Begitu banyak istilah dalam ilmu tasawuf. Edisi ini masih melanjutkan tema mengenai istilah-istilah dalam tasawuf. Yang pertama adalah wira’i. Wira’i adalah maqam yang mulia. Rasûlullah SAW bersabda, “tiang agamu adalah wira’i“.
Wira’i memiliki tiga tingkatan:
1) Orang yang menghindari syubhat, yaitu sesuatu antara halal dan haram. 2) Orang yang menghindari sesuatu yang menghentikan hati dari berdzikir kepada Allâh SWT. 3) Orang-orang yang terhindar dari sesuatu yang menyibukkan hatinya dari berdzikir kepada Allâh SWT (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 42).
Orang-orang yang wira’i juga memiliki perbedaan berdasarkan tingkatannya;
وَالْوَرَعُ وَهُوَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: وَرَعُ اْلعَامِّ وَهُوَ أَنْ لاَيَتَكَّلَمَ إِلاَّ بِاللهِ سَاخِطًا أَوْ رَاضِيًا، وَوَرَعُ الْخَاصِّ وَهُوَ أَنْ يَحْفَظَ كُلَّ جَارِحَةٍ عَنْ سُخْطِ اللهِ، وَوَرَعُ اْلأَخَصِّ وَهُوَ أَنْ يَكُوْنَ
جَمِيْعُ شُغْلِهِ يَرْضَى اللهُ بِهِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 76).
Wara‘ ada tiga macam; Wara‘-nya orang ‘awâm yaitu tidak berbicara kecuali dengan Allâh SWT, baik dalam keadaan senang atau tidak. Wara‘-nya orang khâsh adalah dengan menjaga semua anggota tubuh dari kemurkaan Allâh SWT, dan Wara‘-nya orang akhâsh yaitu dengan (menjaga) semua kesibukannya agar diridhai oleh Allâh SWT, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 76).
Berikut ini adalah mutiara nasihat Dzunnun al-Mishri yang terangkum dalam kitab Hilyah:
1. Tiga tanda khauf (takut) adalah; a) wara‘ dari barang syubhat dengan cara memperhatikan ancaman, b) Menjaga lisan dengan memperhatikan keagungan, dan c) Mengobati kesedihan yang berat menjadi lebih ringan daripada menghadapi murka dzat yang sabar lagi pemaaf (al-Halîm).
2. Tiga tanda amal ikhlas; a) Pujian dan hinaan dari manusia terasa sama, b) Melupakan pandangan manusia tentang amal karena memandang kepada Allâh SWT, dan c) Menetapkan pahala amal di akhirat dengan pengampunan Allah dan menetapkannya di dunia dengan pujian yang baik.
3. Tiga tanda kesempurnaan amal adalah; a) Meninggalkan perjalanan keliling negara-negara, b) Menyedikitkan atau meminimalkan kegembiraan karena mendapatkan kenikmatan seperti menghadapi cobaan, dan c) Ketulusan hati pada semua keadaan baik Rahasia maupun terlihat.
4. Tiga tanda ‘Amal Yaqin adalah; a) Meminimalkan perbedaan dengan manusia dalam pergaulan, b) Tidak menghiraukan pujian manusia, dan c) Menghilangkan hinaan manusia.
5. Tiga tanda tawakkal; a) Melepaskan hubungan-hubungan dengan manusia, b) Tidak mencari simpati dalam kesempatan untuk menaikkan kedudukan, dan c) Jujur dalam mu‘amalah (pekerjaan) dengan sesama mahluk.
6. Tiga tanda kesabaran adalah; a) Menjauhi pergaulan dengan keras, b) Berdiam diri pada saat terkena cobaan, dan c) Menampakkan kekayaan dalam kehidupan padahal berada dalam jeratan kefakiran
7. Tiga tanda hikmah adalah; a) Melepaskan jiwa dari keterikatan dengan manusia, b) Menasihati manusia menurut kadar akalnya sehingga mereka mampu melakukan nasihat tersebut. Sedangkan yang ketiga beliau tidak menyebutkan.
8. Tiga tanda zuhud adalah; a) Angan-angan yang pendek, b) Cinta kefakiran, dan c) Merasa cukup dengan kesabaran.
9. Tiga tanda ahli ibadah adalah; a) Mencintai waktu malam untuk digunakan tahajjud, berdzikir dan berkhalwat, b) Tidak suka dengan datangnya tubuh karena terlihat manusia, dan c) Lupa dengan amal-amal yang baik karena takut timbul fitnah.
