Sedang Membaca
Pengertian, Pensyari’atan, dan Referensi Ilmu Jarh wa Ta’dil
Rif'an Haqiqi
Penulis Kolom

Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, sekarang aktif sebagai Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan Purworejo.

Pengertian, Pensyari’atan, dan Referensi Ilmu Jarh wa Ta’dil

Kitab

Ilmu hadis, dalam satu setengah abad terakhir mendapat perhatian lebih setelah sekitar tiga abad lamanya mengalami fase kejumudan. Kebangkitan ilmu hadis dimulai pada awal abad ke-13 Hijriah seperti dikatakan Syekh Nuruddin ‘Itr dalam Manhaj al-Naqd nya.

Tak heran jika ilmu ini mengalami perkembangan pesat, semua bidang ilmu hadis baik riwayah ataupun dirayah mengalami perkembangan, meskipun ilmu dirayah jauh lebih berkembang karena lebih banyak diminati. Namun demikian, masih ada nama-nama sekaliber Syekh Yasin Padang dan Sayyid Ahmad Al-Ghumari dalam bidang riwayah, nama terakhir bahkan mendapat julukan “Ibn Hajar di masanya” oleh beberapa ulama, karena kapabilitasnya dalam ilmu hadis baik riwayah maupun dirayah.

Dalam perkembangannya, ilmu hadis dirayah mengalami banyak klasifikasi, ada ilmu tentang sanad, ilmu tentang takhrij, ilmu tentang matan, ilmu tentang nama-nama periwayat hadis, tahun lahirnya, tahun wafatnya, tempat tinggalnya, tempat belajarnya, hingga kepribadiannya. Yang terakhir ini disebut dengan ilmu Jarh wa Ta’dil; sebuah ilmu untuk mengetahui apakah seorang periwayat hadis adalah orang yang memenuhi kriteria tertentu sehingga hadisnya diterima, atau tidak memenuhi sehingga konsekuensinya adalah hadisnya tertolak.

Pengertian

Seperti disebutkan sebelumnya, ilmu Jarh wa Ta’dil adalah ilmu untuk mengetahui kepribadian seorang periwayat hadis yang berkonsekuensi apakah hadisnya diterima atau ditolak. Atau bisa dibilang sebagai ilmu tentang cara menilai periwayat hadis. Syekh Nuruddin ‘Itr dalam Manhaj al-Naqd mengartikan jarh dan ta’dil sebagai berikut:

الجرح عند المحدثين هو الطعن في راوي الحديث بما يسلب أو يخل بعدالته أو ضبطه. والتعديل عكسه، هو تزكية الراوي والحكم عليه بأنه عدل أو ضابط

“Jarh menurut ahli hadis adalah mengkritik seorang periwayat hadis dengan hal yang mencederai sifat ‘adalah atau hafalannya. Sedangkan ta’dil adalah kebalikannya, yaitu membersihkan seorang perawi dari hal-hal yang mencederai sifat ‘adalah dan hafalannya, dan menetapkannya sebagai perawi yang memiliki sifat ‘adalah serta kuat hafalannya.

Baca juga:  NU dan Konsep Kekuasaan

Definisi di atas tidak dapat kita pahami sepenuhnya sebelum kita memahami makna dari dua kata berikut; dlabth dan ‘adalah. Dalam definisi di atas, dlabth memang diterjemahkan dengan “kuat hafalan”. Namun, sebenarnya itu hanyalah salah satu jenisnya saja. Imam Ibn Shalah dalam Muqaddimah-nya menggambarkan seorang periwayat yang memiliki dlabth sebagai berikut:

أن يكون متيقظا غير مغفل. حافظا إن حدث من حفظه، ضابطا لكتابه إن حدث من كتابه

Seseorang yang terjaga dan tidak mudah lupa. Hafal hadisnya jika dia meriwayatkan hadis dari hafalannya. Dan menjaga kitabnya dari cacat jika dia meriwayatkan hadis dari kitabnya.

Kata “terjaga” di atas adalah sebuah kiasan yang berarti seseorang memiliki kesadaran penuh yang dengan kesadaran ini, dia dapat menimalisir lupa dan kerancuan dalam pikirannya disebabkan menerima terlalu banyak hadis. Dari ucapan Imam Ibn Shalah di atas, dapat kita pahami bahwa ada dua tipe periwayat hadis. Pertama, periwayat yang meriwayatkan hadisnya langsung dari hafalannya, tanpa membuka catatan. Tipe pertama ini disyaratkan memiliki hafalan yang kuat. Kemampuan menghafal ini disebut dlabth shadr. Kedua, periwayat yang meriwayatkan hadisnya dengan melihat buku catatannya. Jadi, ketika dia mendapat suatu hadis, dia mencatatnya, lalu ketika dia hendak menyampaikan hadis tersebut pada orang lain, dia membuka kembali catatannya tersebut. Tipe kedua harus menjaga kitab catatannya dari cacat seperti salah tulis, pemalsuan oleh orang lain, dsb. Kemampuan menjaga kitab semacam ini disebut dlabth kitab.

