Sedang Membaca
Kota Islam yang Terlupakan (8): Allahabad-India, yang Tetap dan yang Berubah
Muhammad Aswar
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mukim di Yogyakarta.

Kota Islam yang Terlupakan (8): Allahabad-India, yang Tetap dan yang Berubah

Img 20200510 Wa0000

Apa arti sebuah nama? Ketika api menjalar dari kapal Tampomas di sekitaran Kepulauan Masalembo, 27 Januari 1981, awak kapal masih mengirim sinyal bantuan dan diterima beberapa kapal asing. Tapi yang membingungkan, mereka tidak bisa menemukan koordinat tepat kapal itu, Ujung Pandang. Kenapa?

Sebab, dalam peta dunia, tak ada kota bernama Ujung Pandang. Dalam bentangan sejarah kelautan, hanya ada kota Makassar, Sulawesi Selatan.

Jika saja kota itu tetap bernama Makassar dan tak perlu diusik, mungkin “musibah Tampomas” masih bisa diselamatkan. Juga bagi sejarah Makassar, pergantian nama menjadi Ujung Pandang, adalah kemenangan Orde Baru dan “jawanisasi, sama memilukannya dengan swasembada beras dan sabunisasi di Papua. Kapal-kapal asing yang tak lagi menemukan sebuah kota bernama Makassar di peta Indonesia, mesti berlabuh di Surabaya, membawa serta pundi-pundi ekonominya.

Mengubah nama bisa jadi cara paling sederhana menghapus sejarah. Kun fayakun! Dan sebuah kota lenyap. Tinggal menunggu waktu agar orang-orang yang masih menggunakan nama kota itu di kartu pengenalnya juga diganti oleh generasi-generasi baru, atau menunggu bangunan-bangunan berlumut dan direnovasi.

Dalam hal mengubah nama, kita belum sebanding dengan India. Setahun sebelum pemilihan umum Perdana Menteri, puluhan nama jalan, stasiun dan kota diganti. Pada Agustus 2018, partai nasionalis Hindu Bhartiya Janata Party (BJP) mengganti stasiun bersejarah Mughalsarai menjadi Deendayal Upadhyay Nagar, kota Faizabad menjadi Ayodhya, Ahmedabad menjadi Karnavati, Osmanabad menjadi Sambhajinagar, Ahmednagar menjadi Darashivnagar, Hyderabad menjadi Bhagyanagar.

Mari kita cukupkan beberapa contoh dari 100 lebih nama kota, jalan dan situs-situs bersejarah yang dialihnamakan. Bahkan Allahabad, kota tua tempat dinasti Mughal bertakhta selama 300 tahun—juga kampung halaman aktor Amitabh Bachchan dan Perdana Menteri pertama Jawaharlal Nehru—telah diganti menjadi Prayagraj, nama yang diambil dari sebuah situs suci agama Hindu yang berada di kota tersebut. (Agra, kota wisata tersibuk di India dengan bangunan Taj Mahal pun masih simpang siur diberitakan akan berganti nama menjadi Agravana atau Agarwal)

Baca juga:  Arab Saudi yang Semakin “Metro-Profan” (1)

Allahabad sempat mengisi tajuk berita di seluruh India, bahkan dunia. Selain sejarahnya yang panjang, Allahabad dikenal sebagai kota para perdana menteri. Tujuh dari 15 perdana menteri di India yang pernah berkuasa memiliki ikatan dengan kota tersebut, baik dilahirkan di sana, alumni Universitas Allahabad atau karena kota tersebut menjadi basis utama keterpilihannya. Ini menandakan perubahan tren yang dikembangkan oleh partai BJP setelah Narendra Modi menduduki Perdana Menteri berupa kebangkitan fundamentalis Hindu.

Satu generasi yang lalu, jauh sebelum Modi berkuasa, para pemimpin nasionalis sayap kanan Hindu di negara bagian Maharashtra mengganti nama Bombay menjadi Mumbai—dengan alasan penghormatan kepada dewi pelindung Mumbadevi. Kota-kota lain mengikuti: Madras menjadi Chennai; Calcutta, Kolkata; Bangalore, Bengaluru. Semua perubahan itu diagung-agungkan sebagai akhir masa penjajahan Inggris.

Dan dalam gelombang perubahan nama terbaru, yang dimulai semenjak Modi bertakhta, perubahan nama tidak lagi tentang kolonialisme. Ini tentang menghapus sejarah Islam. Tetapi apa perbedaan kolonialisme Inggris dengan Islam. Keduanya sama-sama pendatang dan merebut kekuasaan. Sama-sama penjajah.

Pada pengangkatannya di tahun 2014, Modi menyampaikan pidato bahwa India dikacaukan oleh “Mentalitas budak dan terjajah selama 1200 tahun.” Dia jelas menyatukan 200 tahun pemerintahan Inggris dan era muslim abad pertengahan sebagai periode panjang kolonialisasi.

