Sedang Membaca
Sekularisme Prancis dan Empan Papan Kecintaan kepada Nabi di Ruang Publik
Akhmad Faozi
Penulis Kolom

Penulis berasal (lahir) dari kultur ‘tani’ desa Geneng Mulyo kecamatan Juwana kabupaten Pati, Jawa Tengah. Domisili di Jogja. Hobi: menikmati dan belajar hidup melalui sabda 'iqra'. Sesekali berpiknik fiksi dan ilmiah, untuk memaknai keseharian yang dijalani.

Sekularisme Prancis dan Empan Papan Kecintaan kepada Nabi di Ruang Publik

Whatsapp Image 2020 10 30 At 10.24.26 Am

Saya mengamati perkembangan kasus tragis di Prancis. Isu yang berkelindan, berkisar pada perkara oktagonis berikut: sekularisme dihadapkan dengan Islam, kebebasan berekspresi dihadapkan dengan tindak (kekerasan) kemarahan. Semua itu terus meriuh di ruang publik.

Sinopsis kasus memprihatinkan ini dimulai dengan ulah redaktur majalah satir Charlie Hebdo yang mengkarikaturkan Nabi Muhammad sebagai konten majalahnya. Bisa ditebak, respon umat Islam sedunia meruyak. Umat Islam muntab, marah dan tersinggung. Buahnya, kantor majalah ini diserang, 12 orang jadi korban penembakan, nyawa mereka melayang (bbc.com, 1/11/2020). Terjadi di 2015, ulah ini berlanjut kembali di tahun ini. Majalah yang sama kembali menerbitkan karikatur Nabi Muhammad.

Cerita bergulir. Ironi tragis terjadi bukan di Charlie Hebdo lagi. Samuel Paty, seorang guru sejarah dipenggal kepalanya, disinyalir karena menunjukkan karikatur Nabi di dalam kelas. Macron sebagai presiden Prancis, membela Paty dan mengutuk pelaku pembunuhan atas Paty. Tetapi dalam pernyataan empatis dan nasionalistisnya kepada Paty, terselip pernyataan Macron yang terkesan “meremehkan” fakta dikartunkannya Nabi Muhammad. Dalihnya kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Macron langsung mendapat sorotan. Masyarakat muslim, menyayangkan sikap politis Macron tersebut. Beragam protes dan demonstrasi berlangsung. Termasuk aksi pemboikotan produk-produk Prancis di negara-negara bermayoritas muslim.

Jika berkenan meminjam bait Chairil Anwar—“nasib manusia adalah kesunyian masing-masing”—menunjukkan adanya batas jelas, bahwa satu kepala tidaklah terhubung dengan kepala lain. Kepala Macron tidak sama dengan kepala umat Islam. Isi kepala Macron adalah sekularisme khas Prancis dengan selatar sejarahnya sendiri. Kepala umat Islam dengan isinya sendiri, yaitu kecintaan pada Nabi berikut seluruh historisitas dan penghayatannya sendiri yang khas.

Baca juga:  Fenomena Antitesis Dunia Sastra

Tesis Sekularisme Prancis

Negara atau lebih tepatnya bangsa Prancis memiliki sejarah kebangsaan dan imaji masa depan bangsanya sendiri. Termasuk di dalamnya adalah Macron, yang saat ini menjadi presiden negara penghasil para filsuf modern itu. Menjadi sekuler adalah pilihan mereka.

Sekularisme sendiri tidak satu definisi, tetapi memiliki satu imaji rasional yang sama yaitu “memprivatkan agama di ruang bersunyi sendiri” terpisah serta tidak terbaur dengan praktik publik politis (F. Budi Hardiman, 2018). Sejarah pahit tersebab konflik berkemul agama dalam gelaran sejarah bangsa Prancis, menjadi alasan masuk akal diambilnya pilihan secular sebagai “isme” sosial mereka.

Sebelum menjadi modern, Eropa secara umum (tentu termasuk Prancis) mengalami masalah sosial dan kemanusiaan sangat pelik yang bersifat fundamental, yaitu absolutisme agama di ruang publik. Lalu, berlangsung sistem politik bermodel teokrasi otoriter: agama dan kekuasaan politik melebur. Urusan kebenaran dan keruhanian menjadi tugas negara. Individu kehilangan kebebasan, karena diterali dengan ‘monitor akhlak’ agama melalui negara sebagai saklar kebijakan publik.

