Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, adalah jenius raksasa yang hidup pada abad kelima hijriyah. Reputasinya sebagai tokoh papan atas dalam wacana islamic studies bahkan pernah membuat “iri” gurunya sendiri, Abu al-Ma’aly al-Juwaini, Imam al-Haramaini. Al-Haramaini, sebagaimana disebut oleh Al-Dzahabi, pernah menyebut Al-Ghazali, muridnya, sebagai “Lautan yang menenggelamkan”.
Seperti sudah jamak diketahui bersama bahwa Al-Ghazali memiliki banyak karya tulis dalam berbagai disiplin ilmu. Selain Ihya’ Ulumuddin yang sangat kesohor itu, ada juga karya Al-Ghazali seperti, Tahafuf al-Falasifah, Al-Munqidz min al-Dhalal, Al-Iqtisad fi al-I’tiqad, Minhajul al-Abidhin, Yaqut At-ta’wil fi Tafsir At-tanzil (tafsir 40 jilid), dan lain sebagainya.
Bahkan, sebagian mengatakan karya Al-Ghazali di perkirakan mencapai 300 buah (lihat…Filsafat islam, Prof. Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A. hlm 77-78). Badawi mengatakan bahwa jumlah karangan Al-Ghazali ada 47 buah (Al-Ghazali Dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Dunia Islam, Dwi Runjani Juwita. Tafaqquh: Jurnal Penelitian dan Kajian Keislaman, volume 4, nomor 2, Desember 2016; p-ISSN 2338-3186; 59-72. hlm 152-153-154).
Al-Ghazali memang intelektual yang hampir menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Mulai dari ilmu kalam, tafsir, fiqh, filsafat, tasawuf, tak terkecuali politik hingga ushul fiqh. Karna itu, tak heran jika dalam diri Al-Ghazali sudah tersedia berbagai disiplin beragam ilmu pengetahuan. Ia memiliki banyak gelar. Mulai dari, Zainul al-Dhin, At-Tusi, Asy Syafi’i, hingga gelar Hujjatul Islam, sebuah gelar yang tak pernah disematkan kepada manusia lain, baik sebelum maupun sesudah Al-Ghazali.
Tafsir Jiwa menurut Al-Ghazali
Manusia menurut Al-Ghazali diciptakan Allah sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa (Jiwa dalam manusia mengacu pada substansi immaterial yang selalu tetap ada di tengah-tengah perubahan kehidupan, yang menghasilkan dan mendukung kegiatan-kegiatan psikis, dan yang menghidupkan organisme. Lihat… Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm 379) dan jasad.
Jiwa yang menjadi inti hakikat manusia adalah, makhluk spiritual rabbani yang sangat halus (lathifa rabbaniyah ruhaniyah). Istilah-istilah yang dipakai Al-Ghazali adalah: qalb, ruh, nafs, dan aql. Jiwa bagi Al-Ghazali adalah sautu Dzat (jauhar), dan bukan suatu keadaan atau aksiden (ardh), sehingga ia ada pada dirinya sediri. Jiwa berada dalam spiritual, sedangkan jasad didalam materi.
Jiwa bagi Al-Ghazali berasal sama dengan malaikat. Asal dan sifatnya Ilahiyah. Ia tidak pre-eksisten, tidak berwal dengan waktu, seperti menurut Plato, dan filsuf lainnya. Tiap jiwa pribadi diciptakan Allah di alam atas (alam al-arwah) pada saat benih manusia memasuki rahim, dan jiwa dihubungkan dengan jasad. Setelah kematian, jasad musnah, tapi jiwa tetap hidup dan tidak terpengaruh dengan kematian tersebut, kecuali kehilangan wadahnya.
Jiwa mempunyai kemampuan memahami, sehingga persoalan kenabian, ganjaran dan perbuatan manusia, dan seluruh berita tentang akhirat membawa makna dalam kehidupan manusia. Tidak demikian halnya dengan fisik. Sebab, apabila fisik manusia mempunyai kemampuan memahami obyek-obyek fisik lainnya, juga mesti mempunyai kemampuan memahami.
