Sedang Membaca
Polemik Gus Muwafiq: Semakin Besar Nafsu, Maka Semakin Kecil Akal Budinya
Al-Zastrouw
Penulis Kolom

Budayawan. Founder Ki Ageng Ganjur. Menyelesaikan S3 di UI. Tinggal di Depok, Jawa Barat

Polemik Gus Muwafiq: Semakin Besar Nafsu, Maka Semakin Kecil Akal Budinya

Dalam kitab “Uqudul Lujain” disebutkan: “Idza Qama Dzakar al Rajul, Dzahaba Tsulutsa ‘Aqlihi” (Jika penis laki-laki sudah berdiri, maka hilanglah dua pertiga akalnya) (Nawawi, 94). Ungkapan ini mencerminkan, semakin seseorang bernafsu, dikuasai birahi maka akalnya semakin kecil dan dangkal.

Mau profesor, doktor, pemimpin, seniman, dan tokoh agama jika sudah dikuasai birahi maka kelakuannya akan sama dengan orang yang tidak berpendidikan. Menabrak aturan, etika, dan moral seperti orang tak beradab, karena akalnya tidak berfungsi maksimal.

Namun, pernyataan tersebut tidak hanya berlaku dalam konteks nafsu birahi yang terkait dengan persoalan seksualitas, melainkan juga berlaku dalam konteks sosial secara umum. Misalnya, jika nafsu kekuasaan dan ambisi untuk menyerang lawan sudah sampai ke ubun-ubun, seperti layaknya nafsu birahi yang memuncak, maka akal akan menjadi dangkal dan sempit. Apapun perkataan dan tindakan lawan akan dijadikan bahan untuk menyerang. Akan dieksploitir untuk menghasut dan membakar emosi massa, untuk menyerang dan bikin gaduh. Sekalipun pernyataan tersebut benar secara rasional, bahkan secara moral.

Apa yang terjadi dalam kasus ceramah Gus Muwafik saat ini nerupakan bukti kebenaran pernyataan tersebut. Sekelompok orang yang memiliki ambisi kekuasaan dan nafsu kebencian yang memuncak telah melakukan tindakan agitatif yang merendahkan akal sehat. Kemudian orang-orang yang berpikir dangkal dan pendek dan mereka yang memiliki birahi politik tinggi dengan mudah menerima provokasi berlabel agama ini.

Baca juga:  Menghampiri Kematian (4/Habis): Sumbangan Besar NDE Muslim

Jika kita berpikir jernih, tanpa melibatkan nafsu, apa yang dinyatakan Gus Muwafiq itu sangat benar. Dia berusaha menjelaskan proses perjalanan hidup Nabi dengan bahasa sederhana, logika umum dan alamiah, tidak bombastis dan mistis.

Dia juga menjelaskan skenario Allah menjaga nabi-nabi dengan menjadikan mereka sebagai bocah-bocah yang menjalani proses hidup nornal dan alamiah. Suatu penjelasan yang sesuai dengan akal dan imajinasi anak-anak milenial, sehingga mereka mudah menerima.

Pemilihan diksi “rembes” dalam ceramah Gus Muwafiq, adalah deskripsi atas kondisi natural anak kecil yang terjadi di mana-mana. Artinya itu suatu hal yang normal terjadi pada anak kecil. Meski Nabi adalah sosok manusia pilihan, namun beliau tetap mengalami proses kehidupan normal seperti itu. Dan memang tidak ada sejarah yang menyebut Nabi saw lahir dalam keadaan wajah yang bersinar, hanya dinyatakan Nabi lahir dalam keadaan langit cerah benderang, alam, dan pepohonan menunduk diam, bergembira menyambut kedatangan Nabi, sebagaimana digambarkan dalam beberapa kitab. Deskripsi itu bisa faktual dan bisa simbolik. Jika ada yang memaknai simbolik, kemudian membuat interpretasi yang logis dan natural, bukan berarti itu melecehkan Nabi.

Jika dibandingkan dengan pernyataan seorang ustaz yang mengatakan waktu kecil Nabi adalah sesat sampai dia mendapatkan pentunjuk dari Allah, atau pernyataan ustaz bahwa Nabi gagal mewujudkan rahmatan lil’alamin, maka secara verbal dan tekstual pernyataan ini sebenarnya jauh lebih menista dan melecehkan dibanding pernyataan Gus Muwafiq. Tetapi apa yang terjadi?

Baca juga:  Ajaran Sunan Kudus dalam Manuskrip Abad Ke-17

Ternyata mereka diam dan tidak bereaksi. Mereka diam karena yang mengeluarkan pernyataan tersebut adalah para ustaz junjungan mereka, sesuai dengan garis politik mereka, para ustaz yang bisa dijadikan alat memuaskan nafsu politik mereka.

Di sini jelas menunjukkan bahwa sikap mereka lebih merupakan ekspresi kebencian yang ditunggangi oleh sahwat politik yang berlebihan dari pada membela Islam, sebagaimana yang mereka teriakkan. Jika mereka berpikir jernih, tidak dikotori oleh nafsu dan sahwat politik, maka mereka akan neniru sikap kelompok yang kontra dengan para ustaz tersebut.

Saya yakin banyak umat Islam yang merasa pernyataan para ustaz itu lecehkan Nabi, tapi mereka tidak gaduh justru mencoba memahami konteks pernyataan tersebut. Mereka tidak marah, tidak membuat agitasi apalagi melaporkan ke polisi. Inilah sikap orang beradab. Tidak seperti orang-orang yang dikendalikan oleh birahi politik dan nafsu kebencian sehingga merespon pernyataan Gus Muwafiq dengan kemarahan yang menghilangkan akal sehat karena terbakar syahwat.

Kejadian ini bisa menjadi indikator untuk melihat mana kelompok yang masih bisa berpikir jernih yang lebih mengutamakan dialog dan tabayun dan mana kelompok yang terbakar birahi dan emosi sehingga lebih mengutamakan kemarahan yang menghilangkan akal sehat. Kelompok pertama akan menjadikan pernyataan Gus Muwafiq sebagai bahan diskusi dan pencerahan yang mecerdaskan umat. Kelompok kedua akan menjadikannya sebagai bahan provokasi membakar emosi umat untuk tujuan politik. Berada di sisi manakah dirimu?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top