Kalau Hafis Azhari menulis novel tentang wabah skizofrenia massal yang menimbulkan delusi kejiwaan manusia Indonesia dalam Pikiran Orang Indonesia, maka fenomena virus Corona akhir-akhir ini hanya masalah biologis semata. Tak beda jauh dengan fenomena wabah Sampar yang ditulis filosof Prancis (Albert Camus) perihal kejadian-kejadian tragis yang melanda Eropa di abad-abad ke 17-18, hingga mereka menamakannya sebagai wabah “black death”.
Wabah sampar itu pernah juga menyerang Asia dan Afrika Utara sejak abad ke-14, yang kemudian pihak kedokteran menemukan adanya bakteri Yersinia Pestis dengan mengendarai hama tikus dan lalat. Namun, sekitar 200 juta orang di seluruh dunia telah kehilangan nyawa setelah ditemukannya hasil penelitian itu.
Di abad ke-17 lalu, dunia kedokteran nyaris kehilangan ide dan gagasan untuk menjelaskan apa yang terjadi, dan bagaimana cara menangani bakteri Yersisia Pestis yang menyebar begitu cepat. Di Inggris, satu dari empat orang tewas, dan populasi anjlok dari 3,7 juta menjadi 2,2 juta penduduk. Kota Florence, Italia, pernah kehilangan setengah dari jumlah penduduknya, dari 100 ribu tinggal 50 ribu orang.
Pihak gereja Vatikan yang pada masa itu berseberangan dengan para ilmuwan, justru memihak ortodoksi dan fanatisme sebagian masyarakat Italia, bahwa “black death” itu tak lain karena kutukan dan amarah Tuhan. Mereka tak mampu memahami hakikat sebab-akibat, tapi justru beriman pada bala dan hukum karma yang sebenarnya tidak pernah ada dalam kosmos iman kristiani.
Beberapa kelompok sekte ajaran Katolik Roma justru memusuhi dan menganiaya para pendatang dan kaum minoritas (Gypsi dan Yahudi). Bahkan membikin-bikin fatwa yang bersumber dari amarah yang dibungkus dengan nama Tuhan, agar jangan mendekati para pengemis, penderita kusta dan lepra yang dianggap sebagai “hamba” yang telah dikutuk oleh Tuhan.
Amarah yang dibungkus “zikir” ini seringkali menghinggapi sebagian masyarakat kita, hingga tidak jarang kita temukan watak-watak egoisme dalam kepribadian orang Indonesia menyebut “Astaghfirullah!” atau “Masya Allah!” Tetapi hakikatnya bukan dimaksudkan untuk berzikir mengingat Allah. Tapi ditujukan untuk rasa kesal dan amarah. Menurut kalangan sufi, rasa jengkel yang dikemas zikir itu sama halnya dengan amarah dan kedengkian yang bersekutu dengan kawan-kawan setan.
Kepercayaan gereja yang ortodoks dan konservatif di abad-abad pertengahan, pernah juga menghinggapi negeri Meksiko yang penduduknya anjlok setengah dari populasinya, dari 22 juta menjadi 14 juta penduduk (1520), karena terserang penyakit cacar. Pada suatu hari di bulan Maret 1520, kapal Spanyol mengangkut 900 penduduk Afrika yang terdiri dari para budak, tentara tawanan, berikut kuda-kuda mereka. Salah seorang budak, Francisco de Eguia, dipekerjakan di rumah majikan keluarga Meksiko di Kota Cempoallan.
Mulanya tidak ada yang paham mengenai bintik-bintik yang ada di sekitar tubuh de Eguia, yang di kemudian hari virus itu disebut “cacar” hingga menyebar dan menularkan penyakitnya kepada separuh dari penduduk Meksiko. Bila kita kunjungi Kota Cempoallan, masih ada jejak-jejak yang tertinggal mengenai kuburan massal akibat para penduduknya terserang wabah cacar dalam waktu kurang dari satu bulan lamanya.
Lalu, masihkah ada orang-orang kita yang dangkal dalam kerangka berpikir, lantas meremehkan makna ikhtiar yang diupayakan kalangan ilmuwan yang berjihad demi penyelamatan umat manusia? Masihkah ada orang kita yang tidak memahami makna solidaritas dan humanisme universal, lantas berpandangan picik dengan berkesimpulan, “Yang penting gue dan anak-cucu gue selamat!”
Orang-orang suku Baduy dari zaman Aztek-Maya, memandang bahwa wabah penyakit yang menghinggapi anak-anak mereka adalah penyakit kiriman dari sihir orang-orang kulit putih. Mereka dianggap kerjasama dengan dewa-dewa jahat yang dikirim pada malam hari. Hingga tidak jarang kaum agamawan ortodoks justru bersekutu dengan kepercayaan Baduy (Aztek-Maya), memberi pengobatan anak-anak kepada para dukun dan pendeta yang sibuk membaca mantra-mantra gaib. Dalam kepercayaan para tetua kita (baik Jawa maupun Sunda) masih juga ada kepercayaan mistis seperti itu. Misalnya, konon agar anak-anak terjauh dari segala marabahaya, ketika jabang bayi harus ada benda-benda yang ditaruh di atas tempat tidurnya, seperti gunting, sapulidi, pulosani (magnet) hingga butiran beras di dalam botol.
Kepercayaan pada dewa-dewa jahat yang bergentayangan, membuat orang-orang pedalaman Meksiko tertidur pulas. Mereka malas melakukan ikhtiar penemuan-penemuan di bidang sains dan kedokteran. Bila kita merujuk pada karya-karya sastra Oktavio Paz dan Gabriel Garcia Marquez, jejak-jejak kemalasan berpikir, yang menimbulkan sikap arogansi dan egoisme para tetua Mesiko begitu mengurat-mengakar dalam goresan pena mereka. Marquez seringkali menggambarkan betapa mudahnya citra Tuhan yang didakwahkan pendeta tiba-tiba bekerjasama dengan kepentingan politik dan kepercayaan mistik, dicampuri urusan uang dan vested interest yang sama sekali tak ada urusannya dengan Tauhid dan esensi keimanan.
Jika demikian halnya, saya berani menjamin bahwa para agamawan yang berkolaborasi dengan politikus yang suka pamer sana pamer sini, lalu bekerjasama juga dengan perdukunan di negeri ini, tidak lebih mulia derajatnya ketimbang para altruis, sukarelawan dan jurnalis, yang turut-serta membantu para dokter, mengobati anak-anak balita yang terserang campak dan rubela di pemukiman orang-orang Baduy (Banten Selatan) beberapa waktu lalu. ***