Kenyataannya tidak demikian. Menurut Al-Ghazali, kendati para filsuf muslim meyakini keabadian jiwa, tetapi pembukian mereka dengan akal hanya bisa ke taraf kemungkinan. Pengetahuan kebakaan hanya diberikan oleh agama. Persoalan yang muncul adalah, bagaimana meyakini orang yang ragu-ragu terhadap informasi agama?
Bagi Al-Ghazali, jiwa yang berasal dari ilahi mempunyai pontensi kodrati (ashl al-fithrah), yaitu kecenderungannya kepada kebaikan dan ke-engganan kepada kekejian. Pada waktu lahir, ia merupakan Dzat yang bersih murni dengan esensi Malaikat (alam al-malakutatau alam al-amr, QS. Al-Isra’ /17: 85 yakni,
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِۗ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا
Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang roh, katakanlah, “Roh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.” (QS. Al-Isra’:85).
Sedangkan jasad, berasal dari alam al-khalk. Karena itu, kecenderungan jiwa kepada kejahatan (yang timbul setelah lahiranya nafsu) bertentangan dengan tabiat aslinya. Tak heran, jika jiwa rindu alam atas dan ingin mendapingi para Malaikat, namun kerap kali diredam keinginan duniawi. Sebagaimana yang telah diketahui, manusia memiliki fitrah sebelum ia dilahirkan ke alam dunia, telah mengikat satu perjanjian dengan Allah di Alam Arwah sebagaimana yang dinyatakan dalam QS. Al-A’raf/7: 172 yakni,
وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.” (QS. Al-A’raf: 172).
Dari kedua ayat tersebut, dapat dipahami bahwa fitrah manusia adalah mentauhidkan Allah swt dengan menyakini segala sesuatu yang terjadi dimuka bumi atas kehendak dan kuasa Allah swt. Sekalipun demikian, kehidupan di muka bumi ini dipengaruhi oleh kebutuhan lingkungan sekitarnya, sehingga manusia dihadapkan pada dua pilihan hidup, yakni jalan kebaikan dan keburukan.
Kekekalan Jiwa
Mengenai kekekalan jiwa, Al-Ghazali menegaskan bahwa, Tuhan sesungguhnya dapat mengahancurkan jiwa (al-nafs), tetapi tidak melakukannya. Dalam QS. Ar-Rahman ayat 26-27 sudah jelas yakni,
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ
Artinya: “Semua yang ada di bumi akan binasa, dan yang tetap kekal adalah Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahmah 26-27).
Disini, Al-Ghazali berada dipersimpangan pandangan sebagai mutakallimin (kemungkinan hancurnya jiwa apabila dikehendaki tuhan), dan pandagan sebagai filsuf (jiwa mempunyai sebagai subtansial kekal). Dengan demikian, bantahan Al-Ghazali terhadap filsuf dalam bukunya tahafut al-falasifah, bukan ditekankan pada kekekalan jiwa. Akan tetapi, dalil-dalil rasional yang digunakan para filsuf untuk membuktikan kekekalan jiwa.
Empat dimensi jiwa menurut Al-Ghazali, Dimensi Ragawi: pada hakikatnya merupakan unsur materi dan manusia yang mengalami kerusakan dan kehancuran. Ia adalah benda pasif yang tak mempunyai daya tanpa rekayasa dari luar. Dimensi Nabati (tetumbuhan/al-Natiyyah): dimensi ini memiliki fungsi nutrisi (al-Qadhiyyah), fungsi pertumbuhan (al-Naamiyah), dan fungsi reproduksi (al-Muwallidah).
Dimensi Hewani (al-Hayawaniyyun): dimensi hewan terdapat dua daya, yaitu daya penggerak (al-Muharrikah) dan daya penangkapan/persepsi (al-Mudrikah). Dimensi Insani: daya jiwa khas manusia atau dikenal dengan jiwa rasional (an-Nafs an-Natiqah), daya jiwa lebih tinggi dari pada itu dan telah memiliki dua daya, yaitu daya praktis (al-Amilah) dan daya teoritis (al-Alimah, an-Nazariyah). Dalam hal ini lebih dikenal dengan istilah akal (akal teoritis dan akal praktis).