Kekaisaran Mughal bertakhta sekira 300 tahun di anak benua dan memberikan dampak yang begitu besar dalam kesenian, arsitektur, bahasa, bahkan kuliner. Dan Allahabad (nama kota ini sejatinya Ilahabas, namun dalam penyebutan pemerintahan Inggris menjadi Allahabad) merupakan rekam dari kemegahan kekaisaran Islam itu.

Baca juga:  Narasi Rajab (2): Beriktikad Baik dengan Cara yang Salah, Bagaimana?

Allahabad bermula dari kedatangan Kaisar Akbar (1542-1605) untuk mendirikan kota besar yang diapit dua sungai suci Hindu, Gangga dan Jamuna. Pada 13 November 1583, Kaisar Akbar meletakkan fondasi kota, mendirikan empat benteng dan menamainya Ilahabas.

Penamaan ini tidak sembarangan. ‘Abas’ dalam bahasa Hindustani berarti rumah atau tempat tinggal. Kaisar Akbar lebih memilih kata ‘ilah’ ketimbang ‘Allah’ yang menunjukkan bahwa kota ini tempat tinggal Tuhan, dewa dan segala kekuatan yang bersifat adimanusia. “Ilahabad” tidak dimaksudkan hanya sebagai kota untuk kaum muslim, tetapi juga kota suci bagi orang Hindu.

Tujuan nama ini, dalam konteks kekaisaran Mughal, setidaknya ada dua: pertama dibangun untuk mengamankan wilayah Doab yang subur. Kedua sebagai uluran tangan Kaisar Akbar bagi orang-orang non-muslim yang berkumpul dan berziarah setiap tahunnya di sungai Gangga dan Jamuna. Suatu visi yang sangat agung dalam tradisi India yang sangat membedakan kasta dan agama.

Akbar menjadikan Ilahabas sebagai kota paling damai bagi siapa saja. Dia membangun benteng megah yang menghadap ke sungai. Terhadap penduduk Hindu, Akbar mengakhiri ritual bunuh diri yang telah lama berlangsung di sana. Para peziarah yang datang dalam keputusasaan kebanyakan akan melompat ke dalam sumur atau menghanyutkan diri ke dalam aliran air sungai yang deras dari sebuah pohon beringin raksasa yang disucikan. Pohon itu kini ditempatkan di dalam sebuah benteng dan dikenal sebagai Kuil Patalpuri.

Dalam sebuah esai yang apik berjudul “The Akbari Synthesis and India’s Plurality”, penyair Ranjit Hoskote mengenang bagaimana seorang penguasa muslim yang menjanjikan kesetaraan ras dan kelas, menempatkan beragam agama dan falsafah dalam satu kekuasaan.

Baca juga:  Sejarah Diturunkannya Syari’at (2): Masa Pensyari’atan Hukum

Di masa kekaisaran Akbar, Allahabad tidak hanya dihuni oleh Islam dan Hindu, tetapi juga suku Chughtais, Balkhis. Rajput, Brahmana, Iran, Turani, Zoroaster, Kayastha, Jain, Yesuit, dan berbagai aliran lainnya. Semuanya disatukan untuk mempertahankan dan membangun peradaban besar yang bisa bertahan selama empat abad dengan segala pencapaiannya yang menakjubkan.

Dalam praktiknya, Mughal tidak pernah benar-benar menjajah kota ini. Akbar membangun sebelas benteng yang berdiri di dalam dan luar kota. Tujuh benteng dikuasai oleh para Brahmana. Rajput, Kayastha dan muslim membagi empat sisanya.

Dalam konteks yang lebih modern, kota ini tetap didatangi para peziarah setiap enam dan 12 tahun sekali untuk hari-hari besar Hindu. Namun juga tempat berkembangnya pemikiran-pemikiran liberal lewat Universitas Allahabad. Beragam partai dari yang paling kanan hingga paling kiri berbasis di kota ini.

Peninggalan-peninggalan kesejarahannya ditandai dengan ide-ide muslim dan Hindu, yang berdampingan dengan ide romantik, realis, progresif, dan modernis. Orang-orang dengan leluasa diperbolehkan untuk menggunakan salah satu dari dua bahasa besar: Hindi dan Urdu. Bahkan, kota ini  tempat Sir Muhammad Iqbal memberikan sebuah pidato—yang lebih dikenal sebagai Allahabad Address—untuk menancapkan pendirian Pakistan.

Lantas apa arti sebuah nama? Buku-buku sejarah mungkin akan tetap menuliskan Ilahabas atau Allahabad di dalam kurung, setelah Prayagraj, lengkap dengan inklusivitas agama dan sosial-politik yang pernah ada. Namun sejarah akan menjadi begitu jauh dan tak tersentuh lagi. Sama halnya orang-orang Papua yang masih menanam pohon sagu di halaman belakang. Tetapi, di dalam periuk yang dipanaskan, hanya ada beras.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top