Toa (pengeras suara atau pelantang suara) menjadi perbincangan hangat di jagat maya maupun masyarakat, khususnya umat Islam di Indonesia sekarang ini. Perihal itu menyusul dengan adanya Surat Edaran (SE) Nomor 05 Tahun 2022 Tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama (Kemenag). Memang, hal ini dirasa sangat sepele. Namun, apakah sensitivitas umat Islam akan terangsang dengan adanya kebijakan dari pemerintah yang hal itu berasal dari oposisi yang menggandeng Islam sebagai pijakannya? Entah, saya rasa publik mempunyai penilaian subjektif mengenai apa yang dikatakan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas atau Gus Yaqut.
Melansir dari Tempo.com (Kamis, 24 Februari 2022) sebagaimana yang disampaikan oleh Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kemenag Republik Indonesia, Thobin Al-Asyar, mengatakan bahwa pemberitaan tentang Menag yang membandingkan toa sebagai pengeras suara azan dan gonggongan anjing sangat tidak tepat.
“Dalam penjelasan itu, Gus Yaqut memberikan contoh sederhana, tidak dalam konteks membandingkan satu dengan yang lain, makanya beliau menyebutkan kata ‘misal’. Yang dimaksud Gus Yaqut adalah misalkan umat Muslim tinggal sebagai minoritas di Kawasan tertentu, di mana masyarakatnya banyak yang memelihara anjing, pasti akan terganggu jika tidak ada toleransi dari tetangga yang memeliharanya,” katanya.
Berangkat dari pernyataan Gus Yaqut mengenai adzan dan gonggongan anjing yang booming itu, Roy Suryo dan Kongres Pemuda Indonesia melaporkan perihal tersebut ke Polda Metro Jaya pada Kamis, 24 Februari 2022. Roy menuding bahwa pernyataan Menag itu adalah penistaan agama. Sudahlah, biarkan para punggawa-punggawa itu sibuk dengan toa-toanya.
Beranjak dari persoalan toa, terbesit sebuah makna dari kata “toa” tersebut, yaitu mengenai filsafat Stoa (Stoisisme). Paham filsafat ini, muncul di Athena sekitar 300 SM. Pendirinya adalah Zeno yang berasal dari Syprus dan bergabung dengan kaum Sinis (filsafat Sinisme) di Athena setelah kapalnya karam. Zeno sering mengumpulkan pengikut-pengikutnya di bawah serambi. Hal ini sejalan dari kata “stoik” itu sendiri yang dalam bahasa Yunani adalah stoa yang berarti serambi.
Menurut kaum Stoa, bahwa pemikiran manusia ada suatu kebenaran universal yang dinamakan hukum alam. Maka, hukum ala mini didasarkan pada akal manusia yang abadi dan universal, ia tidak berubah sejalan dengan berlalunya waktu dan berpindahnya tempat. Kaum stoa menghapuskan perbedaan antara individu dan alam, serta menyangkal adanya pertentangan antara ruh dan materi. Bahwa hanya ada satu alam, dan gagasan semacam ini disebut monisme.
Lebih jauh, ajaran dari Stoisisme yang menurut saya mengena dalam kehidupan kita dewasa ini yaitu bahwa segala sesuatu yang terjadi karena ada sebabnya dan tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Maka, kita tak perlu mengeluh jika takdir sudah datang mengetuk pintu dan harus menerima kehidupan ini secara bahagia tanpa gelisah.
Kita tahu, bahwa para kaum Stoa itu saling berfilsafat di stoa yang berarti serambi. Serambi, kiranya identik dan melekat kepada masjid. Begitu juga dengan toa yang merupakan suatu perangkat yang tidak bisa dilepaskan dari masjid sebagai pelantang suara azan, khutbah, dan lain-lain. Kini, masjid kehilangan kereligiusannya sebagai tempat ibadah, menuntut ilmu, dan mengaji atau TPA, karena masjid tidak dipergunakan sebagaimana layaknya dan mestinya.
Kita tengok saja di Masjid Al-Aqsha Klaten Jawa Tengah, seseorang yang shalat atau sekedar singgah disitu tidak melupakan waktu untuk bersua foto. Hal itu tidak bisa kita tampik, karena masjid itu begitu indah sehingga lebih cocok dijadikan obyek pariwisata ketimbang tempat untuk beribadah, kontemplasi, mengakui dosa-dosa kepada Allah, dan perenungan diri lainnya. Lebih dari itu, masjid dengan fasilitas kamar mandinya hanya menjadi tempat buang hajat, ironis memang.
Padahal, jika kita menengok sejarah, masjid menjadi pusat peradaban umat Islam dan masjid menjadi tempat produksi pemikiran, keintelektualan umat Islam pada masa itu. Misalnya, kita ambil saja kisah antara Imam Hasan al-Basri dengan Washil bin Atha. Bahwa Imam Hasan al-Basri mempunyai majelis ilmu di Masjid Basrah Iraq dan mempunyai jamaah atau murid-murid yang berguru kepada Imam sufi tersebut.
Suatu ketika ada seorang jamaah yang bertanya kepada Imam Hasan al-Basri, “Wahai Sang Guru, aku melihat sekarang ini ada kelompok Islam yang suka mengkafir-kafirkan dan ada kelompok yang menganggap separah-parahnya perbuatan buruk (dosa) yang kita lakukan kita masih mukmin, bagaimana pendapatmu wahai Guru?”
Sejurus kemudian, Washil bin Atha menjawab tanpa diminta atau dipersilahkan, “menurut saya, seseorang ini tidak kafir dan tidak mukmin, tetapi di antara keduanya.”
Setelah itu, Washil bin Atha beranjak dari tempat duduknya dan memisahkan dirinya dari majelis ilmu Imam Hasan al-Basri (Fahruddin Faiz dalam Ngaji Filsafat 249: Imam Hasan al-Bashri, 11 Desember 2019). Dari penggalan kisah itu, lahirlah teologi mu’tazilah sebagai respon dari pertentangan antara khawarij dan murjiah pada saat itu.
Begitulah perihal menarik toa-toa yang diperbincang oleh para “orang-orang itu” yang membuat saya tersengat ingatannya kepada ajaran filsafat Stoisisme yang pada maknanya mengajarkan kita untuk selalu bersyukur dalam menghadapi kondisi hidup yang carut-marut ini dengan berbagai masalah-masalah yang tiada sudah. Juga masjid yang disana pastinya ada toa, menjadi episentrum peradaban Islam di masa lampau dan mampu menghasilkan pemikiran dan gagasan yang menakjubkan yang berkontribusi terhadap kemajuan peradaban ilmu pengetahuan-filsafat Islam di masa yang lalu. Semoga di era yang serba tidak terduga ini, masjid dapat menjadi rumah bagi umat Islam untuk beribadah sebagaimana mestinya dan tempat berkumpulnya orang-orang menuntut Ilmu sebagai bagian kewajiban agama. Amin.