10. Tiga tanda tawaddhu‘; a) Mengecilkan diri karena mengetahui celah pada dirinya, b) Menghormati manusia karna menghormati ke-Esaan Allâh SWT, dan c) Menerima kebenaran dan nasihat dari orang lain
11. Tiga tanda dermawan adalah; a) Memberikan sesuatu padahal dirinya membutuhkan, b) Takut meRasa cukup karena pemberiannya tidak diikuti orang lain, dan c) Takut jiwanya meRasa cukup karena berhasil memasukkan kebahagiaan kepada manusia.
12. Tiga tanda budi pekerti yang baik adalah: a) Meminimalkan perbedaan terhadap manusia yang bergaul, b) Memperbaiki ahlak yang ditolak (jelek), dan (c) Menetapkan tercegahnya nafsu yang selalu mencela terhadap orang-orang yang berselisih dengannya tanpa mengetahui aib mereka.
13. Tiga tanda belas kasih Rasul bagi makhluk; beliau tidak menyebutkan yang pertama, melainkan yang kedua dan yang ketiga, yaitu: b) Menangisi (sedih dalam hati) terhadap anak yatim dan orang-orang miskin, dan c) Menghilangkan hinaan terhadap musibah orang muslim dan memberikan nasihat kepada manusia.
14. Tiga tanda orang-orang yang berkecukupan dengan Allâh SWT adalah: a) Tawaddhu‘ kepada orang-orang faqir dan orang-orang yang hina, b) Mengagungkan terhadap orang-orang kaya yang sombong, dan c) Meninggalkan bergaul dengan orang-orang yang cinta dunia lagi sombong.
15. Tiga tanda malu: a) Menemukan kedamaian dalam hati dengan hilangnya keresahan, b) Memenuhi kholwatnya dengan tafakkur bagaikan darah yang mengalir dalam tubuh, dan (c) MeRasakan kewibawaan Allâh SWT dengan muraqabah yang jernih.
16. Tiga tanda ma‘rifat adalah: a) Menerima apa adanya atas semua yang ditetapkan oleh Allâh SWT, (b) Memutuskan semua hal yang merintangi jalan menuju Allah. (c) Bangga dengan Allâh SWT
17. Tiga tanda taslîm (orang yang pasrah): a) Menerima semua ketentuan-ketentuan Allâh SWT dengan senang hati, b) Bersabar ketika menerima cobaan, dan c) Bersyukur ketika dalam kebingungan, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 8 halaman: 31-32).
Kemudian, Dzunnun al-Mishri meneruskan kembali nasihat-nasihatnya di halaman berikutnya:
1. Tiga tanda al-Hummul (menyembunyikan amal baik); a) Tidak bicara kepada orang atau mencegah pembicaraan, b) Tidak suka menampakkan ilmu di depan teman, dan c) MeRasa menemukan sesuatu yang menyakitkan ketika memberi nasihat, karena tidak menyukai perkataan.
2. Tiga tanda al-Hilm (sabar dan pemaaf) adalah; a) Meminimalkan amarah saat perbedaan pendapat dan menerima manusia karena tawaddhu‘ kepada Allâh SWT, b) Melupakan perbuatan jelek seseorang dan memaafkannya, dan c) Membalas kejelekan seseorang dengan kebaikan.
3. Tiga tanda Taqwâ; a) Meninggalkan kesenangan yang tercela walaupun ada kesempatan melakukannya, b) Melakukan amal-amal kebaikan walaupun nafsu berlari darinya, dan c) menyampaikan amanat kepada pemiliknya walaupun ada kebutuhan terhadapnya.
4. Tiga tanda yang menempel (dekat) dengan Allâh SWT; a) Lari kepada Allâh SWT dalam semua keadaan, b) Meminta kepada Allâh SWT atas segala sesuatu, dan c) Meminta arahan tiap waktu terhadap-Nya.
5. Tiga tanda raja‘ adalah; a) Beribadah dengan manisnya hati, b) Bernafaqah (bersedekah) di jalan Allâh SWT karena meyakini adanya pahala, dan c) Tiada henti-hentinya melaksanakan keutamaan amal dengan kejernihan jiwa.
5. Tiga tanda malu (kepada manusia) adalah; a) Menimbang ucapan sebelum berbicara, b) Menjauhi sesuatu yang akan membutuhkan alasan darinya, dan c) Meninggalkan ajakan orang bodoh karena merasa kasihan kepadanya.
6. Tiga tanda malu (kepada Allah) seperti yang disabdakan Rasûlullah SAW;
قَالَ الرَّسُوْلُ: أَنْ لَا تَنْسَى الْمَقَابِرَ وَالْبَلَا، وَ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا حَوَى، وَ أَنْ تَتْرُكَ زِيْنَةَ الْـحَيَاةِ الدُّنْيَا.