Jiwa dan Jasad
Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah,setiap jiwa di beri jasad, sehingga dengan bantuanya jiwa bisa mendapatkan bekal bagi hidup kekalnya. Jiwa merupakan inti hakiki manusia dan jasad hanyalah alat baginya untuk mencari bekal dan kesempurnaan; karena jasad sangat di perlukan oleh jiwa maka ia harus di rawat baik-baik.
Jiwa itulah yang mengetahui allah, mendekati-Nya, berbuat unrtuk-Nya, berjalan menuju-Nya dan menyingkapnya anggota tubuh merupakan pengikut, pelayan dan alat yang dipekerjakan oleh jiwa di pekerjakan sebagai tuan menggunakan pelayan, seumpama gembala memakai dombanya dan seorang tukang dengan alatnya. Jiwa itulah yang di terima oleh Allah “ ia yang terselubung dari-Nya” jiwa itu yang di cari, ia yang di tegur dan digugat. Jiwa itu yang merasa gembira dan berhasil jiwalah yang memperoleh kecewa dan sengsara.
Semua yang ada pada jasad merupakan “pembantu”jiwa. Sebagian dari pembantu itu terlihat nyata, seperti tangan, kaki, dan bagian-bagian tubuh luar dan dalam yang lain. Pembantu lain yang tidak terlihat, dapat di kelomokkan kepada tiga, yaitu:
(a)yang merupaknan sumber dari motif (dorongan) dan rangsangan; motif untuk mendapatkan yang bermanfaat di sebut keinginan,dan motif untuk menolak yang merusak dinamakan kemarahan. (b) kekuatan (qudrah) yang mengerakkan anggota badan kearah benda yang diinginkan atau mejauhi yang di benci; ini menebarpadasemua anggota tubuh, khususnya pada otak dan syaraf.
(c) kemampuan menangkap pengetahuan, yang terdiri dari dua maacaam alat; yang petama pancaindera, dan yang kedua ialah lima daya yang berada pada lima tempat di otak manusia. Kemampuan-kemapuan ini adalah khayal (takhayyul), yaitu gambaran atau representasi; daya simpan atau retensi (tahaffuzh), daya fikir (tafakkur), daya ingat (tadzakkur) dan sensus communis (al-his al-musyatarak). Semua indera dan daya ini juda di temukan hewaan-hewan.
Adapun daya yang khas ada pada jiwa manusia, yaitu daya pencapai pengetahuan, yakni akal. Akan mengetahui kenyataan-kenyataan di dunia ini dan di akhirat yanbg tak bisa di tangkap oleh inder. Akal juga tau akibat dari suatu perbuatan jika akibatnya baik,maka kemauan untuk berbuat itu lahir dari dalam pikiran. Sampai disini tidak beda penadapt Al-Ghazali dengan rumusan par filsuf muslim lainnya dalam fungsi teoritis dan peraktis. Alasan yang di kemukakan Al-Ghazali, bahwa hal itu tidak bertentangan dengan agama. Dengan demikian, pendekatan Al-Ghazali lebih bercorak religius, kendatipun perumusannya secara filosofis.
Selain hubungan jiwa dan jasad seperti di atas, Al-Ghazali juga menyebutkan bahwa hubungan di maksud pada hakikat nya sama dengan interaksionisme. Meskipun jiwa dan jasad merupakan jasad yang bereda, keduanya saling mempengaruhi dan menetuka alannya masin-masing.
Karena itu, bagi Al-Ghazali setiap perbuatan akan menimbulkan pengaruh pada jiwa, yakni membentuk kualitas jiwa, asalkan perbuatan itu dilakukan secara sadar. Perbuatan yang dilakukan berulang-ulang selama beberapa waktu kan memberi pengaruh yang mantap pada jiwa. Sementar perbuatan yang dilakukan tanpa sadar, tidak akan mempengaruhi jiwa.
Demikian pula sebaliknya, jiwa mempengaruhi jasad:apabila suatu kualitas telah dimiliki oleh jiwa, perbutan anggota badan yang besesuaian denagn kualiatas ini terdorong untuk dilaksanakan. Kemauan lemahnya kualitas tadi. Lebih jauh Al-Ghazali menegaskan, karena inrerasi inilah jiwa itu diturunkan alam benda atu duniawi agar iadapat menyempurnakan dirinya melalui amal perbuatan.