Sedang Membaca
Ketika Nabi Bersama Pengidap Penyakit Menular
Ahmad Hakim Jayli
Penulis Kolom

CEO TV9 Nusantara, Televisi Kaum Santri. Penikmat sastra, Pegiat media Nahdlatul Ulama dan Pesantren.

Ketika Nabi Bersama Pengidap Penyakit Menular

1 A Corona

Kesungguhan semua pihak dalam mencegah persebaran virus Corana Covid-19 sudah serius. Bahkan arurat Covid-19 telah ditetapkan. Beberapa hal diserukan; Menjaga jarak sosial (social distancing), meminta berada #DiRumahAja sambil dilakukan penyemprotan disinfektan, bagi-bagi hand sanitizer hingga pembagian Masker. Cukupkah?

Insya Allah cukup sebagai sebuah ikhtiar. Tentu ini senada dengan saran para ahli yang sudah jamak kita terima. Ada dua hal pokok.

Pertama, matikan virus Corona sedini mungkin. Biasakan hidup sehat, cuci tangan, jaga lingkungan selalu kering dan terang, pakai masker untuk memastikan tidak menulari dan tertulari.

Kedua, jaga kondisi tubuh selalu sehat, cukup istirahat, makan teratur. Karena itu, kita tak boleh gelisah apalagi panik dan stres. Banyaklah mengkonsumsi Vitamin C dan E. Kondisi stabilitas tubuh yang demikian, akan perkuat daya tahan dan imunitas kita, Tubuh akan memproduksi anti-body secara cukup. Anti-body itu yang akan bertarung mematikan virus yang ‘bandel’ masuk ke tubuh kita.

Dua kunci itu sebenarnya sudah cukup. Namun ikhtiar lahir (ma dzahara) itu ibaratnya sekadar masker lahir. Lantas bagaimana dengan masker batin? Rasulullah saw pun pernah mengalami situasi seperti kita hari ini. Bagaimana ceritanya?

Adalah KH Syifaur Romli, pengasuh PP Nurul Huda, Berat Kulon, Kemlagi, Mojokerto yang mengisahkan dan mengijazahkan Masker Batin itu. Gus Sif, demikian beliau busa dipanggil masyarakat, setelah mondok masa SLTA ke Kiai Mustain Romli, Rejoso Peterongan Jombang, melanjutkan perburuan ilmunya ke Kiai Hafidz Hasyim di Pasuruan. Kiai Hafidz adalah salah satu santri kinasih Kiai Mustain Romli yang mengasuh pengasuh PP. Darul Ulum Karangpandan, Rejoso, Pasuruan. Di Pesantren Kiai Hafidz ini, saya juga menjadi santri. Dan Gus Sif adalah santri senior yang menjadi guru saya. Dulu, saya memanggilnya, Pak Sif. Tapi kini, saya memanggilnya kiai.

Baca juga:  Energi Hari Santri (1): Mengkonsolidasi Diaspora

Telepon berdering. Pagi sudah menjelang siang. Masjid sebelah sudah bersiap menggelar shalat Jum’at. Terdengar suara wibawa dari seberang sana. Pak Sif nenyapa dan bercerita, mengenang guru kami, murabbi ruhina, Almarhum Kiai Hafidz yang pernah mengajarkan sebuah kisah tentang Rasulullah saw di kala Madinah tetjangkit prahara penyakit menular.

Dikisahkan Nabi sangat serius menghadapi penyakit menular. Pesan ikhtiarnya nyata:

فروا عن رجل المجذوم فراركم عن الاسد (Firru ‘An Rajulil majdzum firarakum ‘anil asadi).

Menghindarlah kalian dari orang yang mengidap penyakit judzam (lepra) sebagaimana kamu berlari dari kejaran singa.

Bagi Nabi menghindari penyakit menular (kala itu digambarkan sebagai penyakit Lepra) adalah sebuah keniscayaan. Ini kata Nabi. Kalau kita kini, ya menggunakan masker, hand sanitizer, jaga jarak sosial, saling jaga, Stay At Home dan lain-lain yang telah dilakukan masyarakat dunia, termasuk di negeri kita. Keseriusan menghindar itu sampai dibaratkan seperti kesungguhan kita dari terkaman singa yabg sedang mengejar kita. Tak boleh slow, dong.

Tapi, ada tapinya. Dalam riwayat selanjutnya dikisahkan begini. Suatu saat Nai sedang di kediaman bersiap makan. Di hadapannya tersaji sepiring menu siap santap. Tiba-tiba ada tamu. Siapa dia?