Tiga tanda tersebut adalah; a) Tidak melupakan kuburan dan akhirat, b) menjaga kepala dan isinya, dan c) meninggalkan keindahan kehidupan dunia.
7. Tiga tanda al-Afdhâl (keutamaan) adalah; a) Menyambung kembali tali persaudaraan yang sudah putus, b) Memberi kepada orang yang menolak memberi, dan c) Memaafkan terhadap orang yang mendhalimi.
8. Tiga tanda kejujuran adalah; a) Terus menjaga kejujuran, b) Berdiam diri ketika melihat yang berharga, dan c) Tidak suka istiqamah sirrî (rahasia) kepada Allâh SWT terlihat manusia baik secara diam-diam atau terlihat, hal ini karena lebih mementingkan Allâh SWT dari pada pandangan manusia.
9. Tiga tanda memutuskan rintangan dari jalan menuju Allâh SWT adalah; a) Lebih mendahulukan ilmu, b) Cepat memahami hukum, dan c) Tajam pemahaman.
9. Tiga tanda amal-amal petunjuk (al-rasyîd) adalah; a) Tetangga yang baik, b) Memberi nasihat saat bermusyawarah, dan c) bagus dalam bertetangga.
10. Tiga tanda kebahagiaan adalah; a) Memahami agama, b) Ringan melakukan amal ibadah, dan c) Bagus dalam bertetangga, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 8 halaman: 61-62)
Mengenai tanda-tanda orang faqîr yang sesungguhnya, Ibrâhîm al-Khawwâs menjelaskan ada dua; 1) Tidak mau mengeluh/mengadu, dan 2) Menyembunyikan bekas/jejak musibah, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 47).
Berikut ini adalah macam-macam faqîr;
وَالْفَقْرُ وَهُوَ عَلَى ثَلاَثَةِ أَقْسَامٍ: فَقْرُ الْعَامِّ وَهُوَ أَنْ لاَيَطْلُبَ الْمَعْدُوْمَ حَتَّى يَفْقُدَ الْمَوْجُوْدَ، وَفَقْرُ الْخَاصِّ وَهُوَ السُّكُوْتُ عِنْدَ الْعَدَمِ، وَفَقْرُ اْلأَخَصِّ وَهُوَ الْبَذْلُ وَاْلإِيْثَارُ عِنْدَ الْوُجُوْدِ، (جامع الأصول في الأولياء، ص: 77).
Faqîr ada tiga macam; faqîr-nya orang ‘awâm, yaitu tidak mencari yang tidak ada sehingga barang yang ada menjadi sirna. faqîr-nya orang khâsh yaitu diam ketika tidak adanya sesuatu. faqîr-nya orang akhash, yaitu dengan mengupayakan dan mengutamakan yang ada, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 77).
Muraqabah
Berikutnya keterangan mengenai muraqabah. Murâqabah secara bahasa berarti pendekatan. Sedangakan secara istilah, murâqabah adalah mata hati yang selalu memandang Allah SWT dengan ta’dzim (mengagungkan-Nya), (Majmu’ al-Rasail al-Imam al-Ghazali, halaman: 179). Muraqabah juga berarti mengetahui dan meyakini bahwa sesungguhnya Allâh SWT Maha melihat segala sesuatu yang ada di dalam hati dan mengetahui semua itu. Allâh Swt selalu memantau setiap getaran yang tercela yang membuat hati sibuk hingga lupa berdzikir, (al-Luma‘ fî Târîkh al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 51).
Al-Harits berkata, barangsiapa yang memperbaiki hati/batinnya dengan jalan muraqabah dan ikhlas dalam beramal, maka Allâh akan menghiasi dhahir/lahirnya dengan perilaku mujahadah serta senang melakukan amalan-amalan yang sunnah, (Thabaqât al-Shûfiyah, halaman: 62).
Selanjutnya adalah penjelasan tentang mahabbatullâh. Yakni cinta kepada Allâh SWT dengan mengikuti jejaknya Nabi Muhammad SAW dari segi akhlak/perilakunya, pekerjaanya, serta hal-hal yang telah diperintahkan. Sunnahnya yaitu mengikuti syari‘atnya sebagaimana mencintai Allâh adalah dengan mencintai Rasul Nya, (Nasy’atu al-Tasawuf al-Islâmî, halaman: 278).
