Madani Film Festival atau Festival Film Madani 2019 ditonton oleh sekitar 2000 orang selama berlangsung pada tanggal 21-27 Oktober 2019 di beberapa tempat pemutaran film di Jakarta, Malang, dan Bandung. Jumlah ini meningkat dari festival perdana pada tahun 2018 yakni sekitar 1.300 penonton.
Direktur Madani Film Festival Sugar Nadia mengatakan, meningkatnya jumlah penonton terjadi karena bertambahnya tempat pemutaran film di festival kedua ini, yakni di Epicentrum XXI, CGV FX, @america, BINUS University Alam Sutra dan Kampus JWC, Indiskop, Institut Francais d’Indonesie, serta American Corner di Institut Teknologi Bandung dan Universitas Muhammadiyah Malang. Tahun 2018 hanya diputar di Jakarta Theatre XXI, IFI, Kineforum, dan BINUS University.
Selain itu, penambahan jumlah film uanh diputar juga sangat memengaruhi bertambahnya penonton, mseki belum mencapai 3000-an orang. Jika pada tahun lalu 15 film diputar, tahun ini menjadi 29 film. Jenis filmnya lengkap, mulai film panjang dan pendek serta fiksi dan dokumenter. Festival film yang diselenggarakan oleh grup Mizan dan Pabrikultur ini didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI melalui Pusbang Film dan DKJ.
“Kami berharap festival ini bisa berlanjut tahun depan dan tahun-tahun berikutnya. Semoga lebih banyak yang mendukung dan bisa diselenggarakan di banyak kota di Indonesia. Tahun ini senang sekali karena kita kedatangan sineas dari Amerika Serikat keturunan Suriah, Akram Sibly, juga ada dari Malaysia, yang memang ingin mendukung festival. Mudah-mudahan tahun depan bisa mengundang pembuat film dari banyak negara,” papar Sugar dalam penutupan festival ini, Minggu (27/10/2019).
Mencari Masyarakat Madani
Hikmat Darmawan, anggota Dewan Festival Film Madani menekankan mengenai kaitan festival ini dengan arah lebih jauh ke depan, yakni pencarian masyarakat madani. Oleh karena itu festival ini mejadi semacam pemantik. Buku karya anggota dewan festival yang lain, Ekky Imanjaya, Mencari Film Madani, memperkuat tujuan itu. “Mencari film madani mungkin juga mencari masyarakat madani. Yang penting, ini adalah festival untuk semua orang,” tutur Hikmat.
Anggota Dewan Festival Putut Widjanarko menambahkan, niatan untuk menyelenggarakan festival semacam ini sebetulnya sudah ada sejak tahun 2009 saat Jiffest yang terakhir. Alhamdulillah akhirnya bisa terlaksana. Festival ini ingin memberi narasi lain soal Islam, agar tidak melulu membicarakan mazhab dan hal-hal yang bersifat hukum, tapi juga budaya.
“Kami ingin membagi rasa, bahwa ternyata ada sutradara yag luar biasa dari daerah yg pernah konflik, seperti Herzegovina. Makanya ke depan kami ingin bisa ke pesantren, ke kampus UIN, agar narasi Islam lebih beragam. Sengaja kami gelar pada Oktober supaya mendekatkan diri dengan Hari Santri,” ujar Putut.
Potret Hidup Keseharian
Festival Film Madani 2019 dibuka dengan film Mesir arahan sutradara AB Shawky, Yomeddine, dan ditutup dengan film Iran, 3 Faces. Dewan Festival Garin Nugroho menjelaskan mengenai pemilihan film 3 Faces karya sutradara Jafar Panahi yang ia rasa penting untuk diputar, selain bahwa ia telah mengenal Panahi dalam festival di Berlin dan bahkan pernah datang ke rumahnya.
Bagi Garin, Iran memiliki tradisi bercerita sufistik dan sastra yang luar biasa. Film-filmnya menceritakan hal yang sederhana namun sangat dalam, dan ini adalah tradisi film Iran. Tradisi bercerita sufistik inilah yang patut dilihat masyarakat Indonesia, ketika khasanah keislaman di Tanah Air seolah menjadi doktrin dan bahkan politik yang hanya milik pemimpin agama.
“Tiba-tiba kebudayaan menjadi hilang dalam tafsir Islam. Padahal tidak mungkin ada kitab-kitab, tidak mungkin ada Nabi, jika tidak ada kehidupan sehari-hari yang diamati oleh Nabi dan tertulis di kitab-kitab. Kisah-kisah dalam kitab suci bisa tampak dalam kisah film. Dalam tradisi bercerita semacam itu betapa bisa melihat, menertawakan, mengkaji, dan menafsir kehidupan dengan rileks sekali. Madani adalah cara kita menafsir kehidupan dengan lebih dewasa, lebih rileks, dan terbuka dengan melihat kehidupan sehari-hari”, papar Garin.
Sementara itu Inayah Wahid, juga anggota Dewan Festival Film Madani, menyentil orang-orang yang sukanya melihat sesuatu secara dikotomis sebagai orang-orang yang kurang piknik. Apa-apa hanya dilihat dari dua sisi: baik-buruk, cantik-jelek, susah-senang. Padahal dunia begitu rupa-rupa.
“Makanya di Festival Film Madani ini kita bisa piknik, dengan menonton kehidupan di banyak negara melalui film. Ada dari Tunisia, Iran, Mesir, Amerika Serikat, Eropa. Kita tidak perlu piknik ke sana, karena panitia festival telah membawa kita piknik. Semoga kita tidak termasuk orang yang kurang piknik tersebut,” kata Inayah dengan gaya khasnya yang kocak. (SI)