Datang bertamu seorang Fulan yang Nabi tahu dia sedang mengidap penyakit Lepra! Bukankah ini berbahaya? Orang yang harus dihindari sedang di depan mata. Bagaimana respon Nabi? Menerima, sembunyi, atau lari menghindar?

Baca juga:  Mengapa Pesantren Cenderung Menutup-nutupi Jika Terpapar Covid-19?

Hal mencengangkan berikutnya terjadi. Nabi menyalami dan memegang dan nenggandeng tangan Fulan, membimbing ke tempat Nabi makan dan mengajaknya makan bersama. Bahkan dalam satu piring yang sama. Sepiring berdua!

Diriwayatkan, Rasulullah saw tanpa kikuk makan betsama dengam Fulan. Sebelum memulai, Nabi membaca doa, memohon kepada Allah. Inilah doa yang dibaca Rasulullah saw.

بسم الله ثقة بالله وتوكلا عليه

Bismillah tsiqotan billah wa tawakkulan ‘alaihi

“Dengan menyebut Asma (keluhuran, kekuasaan dan kebesaran) Allah. Aku percaya penuh pada Allah dan aku berserah diri pada-Nya.”

Rasulullah dan Fulan menikmati hidangan hari itu, berdua saja, tanpa ada apa-apa, hingga ke kecap terakhir. Hingga Rasulullah wafat, tidak ada riwayat satupan yang sebutkan Nabi terpapar, suspected penyakit menular yang diidap Fulan.

Pak Sif, Kiai Syifaur Romli sengaja menelpon saya hanya untuk berbagi cerita tentang kisah yang beliau catat saat ngaji di pesantren dulu pada Almarhum Kiai Hafidz Hasyim.

Sebagai santri, saya tentu langsung meminta ijazah doa ini. Ajaztuka, kata Pak Sif. Qobiltu, saya terima. Jawab saya. Dan doa ini bisa diamalkan oleh siapa saja, termasuk Anda.

Ibarat resep, doa ini resep eksklusif yang mengobati penyakit tertentu pula. Ini kelebihan doa ini dibanding doa (inklusif) tolak wabah, tolak balak yang tentu sebagian sudah kita amalkan, beberapa minggu terakhir.

Dari kisah yang melatarinya, kita bisa meneladani dua hal.

Pertama, betapa Nabi menjadikan doa sebagai andalan dalam situasi yang sangat mendesak dan mendadak, penting dan genting. Caranya, dalam berdoa, lakukan dengan sepenuh keyakinan kepada Allah, Dzat Yang Maha Ijabah.

Baca juga:  Pendidikan Bebas Prasangka

Kedua, betapa Nabi sangat memuliakan orang yang mustinya (dalam situasi normal) dihindari. Atas nama kemanusiaan, Nabi mengesampingkan bahaya yang sedang ‘dibawa’ Fulan tadi. Penghormatan dan pemuliaan seperti Nabi itu bisa saja jadi obat bagi pasien penyakit menular. Sebaliknya, tindakan mengucilkan tanpa pertimbangkan perasaan orang, sangatlah tak disarankan.

Sambil berbincang via telepon dengan Pak Sif, ingatan saya terbang ke ruang-ruang isolasi, kamar, bangsal dan runah sakit di mana para dokter dan perawat sedang berjuang antara hidup dan mati di garis depan menyembuhkan pasien Covid-19 atas nama tanggung jawab profesi dan misi kemanusiaan.

Mereka, dan juga kita, layaknya membaca doa ini. Doa yang bisa menjadi masker batin bahkan Alat Pelindung Diri (ADP) yang tangguh. Sebagai bentuk dukungan moral, sudah seharusnya kita bacakan Doa Nabi ini untuk mereka para dokter dan para medis di garis depan dan juga untuk keselamatan kita semua bersama keluarga:

Bismillah tsiqotan billah
wa tawakkulan ‘alaihi
(Dibaca tiga kali setiap selesai salat lima waktu, atau setidaknya tiga kali setiap pagi dan sore hari).

Dalam situasi normal, kita harus berikhtiar melindungi diri dari segala bahaya, termasuk penyakit menular nan mematikan. Tetapi ada situasi, di mana kita juga harus tatag, karena misi kemanusiaan, tugas dan amanat yang tak mungkin dihindari semua orang.
Nabi saw telah memberi teladan sempurna yang terbuktikan. Kita hanya perlu neneladani dan menjalaninya dengan keyakinan hati. Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad.

 

Surabaya, 27 Maret 2020

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
6
Ingin Tahu
0
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
2
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top