وَلاَ تَحْصُلُ حَقِيْقَةُ الْمَحَبَّةِ مِنَ الْعَبْدِ لِرَبِّهِ إِلاَّ بَعْدَ سَلاَمَةِ الْقَلْبِ مِنْ كُدُوْرَاتِ النَّفْسِ. فَإِذَا اسْتَقَرَّتْ مَحَبَّةُ اللهِ فِى الْقَلْبِ خَرَجَتْ مَحَبَّةُ الْغَيْرِ. لِأَنَّ الْمَحَبَّةَ صِفَةٌ مُحْرِقَةٌ تَحْرُقُ كُلَّ شَيْءٍ لَيْسَ مِنْ جِنْسِهَا (وَعَلاَمَتُهَا) قَطْعُ شَهَوَاتِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ . وَقَالَ يَحْيَ بْنُ مُعَاذٍ: صَبْرُ الْمُحِبِّيْنَ أَشَدُّ مِنْ صَبْرِ الزَّاهِدِيْنَ، (تنوير القلوب، ص: 485).
Hakikat kecintaan seorang hamba kepada Allâh tidak akan terwujud kecuali dengan hati yang telah bersih dari segala kotoran. Ketika mahabbatullâh telah ada dalam hati, maka cinta kepada selain-Nya akan sirna. Ini disebabkan karena mahabbah adalah satu sifat yang bisa membakar segala sesuatu yang tidak termasuk bagian dari mahabbah itu sendiri. Di antara tanda-tanda Mahabbatullâh adalah hilangnya keinginan duniawi maupun ukhaawi. Yahya ibn Mu‘adz berkata: “Kesabaran para pecinta Allâh SWT itu lebih dahsyat daripada kesabaran orang-orang yang ahli zuhud”, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 485).
وَقَالَ عَلَيْهِ السَّلَامِ: عَلَامَةُ حُبِّ اللهِ حُبُّ ذِكْرِهِ.
Nabi SAW bersabda: “Tanda cinta kepada Allâh SWT adalah cinta menyebut-Nya”, (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 290).
وَحَدَّثَنِيْ عَنْ مَالِكٍ عَنْ سُهِيْلٍ بنِ أَبِيْ صَالِحٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا أَحَبَّ اللهُ الْعَبْدَ قَالَ لِجِبْرِيْلَ قَدْ أَحْبَبْتُ فُلاَنًا فَأُحِبَّهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيْلُ ثُمَّ يُنَادِيْ فِيْ أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ اللهَ قَدْ أَحَبَّ فُلاَنًا فَأُحِبُّوْهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ثُمَّ يُوْضَعُ لَهُ الْقَبُوْلُ فِي اْلأَرْضِ وَإِذَا أَبْغَضَ اللهُ الْعَبْدَ قَالَ مَالِكٌ لاَ أَحْسَبُهُ إِلاَّ أَنَّهُ قَالَ فِي الْبُغْضِ مِثْلَ ذَلِكَ، (تنوير الحوالك، ج 3، ص: 128).
Sementara itu, Ketika Allâh SWT mencintai seorang hamba karena mulia budi pekerti, kearifan, dan kebijaksanaannya yang selalu bermanfaat bagi orang di sekitarnya. Maka, tidaklah sulit bagi Allâh SWT untuk mengangkat derajat hamba yang dicintai-Nya. Allâh SWT akan mengatakannya kepada malaikat Jibril bahwa Dia mencintai seorang hamba, yang kemudian Jibril mengumumkannya kepada seluruh penduduk langit. Dan jika sudah demikian, maka seluruh penduduk langit pun turut mencintai hamba tersebut. Demikan halnya dengan hamba yang dimurkai-Nya, jika Allâh SWT murka terhadap seorang hamba, maka Allâh SWT akan mengatakannya kepada malaikat Jibril, kemudian Jibril mengumumkannya kepada seluruh penduduk langit. Sehingga seluruh penduduk langit pun turut murka pada hamba tersebut, (Tanwîr al-Hawâlik, juz 3, halaman: 128).
Berikutnya tentang prasangka atau praduga yang memiliki peran besar dan hikmah yang agung dalam kehidupan ini. Maka sudah sepatutnya kita harus selalu menjaga setiap bisikan hati agar tetap berprasangka baik (Husnuzhan) terhadap segala sesuatu yang telah Allâh SWT tetapkan, agar kita termasuk orang-orang yang beruntung. Dan sebaliknya, dengan berburuk sangka (Su’udzan) kepada-Nya akan memberikan kemadharatan pada diri kita sendiri.
Rasûlullâh SAW Bersabda;
قَالَ اللهُ تَعَالٰى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ إِنْ ظَنَّ خَيْرًا فَلَهُ وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ.
Allâh SWT berfirman: “Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Jika dia berprasangka baik, maka (baik) baginya. Dan jika dia berprasangka buruk, maka (buruk) baginya”, (Faydh al-Qadîr, juz 4, halaman: 643).
