Sedang Membaca
Sungai Itu Hidup
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Sungai Itu Hidup

Sekian berita mengenai sungai masih sering dimuat di pelbagai koran dan majalah. Sungai paling sering diberitakan atau dibahas dalam artikel mungkin Sungai Ciliwung. Sungai jadi perhatian tapi belum tentu memunculkan berita-berita baik. Puluhan tahun berlalu, berita-berita Sungai Ciliwung sering mengundang prihatin, malu, sesalan, dan marah.

Pembaca belum jemu membaca segala hal mengenai Sungai Ciliwung, berharapan ada rangsangan ke ralat atau pemuliaan lakon sungai dan warga di sepanjang Sungai Ciliwung. Pengharapan belum sirna meski Sungai Ciliwung belum terlalu dijadikan puisi seperti terdokumentasi di masa 1950-an sampai 1970-an.

Sungai Ciliwung malah rekor, tak lagi puisi. Acara Bebersih Ciliwung 2019 dipilih untuk raihan rekor. Acara melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup, Komunitas Ciliwung, dan pelbagai pihak. Mereka bersekutu membersihkan sungai tapi berpikiran pula mendapat rekor. Duh! Rekor mulai “membebani” kerja-kerja membenahi peradaban sungai di Indonesia.

Kita mengutip dari berita: “… Bebersih Ciliwung 2019 dimulai dari hulu hingga hilir dengan panjang area 8.443 km. Sebanyak 8.443 orang secara serentak terlibat dalam kegiatan tersebut dan berhasil memecahkan rekor MURI, kemarin” (Media Indonesia, 24 Juni 2019).

Di situ, ada foto berukuran besar: Menteri Lingkungan Hidup menerima piagam rekor berkategori “Membersihkan Sungai dengan Rentang Terpanjang.” Kita mengaku bingung dalam mengartikan Sungai Ciliwung, pemerintah, komunitas, dan rekor.

Dulu, Rendra mengingatkan kita dengan puisi. Kini, peringatan itu berganti capaian alias “prestasi” dengan “berhasil memecahkan rekor.”

Berita agak berbeda kita baca di Republika, 24 Juni 2019. Kementerian Lingkungan Hidup mengadakan pemantauan kualitas air dan instalasi pengolahan air limbah domestik, pendaur ulang air limbah wudu, dan kanal plaza. Ikhtiar besar itu bertempat di Masjid Istiqlal, Jakarta.

Baca juga:  Ihwal Harga Minyak, Indonesia, dan Iran

Kebijakan berkaitan kualitas air Sungai Ciliwung memprihatinkan. Kita mengimajinasikan Sungai Ciliwung dan Masjid Istiqlal bertaut ke religiositas. Pada sungai, kita memikirkan kemuliaan air dan ragam kehidupan di sepanjang sungai.

Di imajinasi religius, sungai itu mengisahkan iman dan perbuatan manusia dalam membentuk adab kehidupan bersama. Pada masjid, kita mengerti kebutuhan air untuk bersuci. Berair mengandung misi-misi religius dan mengejawantahkan kebersihan di keseharian.

Kita beralih ke foto-berita dimuat di Kompas, 25 Juni 2019. Foto dijuduli “Sampah di Ciliwung”. Duh, kita masih disuguhi kata dan foto bahwa Sungai Ciliwung selalu mengingatkan sampah atau kotoran. Penciptaan ingatan Sungai Ciliwung itu rekor dan religius “dikembalikan” ke fakta: sampah-sampah masih ada di Sungai Ciliwung.

Para pembuang sampah belum sadar rekor dan religiositas. Mereka sengaja melukai sungai, membunuh desa-kota, dan merendahkan martabat.

Kita semakin bingung dengan cara pengisahan dan pemberitaan Sungai Ciliwung, dari hari ke hari. Tepuk tangan untuk rekor dan doa-doa untuk religiositas di pemuliaan sungai lekas disusul masalah pelik: sampah. Oh, sungai itu sampah! Sungai terpahamkan kotor, banjir, dan pemicu sakit. Sungai menodai sejarah dan janji menjadikan Indonesia beradab sungai.

Kita seperti membenarkan pilihan kata di buku berjudul Ekspedisi Ciliwung, Laporan Jurnalistik Kompas: Mata Air, Air Mata (2009). Sungai Ciliwung diceritakan “air mata”.

Kita mengartikan itu duka, derita, dan petaka. Kita mengutip alinea di buku: “Siapa pun yang bersalah, yang jelas Ciliwung kini telah beralih peran dari sumber kehidupan menjadi sumber bencana. Sungai yang dulu merupakan mata air, sekarang telah menjadi sumber air mata bagi jutaan warga yang hidup di sepanjang daerah alirannya.”

