Arih nafsaka min al-tadbir. Fa-ma qama bihi ghairuka ‘anka la taqum bihi anta li-nafsika. Buatlah dirimu santai dan istirahat, tak dirisaukan oleh urusan tadbir (bekerja/berusaha). Sebab apa yang sudah dikerjakan oleh orang lain, tak ada gunanya engkau mengerjakannya sendiri untuk dirimu.
Pengertian Umum
Dalam bagian ini, kita berhadapan dengan masalah tadbir.
Tadbir adalah lawan dari tajrid. Jika tajrid artinya membuat diri Anda sepenuhnya mengabdi untuk kehidupan kontemplatif, beribadah kepada Tuhan, maka tadbir adalah kehidupan yang penuh dengan kerja kerja, dan kerja. Tadbir adalah Anda berusaha dengan mengikuti hukum sebab-akibat.
Apa yang diungkapkan oleh Ibnu Ataillah di sini semacam nasihat untuk orang-orang yang masuk dalam kategori manusia-sebab; manusia yang bekerja dengan menuruti hukum sebab akibat; manusia yang melakukan ikhtiar untuk melakukan perubahan dalam dunia ini.
Mayoritas manusia ada pada maqam ini. Nasihat Ibnu Ataillah: Ketika Anda sibuk melakukan usaha, bekerja keras untuk meraih atau mengubah sesuatu, maka sekali-kali Anda perlu istirahat sebentar. Buatlah semacam jeda untuk dirimu sendiri. Semacam “sabbatical leave”. Ada saat-saat tertentu seseorang perlu melupakan segala pekerjaan dan memberikan istirahat kepada jiwa dan pikirannya.
Pada saat Anda berada dalam pause mode atau istirahat semacam itu, jangan berpikir apapun. Lupakan segala bentuk tadbir atau usaha. Sebab, jika seluruh hidup Anda dihabiskan untuk memikirkan urusan tadbir, Anda bisa mengalami stres dan tekanan batin.
Sesekali, di tengah-tengah kesibukan usaha Anda, arih nafsaka, buatlah dirimu santai, rileks. Pada momen istirahat seperti itu, filosofi yang harus Anda pegang adalah berikut ini: fa-ma qama bihi ghairuka ‘anka la taqum bihi anta li-nafsika.
Anda tak bisa menyelesaikan segala soal dalam hidup ini sendirian. Kerapkali masalah dalam kehidupan ini, baik personal atau sosial, sangat kompleks. Satu orang saja, sendirian, tak akan bisa memecahkannya. Pemecahan harus dilakukan secara gotong-royong. Jika Anda tak bisa melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan, maka katakan pada diri Anda: Barangkali ada orang lain yang lebih kompeten dari saya, dan bisa memecahkan masalah ini.
Jangan sekali-kali Anda merasa bahwa Anda bisa memborong sendirian seluruh pemecahan masalah tanpa melibatkan orang lain, sehingga akhirnya Anda sendiri kerepotan dan mengalami tekanan mental. Ringankan diri Anda.
Katakan pada diri Anda bahwa apa yang bisa dikerjakan oleh orang lain dengan lebih baik, serahkan saja pada mereka. Belum tentu Anda, bila “ngotot” mengerjakannya sendiri, akan bisa melakukannya lebih baik.
Pengertian Khusus
Di kalangan kaum sufi, dikenal tiga jenis tadbir atau usaha. Ada tadbir yang tercela (madzmum), yang diharuskan (mathlub), dan yang dibolehkan (mubah).
Tadbir yang tercela adalah usaha yang disertai dengan sikap ngoyo, ngotot, dan kadang-kadang malah nggege mangsa, mendahului waktunya. Ini adalah tadbir yang dibarengi dengan sikap kemrungsung, ingin segera melihat hasil. Sikap semacam ini hanya membuat Anda berada dalam tekanan mental. Sama sekali tidak sehat. Selain kurang sopan atau adab terhadap Tuhan.
Ahmad ibnu Masruq (w. 910 M), seorang tokoh sufi Baghdad, berkata:
“Man taraka al-tadbir fa-huwa fi rahah. Barangsiapa meninggalkan tadbir, usaha, dia akan tenang, tidak mengalami tekanan.”
Yang dimaksud dengan tadbir yang harus ditinggalkan ini tentunya adalah tadbir yang dibarengi dengan sikap kemrungung semacam itu. Ini tadbir yang menimbulkan tekanan batin.
Tadbir yang diperinthakan (matlub) ialah usaha yang berkaitan dengan kewajiban kita sebagai hamba Tuhan. Kita, misalnya, wajib terlibat dalam tadbir atau usaha untuk melakukan perintah-perintah Tuhan, seperti ibadah wajib. Tadbir semacam ini tak bisa dihindarkan.
Adapun tadbir yang diperbolehkan adalah tadbir dalam bidang duniawi. Anda butuh menafkahi keluarga Anda, dan karena itu harus melakukan usaha/ikhtiar. Itulah tadbir yang di-mubahkan, diperbolehkan.
Apa pelajaran dari kebijaksanaan Ibnu Ataillah ini?
Di bagian ini, dia mengajarkan kepada kita suatu sikap yang oleh orang Jawa disebut dengan sumeleh. Sumeleh berasal dari kata “seleh” yang artinya “meletakkan”. Pada saat disibukkan dengan tadbir/usaha yang membuat diri Anda mengalami tekanan batin, Anda kadang perlu sumeleh: meletakkan beban dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan.
Sikap sumeleh ini bisa dianggap fatalistik, menyerah pada fatum, nasib. Padahal tidak. Sikap membuang jauh-jauh tadbir, sumeleh, hanyalah cara kita menyehatkan diri dengan mengistirahatkan jiwa kita dari beban-beban mental yang kurang perlu. Ini adalah semacam cara kita mengelola mental kita saja.