وَقَدْ قَالَ: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ فَلْيَظُنَّ بِيْ خَيْرًا، (إحياء علوم الدين، ج 3، ص: 374).
Allâh SWT berfirman: “Aku tergantung prasangka hamba-Ku kepada-Ku, oleh karena itu berbaik prasangkalah kepada-Ku”.
Hal tersebut sesuai dengan pengertian dan sebuah keyakinan bahwa Allâh SWT sangat dekat dengan kita. Sehingga kedekatan itu adalah kedekatan secara hakiki.
الْقُرْبُ الْحَقِيْقِيُّ قُرْبُ اللهِ مِنْكَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَإِنِّيْ قَرِيْبٌ. وَقَالَ تَعَالَى: وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَكِنْ لاَ تُبْصِرُوْنَ وَقَالَ عَزَّ مِنْ قَائِلٍ: وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ. وَحَظُّكَ مِنْ ذَلِكَ إِنَّمَا هُوَ مُشَاهَدَتُكَ لِقُرْبِهِ فَقَطْ، فَتَسْتَفِيْدُ بِهَذِهِ الْمُشَاهَدَةِ شِدَّةَ الْمُرَاقَبَةِ وَغَلَبَةَ الْهَيْبَةِ وَالتَّأَدُّبَ بِآدَابِ الْحَضْرَةِ وَأَمَّا أَنْتَ فَلاَ يَلِيْقُ بِكَ إِلاَّ وَصْفُ الْعَبْدِ وَشُهُوْدُهُ مِنْ نَفْسِكَ كَمَا يَقُوْلُ الْمُؤَلِّفُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى بَعْدَ هَذَا إِلَهِيْ مَا أَقْرَبَكَ مِنِّيْ وَمَا أَبْعَدَنِيْ عَنْكَ، (شرح الحكم، ج 2، ص: 40).
Kedekatan hakiki adalah dekatnya Allâh SWT dengan dirimu. Allâh SWT berfirman: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku dekat”, (Q.S. al-Baqarah: 186). Dan Allâh SWT berfirman: “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat”, (Q.S. al-Waqi‘ah: 85).
Dan firman Allâh: “Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada uRAt lehernya”, (Q.S. Qaaf: 16). Bagianmu dari semua itu adalah persaksianmu terhadap kedekatan-Nya saja. Dengan musyahadah ini kau ambil hikmah dengan kedekatan yang sungguh-sungguh, ketakutan yang mendalam, dan beretika dengan etika di hadapan Allâh SWT Tidak pantas bagimu, kecuali dengan beretika sebagai seorang hamba, dan penyaksianmu kepada Allâh SWT melalui dirimu.
Sebagaimana apa yang diucapkan oleh mu’allif (Ibnu ‘Atha’illah) setelah ini: “Tuhanku, alangkah dekatnya Engkau dariku, dan alangkah jauhnya diriku dari-Mu”, (Syarh al-Hikam, juz 2, halaman: 40).
Pandangan Allâh SWT terhadap makhluk-Nya berbeda dengan apa yang menjadi pandangan makhluk. Allâh SWT memberikan penilaian atas seorang hamba bukan dari sisi zhahirnya, melainkan yang menjadi ukuran adalah sisi batinnya. Seburuk apapun wajah seorang hamba dan serendah apapun derajatnya di mata manusia, namun penilaian Allâh SWT hanya tertuju pada kemuliaan hatinya. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasûlullah SAW;
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ . رواه مسلم (تنوير القلوب، ص 419)
Nabî SAW bersabda: “Sesungguhnya Allâh SWT tidak memandang penampilan kalian, juga tidak memandang harta kalian, melainkan Dia memandang hati kalian”, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 419).
Selain itu, ada pula sebuah pengakuan dosa dari seorang hamba dengan memohon ampun kepada Allâh SWT akan tetapi pengakuan tersebut adalah bohong. Hal itulah yang kemudian Rasûlullâh SAW menganggap mereka adalah golongan orang-orang yang menghina Allâh SWT
وَعَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ الْمُسْتَغْفِرُ بِالِّلسَانِ الْمُصِرُّ عَلَى الذُّنُوْبِ كَالْمُسْتَهْزِئِ بِرَبِّهِ، (تنبيه الغافلين، ص: 370).
Dikisahkan dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda: “Orang yang memohon ampun dengan lisan (membaca istighfar) tapi tetap melakukan perbuatan dosa, maka dia seperti orang yang menghina Tuhannya”, (Tanbîh al-Ghâfilîn, halaman: 370).