Filsafat, penelitian keilmuan serta ragam-ragam ekspresi intelektual menjadi mampat. Minimalnya hanya berlangsung pada wilayah yang diabsahkan oleh gereja. Beberapa ilmuwan bahkan mengalami hukuman penyiksaan dan penghilangan nyawa karena dianggap menentang kawruh gereja. Tragis, naif, sadis.

Dengan pengalaman-pengalaman muram tersebut, Prancis cepat-cepat mengambil sikap. Mereka emmoh dipaksa-paksa dan diawasi oleh agama (gereja) lagi. Terjadi sekularisasi di wilayah publik politis. Salah satu contoh kebijakan (paling populer) yang mewakili ke-emmoh-an akan terulangnya absolutisme agama adalah dilarangnya simbol-simbol agama ditampilkan secara ketok moto di ruang-ruang publik. Walaupun kebijakan ini terbilang kontroversial, tapi masih fine-fine saja sampai saat—termasuk yang paling nyaring—kasus Charlie Hebdo mengkartunkan Nabi Muhammad. Sosok yang ubermensch bagi umat Islam.

Baca juga:  Bahasa Indonesia: Masa dan Peristiwa

Mengempan-Papankan Kecintaan Mbalung Sumsum kepada Nabi

Sejarah dan pengalaman berbeda terjadi pada umat Islam. La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah adalah bait pertama keimanan yang, berarti pula pusaka terwingit keislaman. Hal ini bermakna sangat jelas dan tegas: prioritas hidup umat muslim adalah Allah dan Muhammad. Hal yang (seharusnya) paling berharga bagi muslim adalah dua itu. Maka menyentuh satu dari dua wilayah ini (ketuhanan dan kenabian) adalah menyentuh sisik terbalik umat Islam.

Umat Islam sebagian besar adalah awam. Artinya mereka bukan pakar. Mereka tidak—bahasa halusnya belum—memiliki perangkat memadai untuk berlogika atau bernalar secara proporsional. Pun termasuk dalam masalah agama. Sampai di sini, pola pikir mereka tentu pola pikir awam. Sebentuk pola pikir paling dasar. Apa itu? Iman pada Allah dan cinta pada Nabi.

Terminologi cinta ini saya kira yang paling tepat sebagai representasi nuansa keterhubungan umat Islam dengan nabi mereka. Fenomena kecintaan atau getaran semacam ini, memang tidak begitu mudah diperpahamkan melalui verbalisasi, bahkan rasionalisasi. Tidak mungkin setiap orang disepahamkan, alih-alih yang bukan muslim. Tetapi hal ini tidak menutup fakta bahwa getaran afeksi kecintaan kepada Nabi Muhammad perlu dinyatakan sebagai satu bentuk cinta yang pekatnya telah mbalung sumsum.

Nabi Muhammad, bagi muslim posisinya (bahkan) melebihi orang tua kandung. Jika menghina nama ibu atau bapak saja bisa memicu cekcok dan perkelahian sampai tumpah darah, bagaimana bila yang disentuh adalah nabi Muhammad. Wajar bila ketersinggungan muslim sedunia merebak.

Baca juga:  Pencitraan dalam Koridor Islam

Walaupun umat Islam sebagian besar sudah terlalu nyaman dengan rebahan dan ber-cuat-cuit di sosial media, sehingga sedikit yang berkeras tekad menjadi saleh dan dewasa, tetapi mereka tidak pernah lupa kepada siapa yang memberi ‘cinta’ kepada mereka. Sampai saat ini mereka tidak pernah terlalu malas untuk sedikitpun lupa bahwa nabi Muhammad adalah nabi mereka yang memberikan seluruh hidup dan kasih sayangnya untuk umat (manusia) muslim.

Sekali lagi perlu ditegaskan, Nabi Muhammad adalah kebanggaan dan tujuan cinta bagi seluruh umat muslim. Nabi Muhammad tidak boleh disepadankan dengan manusia lain yang, bisa saja digambar, atau dikartunkan.

Merujuk pada mbah Ghazali di Ihya’ Ulumuddin, melaknat dan mencaci adalah sebentuk cacat iman. Apalagi sampai melakukan kekerasan dan pembunuhan. Tetapi protes harus tetap dinyatakan melalui beragam pernyataan dan ekspresi non kekerasan. Tidak boleh diabaikan! Karena “Lawan dari cinta bukanlah kebencian, melainkan pengabaian” (Elie Wiesel).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top