Baca juga:  Rendra, Nggak Pernah Mati (Setelah 10 Tahun Kepergiannya)

Jawaban untuk alinea mengenaskan adalah membersihkan dan memuliakan sungai sebagai anugerah. Eh, jawaban terbaru diberikan adalah rekor.

Kita mendingan “cuti” dulu dari mengurusi Sungai Ciliwung. Indonesia masih memiliki sungai-sungai pantas dimulikan tanpa beban harus meraih rekor. Kita sedang ingin puisi mengenai sungai, bukan seribu berita.

Rendra pernah kondang dengan puisi mengenai Sungai Ciliwung. Kita sengaja memilih sungai berbeda tapi menempatkan Rendra sebagai “pujangga bersungai”. Kita membaca saja puisi berjudul “Sungai Musi”. Puisi mengingatkan Indonesia memang album sungai. Rendra (1972) menulis:

Memasuki Sungai Musi kuulurkan tanganku pada alam./ Melewati jalan yang baru bagai menempuh jalan yang sangat/ kukenal/ Tak usah lagi berkenalan, karena bertemu wajah-wajah yang/ lama./ Kami disatukan satu gelora, kesunyian dan duka./ Maka dalam tatapan yang pertama telah diketahuilah semuanya./ Air yang coklat mengalir lambat bagai mengangkat derita yang sarat.

Kita merasakan pengalaman di Sungai Musi itu terlalu berbeda dengan anggapan di Sungai Ciliwung. Rendra di pengimajinasian menautkan manusia dan sungai, belum menulis sampah.

Kita bergerak jauh ke renungan menakjubkan dengan membaca puisi berjudul “Sungai Merah” gubahan Zawawi Imron. Pujangga asal Madura itu sering mengisahkan Madura dan kunjungan ke pelbagai negeri. Ia tak terpengaruh Sungai Ciliwung, memilih mengisahkan sungai dengan metafora menjauhi sampah atau limbah. Zawawi Imron (1978) menulis:

padang itu tempat berburu kata-kata/ di dadanya ada sungai berair merah/ o, sungai yang jauh ke teluk abadi! katakanlah! thales kutunggu di sini/ untuk menyelesaikan perhitungan baru/ kerikil-kerikil yang bermukim dalam empedu/ telah kutanam di tepi sungai/ jadi pohon-pohon keajaiban.

Pengisahan memuat gelagat mengingat ajaran filosof Yunani dan pertimbangan etika-ekologis. Sungai itu kehidupan. Di sepanjang sungai, pohon-pohon bertumbuh tanpa takut dihajar sampah.

Baca juga:  Siapa Bilang Waktu Itu Uang?

Di puisi berjudul “Sungai Walannae”, Zawawi Imron (1987) mengisahkan sungai dan religiositas. Kita masih sulit membandingkan dengan hubungan Sungai Ciliwung dan Masjid Istiqlal. Puisi dari masa lalu itu berbeda dari berita besar terbaca di masa sekarang. Zawawi Imron menuliskan biografi ke-aku-an:

Daun-daun pohonan di tepian/ memejamkan matanya/ ketika aku turun dan mandi/ Dingin airmu/ bagai setia seorang sahabat/ menjauhkanku dari karat dan kesumat// O, Wallanae!/ sehabis mandi/ matairmu kubawa pergi/ ke mesjidku dekat muara.

Air di sungai mengingatkan laku bersuci atau pembersihan diri. Sungai ada di pengisahan orang beribadah. Kita memastikan rekor dan sampah tak termuat dalam puisi.

Kita berpindah ke Yogyakarta. Kunjungan ke puisi mengenai Kali Progo. Linus Suryadi (1977) mengisahkan ke kita melalui “Syair Kali Progo”. Kita membaca sungai “dialiri” filsafat. Pujangga asal Jogja itu menonjolkan filsafat-hidup dianut orang-orang di Jawa. Linus menulis:

Dalam riak yang tenang/ Dalam rupa yang coklat/ Menyimpan arus dahsyat/ Orang-orang sibuk bertandang/ Mencari-cari alat penyelamat// Tapi Juru Rakit berkata:/ Barang siapa tak tenggelam/ Tak tahu dalamnya kehidupan/ Barang siapa tak menyeberang/ Bak kuda gagu tahu padang.

Kita mengingat pedoman hidup orang Jawa, “hidup itu mengalir”. Orang pun membuat sebutan ngeli tapi ora keli. Linus menggenapi pemaknaan sungai: Sampai dasarnya/ Sama hakikatnya/ Tak terbaca/ Banjir atau tidak banjir/ Kali Progo seperti hidup. Kita telah mengunjungi sungai-sungai meski harus mengingat lagi nasib Sungai Ciliwung, setelah rekor. Begitu. (atk)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top