Sepuluh tahun lalu, 6 Agustus 2009, Willibrordus Surendra Broto Rendra, yang kemudian menjadi Wahyu Sulaiman Rendra setelah memeluk Islam, wafat. Tepatnya pada malam purnama, hari Kamis, atau malam Jumat. Saya tidak dekat dengan mas Willy — sapaan penyair besar kelahiran 7 November 1935 itu. Namun saya sempat main ke Bengkel Teater beberapa kali, di tengah malam tua, dan diterima langsung dengan hati terbuka oleh mas Willy.
Biasanya, begitu saya dan penyair Doddy Achmad Fauzy tiba di sana, mas Willy akan menghimpum pasukannya yang tersisa. Lalu mendongeng tentang apa saja, kepada kami semua.
Seperti biasa pula, kami hanya mengamini apa yang dikatakannya. Kalau ceritanya lucu, kami terbahak tentu saja. Saat itu, awal tahun 2000-an, kesehatan mas Willy masih baik-baik saja. Meski tampak sepuh, tapi elan vitalnya kalau bercerita, masih luar biasa.
Mas Willy bisa bercerita tentang anak SMA yang belum selesai tumbuh, maaf, jemb**nya, sampai negara yang sebenarnya menjadi penjahat sebenarnya. Kami pokoknya cukup menjadi pendengar yang baik. Sisanya, biarkan mas Willy ndongeng tentang apa saja.
Mas Willy happy, dan kami dapat limpahan ilmu tak berperi. Singkatnya, sebelum azan subuh tiba, kami biasanya mohon pamit. Sebelum anak-anak SMA yang belum selesai tumbuh jemb**nya terbangun untuk sekolah, kami sudah cabut.
Pertemuan lain dengan mas Willy biasanya terjadi di Taman Ismail Marzuki. “Ketemu asu” saja, kata orang Semarang. Hanya saling “njegug” (baca: menggonggong), saling menyapa, lalu melanjutkan garis nasib masing-masing. Asyiklah pokoknya.
Meski nama dan personanya sudah berumah di awan, mas Willy masih sudi meriung dengan para percil seperti kami. Seperti Tarji, ya Sutardji Cholzoum Bachri. Mas Willy menempatkan manusia dengan laras dan sahaja. Sehingga kami bisa gede rumangsa dan tidak kecil hati saat berada di sekitarnya.
Sampai akhirnya, berita itu datang juga. Kabar yang paling emoh diterima, meski pasti tibanya. Sunnatullah yang akan menghampiri siapa saja. Tanpa terkecuali.
Setelah memastikan warta itu benar dan sahih adanya. Pada Jum’at (7/8) paginya, saya merapat ke Bengkel Teater, di Cipayung. Sesampainya di sana, banyak jawara yang telah tiba di rumah duka.
Jika Anda mau tahu seberapa hebat, besar, digdaya dan sohornya seseorang, tengoklah saat kematiannya menyapa. Maka para ksatria akan turut menghantar kepergiannya. Khalayak ramai tak ketinggalan serta berduyun-duyun mendoakannya. Pejabat negara, juga tak mau kehilangan muka, dengan ikut mentakziahinya.
Menurut penyair dan budayawan Emha Ainun Nadjib, kepergian mas Willy merupakan suatu ‘kematian yang sempurna.’
“Dan, Tuhan seperti hendak mempertontonkan kepada kita bahwa Rendra adalah mahluk terkasihnya,” kata Emha kala itu, saat menjadi semacam host dadakan pada acara testimoni Kematian Si Burung Merak di Desa Cipayung, Depok, Jawa Barat.
Cak Nun ‘panggilan Emha’ mendaku, sepanjang hidupnya ia belum pernah mendapati seorang seniman meninggal pada malam indahnya purnama, tepat pukul 22.05, pada Kamis malam Jum’at. Menurut Cak Nun, malam Jum’at adalah malam terpenting dan tersakral bagi Tuhan.
“Sehingga tidak berlebihan jika Tuhan seperti hendak menandai, bahwa Ia ingin memanggil mahluk yang dikasihinya pada malam yang mulia.” Lalu, dengan gaya bersajak setengah berpekik Cak Nun berkata: “Mas Willy! Mas Willy! Bawa kami semua ke surgamu juga…!”
