“Alhamdulillah meski di daerah lain terjadi tanah longsor, banjir bandang dan sebagainya, kami di Kampung Naga belum pernah mengalaminya”, ungkap Abah Ade Suherlin, kuncen Kampung Naga, Tasikmalaya, Jawa Barat, saat kami bertandang ke kampung itu, akhir tahun 2020.
Bencana alam yang marak terjadi belakangan ini di berbagai belahan Nusantara turut pula melanda beberapa kawasan wilayah adat.
Pada awal tahun 2018, misalnya, terjadi bencana tanah longsor di Kasepuhan Sinar Resmi, Sukabumi. Bencana alam berupa banjir bandang juga melanda wilayah Kasepuhan Kampung Urug pada awal tahun 2020.
Terdengar ironis, ya, Kampung Naga tetap aman. Padahal, komunitas-komunitas adat itu tergabung dalam satuan adat Banten Kidul yang sama-sama memiliki beragam kearifan lokal dalam menjaga lingkungannya.
Pertanyaannya, apakah saat ini masyarakat adat yang tinggal di komunitas-komunitas adat di wilayah tatar Sunda tadi kurang konsekuen dalam memelihara kearifan lokalnya?
Pernyataan Abah Ade Suherlin di atas menunjukkan bahwa interaksi antara komunitas adat dan alam masih amat harmonis. Keseimbangan relasi antara manusia dengan lingkungan sekitar begitu kuat terjaga di Kampung Naga.
Penataan ruang serta adat istiadat yang dipegang teguh menjadi kunci bagi terjaganya alam dan masyarakat adat
Pamali sebagai Kontrol Sosial
Suasana kampung nan asri langsung terekam dalam memori kami, saat menuruni ratusan anak tangga menuju Kampung Naga. Bayangan akan hujan deras membayangi ketika awan gelap mulai berkumpul di atas.
Lokasi Kampung Naga memang berada di antara lembah-lembah. Secara topografi, kontur wilayah yang tidak rata tentu lebih rentan berpotensi mengundang bencana alam.
Akang Irma, pemuda adat setempat menuturkan, “Beberapa bulan lalu terjadi hujan cukup deras di sini, wilayah Garut terdampak banjir bandang, sedangkan di Kampung Naga tidak terjadi apa-apa”.
Lantas apa yang menyebabkan lingkungan alam di Kampung Naga begitu lestari? Pertanyaan itu terus menghantui pikiran kami. Sembari berkeliling kampung kami berdiskusi banyak dengan Kang Irma.
Bicara tentang kestabilan ekologis Kampung Naga selama ratusan tahun silam hingga hari ini, tidak dapat dilepaskan dari weltaanschaung yang berkaitan erat dengan kosmologi dan mitologi mereka.
Adat-istiadat masih begitu kuat mempengaruhi pandangan hidup masyarakat. Abah Ade Suherlin sebagai kuncen atau pemuka adat pengaruhnya masih begitu kuat di masyarakat.
Dapat dikatakan abah merupakan sosok otoritatif sehingga dianggap begitu penting dalam menjaga adat. Berbagai aturan adat dalam lingkup masyarakat masih dijunjung tinggi terutama jika berkaitan dengan pamali. Secara sederhana pamali merupakan sebuah konsep yang umum bagi masyarakat etnis Sunda berupa larangan untuk melakukan sesuatu.
Menarik, meskipun konsep ini dapat dijumpai di pelbagai adat-istiadat masyarakat Sunda, mengapa konsep ini begitu kuat pengaruhnya bagi masyarakat adat Kampung Naga?
Pengaruh pamali sebagai kontrol masyarakat pada Kampung Naga begitu kuat karena telah tertanam dalam pandangan hidup masyarakatnya. Pamali telah terwariskan sejak berabad-abad lalu, umumnya diturunkan melalui mitos dari para karuheun dan begitu bertalian erat dengan kosmologi adat mereka.
Kosmologi Kampung Naga tercermin dari tata ruang di mana mereka telah menerapkan sistem zonasi dan dalam pembagian setiap zona tersebut memiliki segudang pamali yang mengikat.
Masyarkat Kampung Naga memiliki zona bersih yaitu wilayah pemukiman yang tidak boleh dijadikan sebagai tempat untuk memelihara hewan, mandi, cuci dan kakus.
Tempat untuk memelihara hewan dan MCK dikhususkan di daerah kotor. Lalu area lain seperti sungai, serang (sawah) dan leuweung larangan memiliki pamalinya masing-masing
Berbagai contoh penerapan pamali di Sungai misalnya pamali menangkap ikan dengan racun dan pamali mengotori air sungai dengan sabun. Pamali di Hutan seperti pamali masuk ke dalam hutan larangan dan menebangnya.
Itulah beberapa contoh larangan yang diterapkan masyarakat Kampung Naga. Warga Kampung Naga banyak sekali menggunakan kata pamali, mulai dari hal yang sepele sampai hal-hal yang besar.
Pelanggaran akan pamali akan ditimpali dengan sanksi adat dengan kadar hukuman tertentu. Pelanggaran pamali terberat akan dihukum dengan diusir dari kampung Naga.
Hilir Sungai Ciwulan
Aliran Sungai Ciwulan yang melewati Kampung Naga menurut Kang Irma tidak pernah meluap tinggi hingga ke dalam kampung.
Hutan penyangga menyerap air hujan dan mengatur debit air masih berfungsi dengan baik, sehingga jika terjadi hujan deras risiko banjir bandang sangatlah minim.
Area lahan pertanian telah ditetapkan dan terdapat pamali untuk membuka lahan pertanian ke dalam wilayah hutan.
Penataan area persawahan dengan sistem sengkedan juga diterapkan dalam kontur berbukit-bukit, sehingga efektif untuk mencegah terjadinya longsor. Setidaknya dalam pengaturan sungai dan hutan bernilai kearifan lokal.
Hingga saat ini keberadaan pranata adat melalui pakuncen untuk mengontrol pamali dinilai efektif di dalam Kampung Naga untuk mengatur aktivitas masyarakat dan menjaga lingkungan alamnya.
Otoritas Abah begitu kuat mempengaruhi masyarakat sehingga di saat kepemimpinan adat di wilayah adat tanah Sunda lainnya mulai terdegradasi, otoritas adat melalui penjagaan pamali oleh Abah Ade masih sangat kuat.
Tantangan selanjutnya, bagaimana pola kepemimpinan adat tetap dipertahankan di tengah berbagai perubahan dalam bentuk modernisasi zaman?
Nyatanya, sampai kini masih bertahan. Jika prinsip semua warga tidak dapat digoyang, Kampung Naga tetaplah aman.