluk sosial terpinggirkan.

Sikap-sikap modernisasi ini telah membuat masyarakat seakan-akan menentang nilai-nilai tradisional yang selama ini ada dan hidup di masyarakat. Kondisi ini terlihat dari pamali yang sangat jarang digunakan atau dipakai oleh remaja maupun anak-anak.

Padahal, ketika pengaruh globalisasi belum menyentuh sendi-sendi kehidupan masyarakat, maka ketika orang tua mengatakan pamali terhadap sesuatu, maka dengan patuhnya orang-orang yang berada dalam konteks pamali menaati aturan tersebut, meskipun kadang-kadang pamali yang digunakan orang tua terasa mengada-ada dan tidak masuk akal.

Cara pandang masyarakat Banjar yang selama ini selalu patuh dengan pamali mulai tergeser oleh budaya-budaya baru yang sangat minim nilai tradisionalnya. Misalnya, dalam pemali masyarakat Banjar ada petuah yang berbunyi, “Pamali bibinian bujang ka luar hari sanja kaina panggaringan” (“Pantang seorang perawan ke luar ketika hari senja karena bisa rentan jatuh sakit”). Ternyata petuah pamali seperti itu sudah jarang dipakai, bahkan cenderung diabaikan.

Baca juga:  Orang Boti Dalam yang Terpencil, Hidupi Tradisi Bertani dalam Harmoni

Saat ini, sewaktu hari senja, banyak gadis-gadis remaja yang masih di jalanan, tidak hanya hari senja, bahkan malam hari juga masih banyak gadis remaja yang jalan-jalan dengan pelbagai macam kepentingan. Kalau zaman dahulu, saat senja hari para perempuan apalagi dia masih gadis tak akan terlihat berkeliaran di luar rumah.  Perubahan sikap dan cara pandang ini secara otomatis telah meniadakan ajaran leluhur (tutuha) tentang pamali yang pada masa lalu sangat diyakini oleh masyarakat Banjar.

Perubahan yang berhubungan dengan modernisasi dalam masyarakat Banjar memang tidak bisa dihindari karena tidak ada sebuah peradaban yang statis. Namun, setiap perubahan diharapkan tidak menggerus secara destruktif akan nilai-nilai tradisi lisan dalam masyarakat yang selama ini membentuk perilaku dan sikap dalam hidup bermasyarakat baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Nilai-nilai luhur tradisi lisan menjadi tameng dalam menangkal segala bentuk pengaruh budaya luar yang dapat merusak sikap hidup masyarakat. Pamali juga berperan penting dalam kehidupan sosial masyarakat Banjar karena dapat menjadi aturan tak tertulis yang membentuk karakter positif dalam kehidupan sehari-hari.

Empat fungsi pamali

Menurut pengamatan saya, pamali dalam masyarakat Banjar memiliki empat fungsi penting dalam hubungannya dengan relasi sosial dan perilaku di masyarakat. Pertama, pamali sebagai pedoman atau tata nilai yang berada di masyarakat untuk mengontrol tingkah laku seseorang apakah melanggar atau mematuhi pemali tersebut. Kedua, pamali menjadi acuan untuk menyebut seseorang itu baik atau tidak sesuai dengan kepatuhannya terhadap pamali. Ketiga, pamali menjadi panduan apakah seseorang itu mematuhi adat istiadat atau malah melanggar adat istiadat tersebut. Dan terakhir, pamali menjadi salah satu alternatif pendidikan bagi masyarakat Banjar untuk membentuk karakter yang sesuai dengan norma yang diberlakukan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Banjar.

Baca juga:  Kisah Kedermawanan Bangsa Arab di Bulan Ramadan

Pamali sebagai sebuah tradisi lisan yang diwariskan secara turun temurun selama ini mulai berkurang penggunanya, terlebih lagi para kami tua pemakai setia dari pamali ini mulai berusia senja, sedangkan para generasi muda Banjar tidak terlalu berminat menggunakan tuturan pamali.

David C Rubin dalam Memory in Oral traditions: The Cognitive Psychology of Epic, Ballads, and Counting-out Rhymes (1995: 9-10) berpendapat bahwa pelestarian tradisi lisan tergantung pada memori manusia. Jika tradisi adalah “alat” untuk bertahan hidup, maka ia  harus disimpan dalam memori seseorang dan diteruskan ke orang lain yang juga mampu menyimpan dan menceritakannya kembali. Proses itu berlangsung dari generasi ke generasi. Artinya, hasil dari transmisi tradisi lisan tentu  sangat berbeda dari proses yang diperoleh dengan prosedur rumor standar dalam psikologi sehingga tradisi bisa saja berubah secara radikal atau mati.

Oleh karena itu, pamali sebagai tradisi lisan akan punah atau tidak digunakan lagi di masyarakat Banjar apabila tidak ada perhatian serius untuk mewariskan dan mendokumentasikannya. Pewarisan ini penting agar nilai-nilai tradisi Banjar yang terkandung dalam pamali dapat dilestarikan sebagai bagian dari pendidikan karakter.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top