Seusai Ainun menumpahkan kesaksiannya, bergiliran sahabat almarhum seperti Adnan Buyung Nasution, Jose Rizal Manua, Mudji Sutrisno, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Adi Kurdi, Slamet Rahardjo, Sardono W. Kusumo, Sapardi Djoko Damono, Deddy Sutomo, Yati Octavia, Amak Baldjun hingga pelawak Tarzan yang duduk bersebelahan dengan Menteri Kebudayaan kala itu, Jero Wacik, memberikan kesaksian mereka.
Seperti saya bilang di muka. Dari kehadiran para tokoh itu, tanpa harus dijelaskan, sudah sangat benderang betapa nama besar WS. Rendra sangat mengemuka semasa hidupnya.
Di tengah kerumunan pelayat dan sanak kadang, seperti Ken Zuraida (istri ketiga Rendra), Sitoresmi (mantan istri kedua Rendra), dan Clara Shinta, anak dari almarhumah Sunarti, istri pertama Rendra, tumpukan kesaksian yang disampaikan tetamu, lebih dari cukup untuk meneguhkan kesejatian jasad yang terbujur kaku dan dikelilingi para peziarah itu.
Bahkan, acara testimoni yang dimulai mulai pukul 10.00 WIB itu, terpaksa dihentikan karena waktu Shalat Jum’at telah tiba.
Padahal, para pelayat seperti Sutardji Colzoum Bachri, Sitor Situmorang, Iwan Fals, Ian Antono, Ratna Riantiarno, Jajang C. Noer, Jockie Soerjoprajogo, Christianto Wibisono dan berpuluh publik figur serta tokoh masyarakat lainnya, tak henti-hentinya mengalir, menyesaki kompleks Bengkel Teater Rendra, untuk memberikan penghormatan pamungkas.
Cak Nun dengan cair memberikan kebebasan kepada siapa pun untuk memberikan kesaksian mereka, terutama yang pernah bersentuhan dengan WS. Rendra.
Misalnya, bagaimana Adnan Buyung Nasution, yang konon salah seorang yang dihormati Rendra, selain almarhum Umar Kayam dam Sutardji Colzoum Bachri, pada masa sakitnya, tak henti membujuk Rendra untuk menjalani perawatan dengan tekun dan sabar, meski sangat membosankan dan tidak mengenakkan.
“Sebenarnya, dia enggan untuk cuci darah, tapi setelah saya bilang kondisi ginjalmu dengan saya beda, dan dengan jaminan belum tentu kamu cuci darah terus, akhirnya dia mau cuci darah,” kata Buyung kala itu. Sembari terisak Buyung berusaha menguatkan hati dan meneruskan kesaksiannya.
“Beliau adalah pejuang aktivis sejak 1966 bersama saya, Sjumandjaja, Ami Priyono, serta para budayawan lainnya, untuk turut memperjuangkan hak asasi hingga 90-an. Beliau adalah pejuang yang ikhlas, tanpa pamrih, dan berkali-kali mengatakan kepada saya ketika menengok saya ke Belanda saat saya dalam keadaan susah: “Kalau mau jadi pejuang harus siap hidup susah”.
Nasihat Rendra itulah yang dijadikan acuan Buyung untuk berani berjuang dan susah demi bangsa dan negara. Di luar nilai-nilai kemanusian yang diperjuangkan Rendra hingga akhir hayatnya, bahkan penjara pun tidak pernah menyusutkan dan menyurutkan keberaniannya menyuarakan kebenaran.
Menurut Direktur RRI kala itu, Parni Hadi, keberanian Rendra pada 70-an adalah yang paling ditunggu para pewarta muda seperti dirinya.
Karena, cerita Parni, pada masa rezim Soeharto yang represif itu, semua orang nyaris bersuara seragam. “Dan, ketika Rendra muncul dengan suara lantangnya, para anak muda langsung mendukungnya. Apalagi karyanya seperti Kisah Perjuangan Suku Naga mampu mewakili sikap perlawanan para pewarta muda seperti saya pada masa itu,” kenangnya.
Putu Wijaya, salah seorang murid pertama Rendra semasa Bengkel Teater masih bermarkas di Yogyakarta menyatakan testimoninya dengan nuansa lebih emosional.
