Kitab Mujarabat berbahasa Sunda ini memuat resep dan metode pengobatan penyakit fisik maupun mental (psikis) melalui pendekatan mistik-spiritual. Penulisn kitab ini anonim. Menerangkan apa saja buku atau kitab beraksara Pegon tersebut? Dari mana kitab itu bersumber?
Dalam mukadima kitab ini disebut bahwa “risalah ini memuat banyak faedah, keutamaan, kemuliaan, rahasia dan keajaiban yang diambil dari kitab-kitab ulama salaf Ahlussunah wal Jamaah, seperti kitab ar-Rahmah, Khazinatul Asrar, Jawahir al-Lamma’ah, al-Awfaq, Manba’ Ushulil Hikmah, Ajaibul Hayawan dan Ajaib al-Makhluqat.
Di bab-bab awal kitab ini dijelaskan keutamaan-keutamaan dan kegunaan beberapa surat yang populer dalam Alquran, seperti surat Yasin, ayat Kursi, Waqiah, al-Ikhlash, dan lain-lain. Salah satunya, seperti ditulis Bab 8, untuk mengobati stres, pikiran bingung, susah dan gelisah, tulislah surat al-Fiil dan al-Insyirah di sebuah piring kaca. setelah itu tuangkan air mawar, kemudian airnya diminum (hal 43)
Selain itu, kitab ini juga memuat beberapa faedah dan kegunaan wifik (rajah) yang ditulis menggunakan huruf, angka ataupun simbol. Ada wifik untuk pengasihan (pelet), kewibawaan (haibah), persalinan, antisihir, dan lain-lain.
Mungkin, orang sekarang menyebut “kitab medis tradisional” ini sebagai kitab perdukunan, dukun dengan makna pejoratif sebagai lawan dokter dan ilmu kedokteran modern.
Padahal, jika kita belajar sejarah kedokteran, metode dan pendekatan seperti ini (mistik-spiritual) juga digunakan oleh dokter-dokter pada zamannya. Paradigma positivistiklah yang mengubur dan memutus mata rantai ilmu kedokteran ini. sehingga seolah-olah ia tak ada hubungannya dengan kedokteran.
Jika mengikuti tahapan sejarahnya Aguste Comte, kitab ini ditulis pada masa ketika kesadaran orang masih pada tahap teologik atau metafisik, belum beranjak ke zaman positivistik.
Mitos dan Logos
Salah satu problem mendasar modernitas adalah perceraian antara logos/mitos, rasional/irasional, nalar/nirnalar, dan seterusnya. Yang pertama diunggulkan, sementara yang kedua ditekan dan ditindas. Yang pertama “kebenarannya” sulit dimengerti dan dianggap tidak ilmiah, sedangkan yang kedua kebenarannya dapat ditelusuri dan dapat dibuktikan secara ilmiah.
Kedua istilah tersebut sebenarnya hanya untuk membedakan antara hasil pemikiran primitive dan modern, antara yang rasional dan irasional. Padahal, keduanya sama-sama memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan manusia. Perbedaannya, yang pertama lebih didasarkan pada kepercayaan dan keyakinan, sedangkan yang kedua didasarkan pada proses penalaran dan bukti-bukti empiris.
Mitos dianggap sesuatu yang ilusif, tahayul, dan tidak memiliki makna. Pandangan seperti ini jamak kita temukan pada masyarakat modern. Implikasi pandangan seperti ini tidak sederhana. Manusia digiring pada satu aras pemikiran tertentu yang justru akan menjebaknya: mereka akan terjebak pada satu model pemikiran dan menolak pluralitas “kebenaran”.
Tidak menutup kemungkinan bahwa mitos mengandung sebuah “kebenaran” yang sampai sekarang tidak terpecahkan oleh model pemikiran apapun. Menurut Claude Levi-Strauss, antropolog sekaligus bapak strukturalis, mitos seseungguhnya punya logika dan kerumitannya sendiri yang baru bisa dibongkar justeru oleh sains modern.
Sebagai contoh, banyak data-data inderawi yang diintegrasikan kembali ke dalam penjelasan ilmiah sebagai sesuatau yang mempunyai makna, mempunyai “kebenaran”, dan bisa dijelaskan. Semisal, dunia pembauan. Saat ini ahli kimia bisa memberitahukan bahwa setiap bau atau rasa memiliki komposisi kimiawi tertentu.
Mereka memberikan alasan mengapa secara subjektif beberapa rasa atau bau terasa ada kesamaannya bagi kita dan beberapa lainnya terasa jauh.
Selama ini kita menjauhi dan membelakangi peninggalan-peninggalan kebudayaan primitif berupa mitos. Mitos seolah-olah hilang dari diri kita. Kita sudah beranjak jauh meninggalkan mitologi dan beralih pada pemikiran saintifik. Mitos dianggap tidak produktif dan tidak memberikan jawaban atas pertanyaan, tuntutan, dan kebutuhan manusia modern. Mitos sudah dimasukkan ke dalam museum kebudayaan layaknya barang antik.
Namun, kita sudah lupa bahwa mitos memiliki logika, fungsi, dan kegunaannya sendiri, yang tidak dimiliki pemikiran saintifik.