Buku “Lokomotif Perjuangan Kemerdekaan: Biografi Kiai Abbas Buntet Pesantren” karya M. Fathi Royyani yang diterbitkan LP3ES pada 2023, menawarkan sebuah potret mendalam tentang sosok ulama besar yang sekaligus menjadi pejuang kemerdekaan Republik Indonesia.
Kiai Abbas, yang dikenal sebagai tokoh penting dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, memiliki pengaruh yang sangat luas, baik di kalangan pesantren maupun di medan perjuangan fisik melawan penjajah.
Melalui buku ini, Royyani mengajak kita menelusuri kiprah luar biasa seorang ulama yang tidak hanya menggerakkan para santrinya, tetapi juga ribuan masyarakat untuk mempertahankan kedaulatan Bangsa Indonesia.
Buku ini menyajikan biografi Kiai Abbas dengan gaya penulisan yang cermat dan terperinci, mengupas fase-fase penting dalam kehidupan sang ulama, sedari masa kecilnya, pendidikan pesantren, hingga keterlibatannya dalam pertempuran fisik melawan kolonialisme Belanda.
Sebagai putra dari seorang ulama Cirebon, Kiai Abdul Jamil, Kiai Abbas tumbuh dalam lingkungan pesantren yang sarat dengan nilai-nilai keislaman dan keilmuan.
Royyani secara teperinci menguraikan bagaimana pendidikan di Buntet Pesantren membentuk Kiai Abbas menjadi ulama yang berwawasan luas dan pejuang yang gigih.
Kiai Abbas bukan hanya menjadi sosok religius, tetapi juga seorang nasionalis yang mengabdikan hidupnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Kekuatan buku ini terletak pada kombinasi antara narasi sejarah yang rinci dengan refleksi mendalam mengenai sumbangsih pesantren dalam perjuangan kemerdekaan.
Pesantren, khususnya Buntet, dijelaskan sebagai pusat perlawanan yang bukan hanya berfokus pada pendidikan agama, tetapi juga sebagai basis pergerakan melawan kolonialisme.
Dalam konteks sejarah, Kiai Abbas adalah salah seorang ulama yang memainkan peran penting dalam resolusi jihad yang dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) pada Oktober 1945.
Resolusi jihad ini menyerukan perlawanan total terhadap upaya kembalinya kolonialisme Belanda pasca-kemerdekaan, sebuah sikap yang berhasil menggerakkan ribuan pejuang di berbagai daerah.
Dalam pertempuran fisik, Kiai Abbas berperan aktif di medan perang, terutama di wilayah Cirebon dan sekitarnya.
Royyani dengan cermat mendokumentasikan berbagai pertempuran yang melibatkan Kiai Abbas dan para santrinya, seperti dalam peristiwa Pertempuran 10 November di Surabaya, di mana Kiai Abbas dan para santri Buntet turut berpartisipasi secara langsung.
Melalui dokumen sejarah dan wawancara dengan beberapa ahli, Royyani berhasil membuktikan bahwa keterlibatan ulama dalam perjuangan bersenjata bukanlah mitos, melainkan fakta sejarah yang sering terlupakan.
Para santri dididik tidak hanya untuk menjadi ahli agama, tetapi juga menjadi pejuang yang siap membela tanah air dengan segala kemampuan mereka.
Selain fokus pada perjuangan fisik, Royyani juga menyoroti peran Kiai Abbas dalam menjaga semangat perlawanan melalui ajaran-ajaran agama yang menekankan pentingnya jihad melawan ketidakadilan.
Kiai Abbas, menurut Royyani, merupakan ulama yang tidak memisahkan antara ajaran Islam dan semangat kebangsaan.
Baginya, kemerdekaan Indonesia adalah bagian dari perjuangan umat Islam melawan penindasan, sebuah konsep yang berhasil menyatukan kaum santri dan masyarakat umum untuk bangkit melawan kolonialisme.
Pesan ini sangat kuat dalam konteks Islam tradisional di Jawa yang kerap menjadikan ulama sebagai pusat moral dan spiritual masyarakat.