Sebagai seorang murid, motor Teater Mandiri itu menggunakan gaya bahasa percakapan langsung kepada mentornya, sembari menatap haru jasad gurunya yang terlindungi keranda berselimut kain hijau. Dengan terbata, ia berkata: “Mas… dengan seluruh perbuatan yang pernah kaulakukan, dengan seluruh karya yang kau ciptakan kemarin dan hari ini, kau tidak pernah pergi dari kami.
“Tiap detik engkau akan menyala dalam diri kami. Tiap hari kau akan terus memberikan inspirasi yang menyala dalam diri kami. Tiap hari, engkau akan terus memberikan inspirasi untuk terus bergerak. Kau telah mengajarkan kepada kami, dengan keberanianmu yang luar biasa…
“Kau pula yang mengajarkan kepada kami untuk gagah dalam kemiskinan. Kau adalah hulu dari teater modern Indonesia. Kau telah melakukan segala-galanya, yang terkadang baru bagi orang lain.
“Kau akan tetap di sana dan tidak akan tergantikan. Kaulah yang mengajarkan kepada kami untuk melawan, kaulah yang mengajarkan kepada kami untuk tidak pernah menyerah.”
Selanjutnya, dengan isak dan tersengal, Putu berjanji di hadapan hadirin dan jasad Rendra, dalam hitungan 100 hari terhitung mulai Jumat itu, ia akan akan mementaskan lakon Rendra yang belum sempat dipentaskan gurunya itu.
Kesaksian Romo Mudji Sutrisno lebih berkisah tentang pertemuan terakhir mereka, ketika pengajar filsafat di Universitas Driyarkara dan UI itu menjenguk sobatnya itu.
Mudji mengisahkan, betapa Rendra berkisah padanya bahwa ia sedang menulis puisi berjudul ,”Nderek Ibu”,tentang ia ingin pulang ke rahim ibu. Tentang perjuangan Rendra kembali kepada Ibu dan Bapanya, yang menurut dia, Ibu dan Bapa adalah perjalanan spiritualnya menuju Tuhan, menuju Allah, menuju Yahwe. “Dia ingin nderek (ikut) Ibu, karena dilahirkan dari rahim seorang Ibu”.
Sardono W. Kusumo, yang menurut Cak Nun adalah pendekar yang setara dengan WS. Rendra, namun berada dalam wilayah berbeda, menyatakan ketakzimannya kepada Rendra, dengan penuh kerendahan hati. Menurut dia, dalam dunia pendidikan seni memang ada Profesor Doktor dalam ilmu kesenian dan kebudayaan.
“Tapi tokoh dan model seperti Mas Willy yang selalu tersenyum dan jenaka, itu sangat dibutuhkan demi menyumbang kreativitas berkesenian dan berkebudayaan. Sehingga empu seperti Mas Willy sangat dibutuhkan sekali,” katanya. Selain itu, Rendra sepengakuan Sardono mengajarkan kepadanya, kreativitas bukanlah monopoli seniman belaka.
Para politisi, ahli hukum, juga mempunyai kreativitas yang luar biasa. “Dan, seniman harus belajar dari seniman-seniman seperti itu.” Di luar, seniman harus mengejar platform religiusitas yang terserak di jalan-jalan hingga di institusi formal.
Tarzan juga tak ketinggalan memberikan kesaksiannya. Betapa seorang Rendra pun banyak memberikan inspirasi dalam setiap aksi lawakannya.
Lalu masih ada Jose Rizal Manua yang membacakan salah satu sajak favorit Rendra. Sajak Kesaksian. Satu di antara banyak sajak Rendra yang sangat terkenal. Yang telah dianggapnya sebagai guru, abang dan saudaranya itu:
Aku mendengar suara jerit hewan yang terluka
Ada orang memanah rembulan
Ada anak burung terjatuh dari sarangnya
Orang-orang harus dibangunkan
Kesaksian harus diberikan
Agar kehidupan tetap terjaga.
Sapardi Djoko Damono, penyair dan Guru Besar Fakultas Budaya UI dalam kesaksiannya mengakui, sosok rendralah yang membuatnya menjadi seorang penyair. Menurut Sapardi, “Sekarang Mas Willy telah menjadi sebesar sosok-sosok yang diciptakannya sendiri, seperti tokoh Atmo Karpo dan lainnya”.
