Mereka yang pernah menulis tentu tidak asing dengan istilah transliterasi dan transkripsi. Kedua istilah tersebut adalah jembatan penting dalam peradaban komunikasi umat manusia.
Transliterasi adalah penyalinan dengan penggantian huruf dari suatu abjad ke abjad yang lain. Sedangkan transkripsi adalah pengalihan tuturan (yang berwujud bunyi) ke dalam bentuk tulisan; atau penulisan kata, kalimat, atau teks dengan menggunakan lambang-lambang bunyi.
Suatu bahasa seringkali mempunyai huruf-huruf yang tidak dimiliki oleh bahasa-bahasa lain, sehingga ada kesulitan-kesulitan tertentu ketika huruf-huruf itu diucapkan.
Bahasa Arab misalnya, mempunyai banyak huruf yang tidak dimiliki oleh bahasa Indonesia. Huruf-huruf seperti ث، خ، ذ، ط، ظ، ع، غ (tsa, kho, dza, tho, zdo, ain, goin) dan lain-lain yang tidak dimiliki padanannya dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu untuk mengucapkannya penutur Indonesia terbantu dengan transliterasi dan transkripsi.
Ada beragam transliterasi yang dapat kita temukan, yang semuanya disesuaikan pemakaiannya dengan kebiasaan dan gaya selingkung yang dianut oleh seorang penulis.
Kita misalnya punya model transliterasi yang merupakan hasil keputusan bersama antara menteri agama dan mendikbud pada tahun 1988. Di samping model transliterasi lain, transliterasi inilah yang banyak dianut.
Huruf ث (tsa) misalnya ditransliterasikan dengan huruf “S” dengan satu titik di atasnya. Sedangkan huruf ص (shod) ditransliterasikan dengan huruf “S” dengan satu titik di bawahnya. Dan begitu seterusnya.
Kalimat من قبلك ditransliterasikan (penulisannya) menjadi min qablika. Sedangkan transkripsinya (pengucapannya) menjadi mingqoblika.
Contoh lain adalah:
قل هو الله أحد
Transliterasinya adalah: Qul huwa Allahu Ahadun. Sedang transkripsinya adalah: Qul huwallohu ahad
سبحنه و تعالى
Transliterasinya: Subhanahu wa ta’ala. Transkripsinya: Subhanahu wata’ala
Tentu ada kelemahan-kelemahan dalam transliterasi maupun transkripsi, terutama transliterasi Arab-Latin Indonesia, dan khususnya jika menyangkut Alquran. Bacaan seperti qalqalah, ikhfa’, imalah, isymam, mad wajib muttasil, mad lazim kilmi musaqqal, dan lain-lain tidak dapat dideteksi oleh transkripsi maupun transliterasi.
Oleh karena itu untuk dapat membaca Alquran dengan baik dan benar, seseorang tidak bisa dan tidak boleh mengandalkan transliterasi dan transkripsi.
Belajar membaca Alquran mengharuskan seseorang mengaji secara langsung berhadap-hadapan kepada guru yang benar bacaannya, karena dengan begitu seseorang dapat melihat gerak bibir guru dalam mengucapkan huruf-huruf Hijaiyah berdasar kaidah-kaidah dalam ilmu tajwid.
Catatan: vokal panjang (mad) tidak disimbolkan dalam contoh di atas, karena keterbatasan pada papan ketik.