Dalam bagian lain buku ini, Royyani juga memperlihatkan bagaimana jaringan ulama pesantren di Jawa membentuk solidaritas dan kekuatan tersendiri dalam menghadapi kekuatan kolonial.
Kiai Abbas, yang memiliki hubungan erat dengan ulama-ulama besar lainnya seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim, turut menjadi bagian dari jaringan ini.
Jaringan ulama tersebut, menurut Royyani, menjadi “lokomotif” yang menggerakkan perjuangan dari sisi agama, budaya, dan politik. Dalam banyak hal, ulama-ulama ini mampu menggalang dukungan luas di kalangan masyarakat, baik melalui fatwa, khutbah, maupun aksi langsung di lapangan.
Data-data yang digunakan Royyani dalam buku ini juga sangat kaya dan terverifikasi. Ia tidak hanya bergantung pada sumber sekunder seperti buku-buku sejarah, namun juga mengandalkan arsip-arsip pesantren, surat-surat pribadi, dan wawancara dengan keluarga Kiai Abbas serta sejarahwan yang mendalami peran ulama dalam perjuangan kemerdekaan.
Salah satu bukti penting yang dihadirkan adalah keterlibatan Kiai Abbas dalam resolusi jihad yang telah dikonfirmasi melalui arsip NU dan berbagai catatan sejarah lokal.
Selain menyoroti perjuangan fisik dan spiritual, Royyani juga menggambarkan kehidupan pribadi Kiai Abbas sebagai sosok ayah, guru, dan pemimpin yang sederhana.
Kehidupan sehari-harinya yang bersahaja meskipun memiliki pengaruh besar menjadi salah satu elemen yang menarik dalam buku ini. Kiai Abbas digambarkan sebagai sosok yang rendah hati, namun memiliki wibawa yang luar biasa, baik di kalangan santri maupun di mata masyarakat luas.
Namun, Royyani tidak berhenti hanya pada aspek biografis dan perjuangan fisik. Ia juga membahas peran penting Kiai Abbas dalam mempertahankan nilai-nilai tradisional pesantren di tengah arus modernisasi yang semakin kuat.
Dalam buku ini, ditekankan bahwa Kiai Abbas adalah figur yang mampu memadukan nilai-nilai tradisi dengan tantangan modernitas tanpa kehilangan identitas Islam yang kuat.
Ini adalah salah satu alasan mengapa Buntet Pesantren tetap eksis dan berkembang hingga hari ini, meskipun dihadapkan pada berbagai perubahan sosial dan politik.
Secara keseluruhan, Lokomotif Perjuangan Kemerdekaan adalah kontribusi penting dalam literatur sejarah Indonesia, khususnya dalam memahami peran ulama dalam perjuangan kemerdekaan.
Buku ini tidak hanya memberikan gambaran tentang Kiai Abbas sebagai individu, melainkan juga bagaimana pesantren berfungsi sebagai basis intelektual, spiritual, dan bahkan militer, dalam perjuangan melawan penjajah.
Kiai Abbas, dalam pandangan Royyani, adalah sebuah “lokomotif” yang menggerakkan banyak elemen masyarakat dalam perjalanan panjang menuju kemerdekaan Indonesia.
Buku ini sangat tepat guna untuk dibaca oleh siapa pun yang ingin memahami lebih dalam tentang peran agama, khususnya Islam, dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Buku ini memberikan cara pandang baru yang seringkali luput dari perhatian sejarah arus utama, yang lebih berfokus pada peran tokoh-tokoh politik dan militer.
Royyani berhasil mengangkat tokoh Kiai Abbas dari sekadar figur lokal menjadi salah satu “pahlawan nasional” yang kontribusinya tidak bisa diabaikan dalam narasi besar kemerdekaan Indonesia.
Dengan gaya penulisan yang kaya akan data, sarat refleksi, serta analisis yang mendalam, buku ini tidak hanya mengedukasi pembaca, tetapi juga menginspirasi untuk melihat sejarah kemerdekaan Indonesia dari perspektif yang lebih luas dan kompleks.
Selamat Hari Santri 22 Oktober 2024.