Sedangkan ‘adalah sebagaimana didefinisikan oleh Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Nuzhah-nya adalah

Baca juga:  Benarkah Al-Ghazali dan Al-Asy'ari Sumber Kemunduran Dunia Islam? (Bagian Ketiga)

ملكة تحمل صاحبها على ملازمة التقوى والمروءة. والمراد بالتقوى: اجتناب الأعمال السيئة من شرك أو فسق أو بدعة

Kemampuan yang mendorong seseorang untuk senantiasa bertakwa dan menjaga harga diri (muru’ah). Yang dimaksud takwa adalah menjauhi perbuatan buruk seperti syirik, fasiq, dan bid’ah.

Syekh Nuruddin ‘Itr dalam Manhaj al-Naqd menjelaskan bahwa yang disebut menjaga muru’ah adalah dengan meninggalkan segala hal yang dapat merendahkan harga dirinya berdasarkan adat yang tidak menyimpang (‘urf shahih) seperti buang air kecil di jalan, sering menertawakan orang lain, dll. Sebenarnya ada perdebatan panjang mengenai muru’ah ini; Apakah termasuk syarat untuk mencapai sifat ‘adalah, atau bukan?. Perdebatan ini dibahas secara bernas oleh Imam al-Mawardi dalam al-Hawi-nya dalam bab Persaksian (Syahadah), beliau berkesimpulan bahwa ada sebagian dari muru’ah yang menjadi syarat, dan ada yang tidak.

Dasar Pensyari’atan

Jarh wa ta’dil memang membicarakan hal-hal personal orang lain, seperti mengatakan “Fulan adalah pembohong, Fulan jujur tapi tidak pandai, Fulan pernah mencuri maka hadisnya tidak dapat diterima”. Sedangkan dalam Islam, ada larangan keras menggunjing orang lain (Ghibah); yakni membicarakan orang lain dengan hal yang tidak dia suka. Bahkan Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah mengatakan bahwa ghibah adalah pelanggaran yang lebih berat dibanding 70 kali zina. Lantas bagaimana menyikapinya?

Baca juga:  Konsep Fikih Menjaga Lingkungan (3): Khazanah Fikih tentang Daerah Aliran Sungai

Berikut ini adalah beberapa ucapan ulama yang menunjukkan bahwa melakukan kritik terhadap periwayat hadis (jarh) bukan termasuk ghibah yang dilarang:

Imam Ahmad bin Hanbal

Al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Kifayah-nya meriwayatkan ucapan Imam Ahmad bin Hanbal melalui jalur sanad putra beliau, yakni Imam Abdullah

ﺟﺎء أﺑﻮ تراب النخشبي إلى أبي ﻓﺠﻌﻞ أبي يقول: فلان ﺿﻌﻴﻒ، فلان ثقة، فقال أبو تراب: ﻳﺎ ﺷﻴﺦ ﻻ ﺗﻐﺘﺐ اﻟﻌﻠﻤﺎء، ﻓﺎﻟﺘﻔﺖ أبي إليه فقال ﻟﻪ: وﻳﺤﻚ ﻫﺬا ﻧﺼﻴﺤﺔ، ﻟﻴﺲ ﻫﺬا ﻏﻴﺒﺔ

Abu Turab al-Nakhsyabi datang pada ayahku, kemudian ayahku berkata: Fulan adalah periwayat yang lemah, Fulan adalah periwayat terpercaya. Lalu Abu Turab berkata: Syekh, jangan menggunjing ulama!. Lalu ayahku menoleh padanya dan berkata: Celakalah engkau, ini nasihat, bukan menggunjing.”

Abdullah bin al-Mubarak

Masih dalam al-Kifayah, suatu ketika Abdullah bin al-Mubarak sedang mengkritik salah satu periwayat, lalu salah satu sufi berkata

ﻳﺎ ﺃﺑﺎ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﺣﻤﻦ تغتاب

“Engkau menggunjing.”

Lalu Abdullah bin al-Mubarak menjawab

قال: اﺳﻜﺖ، إذا ﻟﻢ ﻧﺒﻴﻦ ﻛﻴﻒ يعرف الحق  ﻣﻦ اﻟﺒﺎﻃﻞ

“Diamlah! Jika aku tidak menjelaskan, bagaimana bisa membedakan yang benar dan yang batil.

Imam al-Nawawi

Dalam Riyadlush Shalihin, ketika menjelaskan sebab-sebab yang melegalkan ghibah, Imam al-Nawawi berkata

اﻟﺮاﺑﻊ: ﺗﺤﺬﻳﺮ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻣﻦ اﻟﺸﺮ وﻧﺼﻴﺤﺘﻬﻢ, و ذﻟﻚ ﻣﻦ وجوه: ﻣﻨﻬﺎ: جرح اﻟﻤﺠروحين ﻣﻦ اﻟﺮواة والشهود، وذﻟﻚ ﺟﺎﺋﺰ ﺑﺈﺟﻤﺎع اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ, ﺑﻞ واجب ﻟﻠﺤﺎﺟﺔ

Keempat: mewanti-wanti dan menasihati umat Islam. Bisa terjadi dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah mengkritik periwayat hadis dan para saksi. Hukumnya boleh menurut konsensus ulama’, bahkan wajib karena memang dibutuhkan.”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
2
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top