Slamet Rahardjo Djarot, murid favorit mendiang Teguh Karya dan sekarang menjadi motor teater Populer warisan gurunya itu mengaku, sosok Rendra adalah senior yang selalu dengan lantang mengingatkannya dalam kebaikan dan kesabaran.
“Pada sebuah malam, Mas Willy mukanya berang. Dan tangannya langsung menunjuk ke muka saya,” katanya. Kalimat yang selanjutnya terus berkumandang di benak Slamet dari seniornya itu adalah: “Kembali ke nuranimu. Jangan sekali-kali kamu berbohong, dengan apa yang kamu yakini.”
Fungsi sebagai teman dan guru yang berani menghancurkan kesombongan milik kawannya itulah, yang selalu diperankan Rendra. “Meski sebenarnya saya tahu, sebenarnya Mas Willy selalu menyayangi saya. Setelah dia pergi, tiba-tiba saya jadi rindu tudingan tangan Mas Willy.”
Setelah Slamet bersaksi, Adi Kurdi, Deddy Sutomo dan Amak Baldjun sebagai murid WS. Rendra di awal karir teater mereka di Yogjakarta, mendapat giliran.
Bagaimana dengan kesaksian putrinda Clara Shinta yang sejak mula selalu menundukkan kepala, tepat di hadapan jasad almarhum ayahanda tercinta?
Dengan mata yang sembab, dia berujar: “Terima kasih untuk kedatangannya, terima kasih untuk doanya, terima kasih untuk cintanya.” Sembari memohonkan ma’af atas semua kesalahan, baik yang disengaja atau tidak, Clara berjanji akan mengungkapkan keterangan selengkapnya, kenapa Papanya dalam perjalanan perawatan kesehatannya berpindah-pindah rumah sakit.
“Dari (Rumah Sakit) Cinere, ke RS Harapan Kita, dan ke RS Mitra Keluarga Kelapa Gading. Mengapa dan bagaimana, akan saya jelaskan pada saat yang tepat. Saat ini yang terpenting, semoga Papa mendapatkan kebahagiaan yang abadi, dan dilapangkan jalannya.”
Ken Zuraida, istri yang menjuluki dirinya sendiri sebagai, “Kebetulan istri Rendra, murid, asisten, musuh, kawan sekaligus pembantunya,” dengan penguasaan emosi yang terjaga, mengajak seluruh awak Bengkel Teater Rendra menembangkan lagu “Singgah-Singgah”.
Setelah lagu menyayat itu dilagukan dengan nuansa ngungun, pendidik Arief Rahman menutup dengan doa, sebelum jasad WS. Rendra disalatkan usai sholat Jumat di Masjid Nurul Yaqin, yang berada di seberang Bengkel Teater Rendra.
Setelah dibawa kembali dan disemayamkan di Bengkel Teater Rendra, dan kesepuluh anak WS. Rendra dari tiga istri telah datang dari Bali, Kalimantan, dan Yogjakarta, maka seniman, budayawan, dramawan, penyair dan pejuang hak asasi manusia, itu dikebumikan di halaman belakang rumahnya sendiri.
Ia menyusul enam kawan lainnya, di antaranya Mbah Surip dan Roedjito, yang telah bersemayam lebih dulu di komplek pemakaman keluarga.
Empu se-Empu-Empunya
Apa yang membuat Rendra sedemikian hebatnya, sehingga puluhan orang hebat, dan ratusan pelayat, seperti tak pernah surut mendatangi rumah duka, sembari mengelu-elukan masa lalunya?
Seberapa penting posisi mendiang Rendra dalam khazanah seni dan kebudayaan Indonesia modern, sehingga kepergiannya adalah kehilangan terbesar bagi Indonesia?
Apa yang membuat penyair dan dramawan kelahiran Solo, Jawa Tengah, yang petikan sajaknya berjudul, Makna Sebuah Titipan: Ketika langit dan bumi bersatu// bencana dan keberuntungan sama saja itu, secara tidak langsung dan sadar atau tidak sadar, akhirnya membesarkan hati para pelayatnya untuk melepas kepergiannya itu, begitu istimewa?
Karena kebesaran dan kelapangan hatinyalah, yang diyakini membuatnya memiliki ketajaman berbeda dalam membaca kehidupan, tinimbang manusia kebanyakan.
Contohnya, sepulang dari Amerika Serikat, setelah mendapatkan beasiswa American Academy of Dramatical Art (1964 – 1967), dan menyaksikan banyak yang tidak beres dalam khazanah peri kehidupan di negaranya tercinta, maka si “Burung Merak” itu mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada 1967.
Kala itu, sebagaimana banyak kesaksian yang telah dituliskan, nama Rendra makin membumbung, ketika ia menggagas “Perkemahan Kaum Urakan” di Pantai Parangtritis, Yogjakarta pada Oktober 1971.
Sosoknya, pelan dan pasti menjadi magnet bagi siapa saja yang ingin hidup bebas, tapi sekaligus mengembangkan dan menajamkan kreativitas, juga mengasah intuisinya.
Kepada saya, pada sebuah tengah malam , menjelang tikungan ke dini hari, di Bengkel Teater yang telah pindah dari Depok, Jabar, sejak Oktober 1985“ karena tekanan politik yang sangat dahsyat dari rezim kala itu,”Rendra menitip pesan: “Hanya orang pemberani yang bernasib baik”, katanya awal 2000-an.
Bisa jadi Rendra mengutip apa yang dikatakan Iskandar Agung, atau ujaran para bijak bestari lainnya, agar semua orang menjadi pemberani dalam hidupnya.
Betapa pun kehidupan itu melimpahinya kesusahan dan lara lapa. Tapi apa pun itu, dia adalah guru yang luar biasa bagi murid-muridnya. Yang pasti, perjalanan panjangnya, sehingga ia menjadi guru bagi para penuntut ilmu, telah dimulainya sejak jauh hari. Bahkan karya puisinya tercatat, terpublikasi di media massa sejak 1952 via majalah Siasat.
Dan, terus bergulir di pelbagai media pada dekade-dekade selanjutnya. Maka, tidak berlebihan bila gramatika ilmu pengetahuannya membentang sedemikian rupa, menciptakan kebijaksaannya sendiri.
Bayangkanlah seorang bocah SMP telah membuat naskah drama berjudul Kaki Palsu. Kemudian dramanya yang lain Orang-Orang di Tikungan Jalan, malah menyabet penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta, ketika ia di bangku SMA.
Kisah selanjutnya adalah jejak langkah yang makin mematangkan keberadaan Rendra. Karena sejumlah karyanya seperti dalam bahasa Goenawan Mohamad disebut teater Mini Kata berjudul Bib Bob Rambate Rate Rata (1967), makin menajamkannya di sejumlah karya panggungnya berikutnya.
Seperti lakon Sekda (1977), Selamatan Anak Cucu Sulaiman, Mastodon dan Burung Kondor (1972), Hamlet, Macbeth, Oedipus Sang Raja, Lysistrata, Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat), Antigone, Kasidah Barzanji, Lingkaran Kapur Putih, Panembahan Reso (1986), Kisah Perjuangan Suku Naga, Shalawat Barzanji (2003), hingga lakon Sobrat (2005) yang dilakoni anaknya sendiri, Isaias Sadewa di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
Sedang sajaknya yang menjadi buruan dan bacaan wajib mahasiswa Sastra, adalah Kumpulan Sajak/Puisi Ballada Orang-Orang Tercinta, Blues untuk Bonnie, Empat Kumpulan Sajak, Sajak-sajak Sepatu Tua, Mencari Bapak, Perjalanan Bu Aminah, Nyanyian Orang Urakan, Pamphleten van een Dichter, Potret Pembangunan dalam Puisi, Disebabkan oleh Angin, Orang-Orang Rangkasbitung, juga Rendra: Ballads and Blues Poem.
Sedangkan dalam khazanah film layar lebar, Rendra juga bermain dalam film berjudul, Yang Muda Yang Bercinta, arahan Sjumandjaja (1977), juga Lari dari Blora, (2007) arahan sutradara dan pewarta Akhlis Suryapati.
Selebihnya, berbicara tentang Rendra adalah bernarasi tentang Indonesia.
Sampai ketemu lagi, Mas Empu. Nanti ndongeng lagi tentang anak muda, yang harusnya gemar pergi. Pergi jauh. Pergi ke mana pun, asal tidak berpikir tentang pulang. Ndongeng tentang anak-anak SMA yang belum selesai tumbuh jem***nya, ya. Salaman, Mas. (SI)