Majalah Nuansa edisi perdana pada bulan Oktober-Desember pada 1984 mengangkat tema khusus berupa pesantren. Majalah yang diterbitkan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) tersebut menyajikan beragam tulisan, mulai dari esai, wawancara hingga resensi buku dengan tidak jauh dari topik yang diusung. P3M sendiri merupakan lembaga swadaya masyarakat nirlaba dan non pemerintah yang didirikan pada tanggal 18 Mei 1983.
Awal mula didirikannya tidak lain adalah sebagai wadah aktualisasi dan tanggung jawab para ulama dan kyai terhadap kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Yang mana pada lembaga tersebut, ada beberapa sosok penting sebagai penggiatnya, yakni dari kyai pengasuh pesantren terkemuka di Indonesia, seperti: KH. Sahal Mahfudz (Kajen), KH. M Ilyas Ruhyat (Cipasung), KH. Wahid Zaini (Paiton), KH. Yusuf Hasyim (Tebuireng), dan KH. Hamam Dja’far (Pabelan). Di luar itu ada kalangan aktivis LSM 1980-an diantaranya; KH. Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo hingga Wirosarjono.
Empat artikel yang berbicara ihwal pesantren dalam majalah tersebut kala itu masing-masing adalah: KH. Abdurrahman Wahid (Asal Usul Tradisi Keilmuan di Pesantren), Nurcholish Madjid (Keilmuan Pesantren, Antara Materi dan Metodologi), Zamakhsyari Dhofier (Relevansi Pesantren dan Pengembangan Ilmu di Masa Datang) serta Masdar F. Mas’udi (Menguak Pemikiran Kitab Kuning). Antara satu dengan yang lain saling memberikan argumen dan konsep pengetahuan akan seluk-beluk mengenai dunia pesantren.
Gus Dur banyak mengetengahkan kesejarahan awal mula kehadiran pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang memiliki ciri-ciri tradisi yang sama sekali berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lain.
Lanjutnya, tradisi keilmuan Islam di pesantren bersumber pada dua gelombang, yaitu gelombang pengetahuan ke-Islaman yang datang ke Nusantara pada abad ke-13, yang bersamaan dengan masuknya Islam dalam lingkup yang lebih luas.
Sementara itu, pada gelombang kedua yakni ketika para ulama Nusantara menggali ilmu di semenanjung Arab, khususnya Mekkah dan kemudian kembali ke tanah air—mendirikan pesantren-pesantren. Ketika menilik buku berjudulkan Peradaban Sarung (Elex Media Komputindo, 2018) karya Ach. Dhofir Zuhry dijelaskan akan bagaimana perkembangan pesantren yang ada di Nusantara.
Para santri berdatangan ke tempat seorang kiai. Mereka berduyun-duyun, hingga kemudian didirikanlah pondok maupun asrama di tempat yang tak jauh dari kediaman kiai.
Pesantren memiliki ciri khas yang kemudian membedakannya dengan lembaga pendidikan lain—formal, seperti pendidikan umum dengan pelbagai jenisnya. Salah satunya adalah pengajaran dengan menggunakan pengajian kitab kuning.
Hal-ihwal tersebut banyak dibahas oleh Masdar F. Mas’udi melalui tulisannnya. Misalnya ia menyebutkan—dalam kalangan masyarakat pesantren, kedudukan kitab kuning melengkapi dengan kedudukan kiai.
Maksudnya adalah kitab kuning merupakan kodifikasi tata nilai yang dianut masyarakat pesantren, sementara kiai merupakan personifikasi yang utuh dari sistem tata nilai tersebut. Perkara mengenai kitab kuning dengan kiai bagi Masdar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Dalam kata lain, seorang dianggap memiliki otoritas keilmuan tatkala ia telah benar-benar memahami dan mendalami isi dari ajaran-ajaran yang ada di kitab kuning dan mengamalkannya dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan.
Dua alasan mendasar yang dijadikan Masdar dalam tulisan tersebut yakni masing-masing adalah: jumlah kitab kuning yang digunakan dalam metode pendidikan dalam pesantren yang beragam serta aliran, paham, maupun mazhab yang dianut dalam setiap kitab kuning pun juga beragam. Pada akhirnya, perlu diakui, dengan sistem pengajaran yang komprehensif, kitab kuning meliputi pelbagai aspek yang sangat luas. Tidak lain adalah sebagai pembentukan suatu kualitas manusia yang berakhlak mulia (insan kamil).
Yang menarik dan menimbulkan polemik dari sekian tulisan yang ada tentu saja adalah tulisan berjudul Keilmuan Pesantren, Antara Materi dan Metodologi oleh Nurcholish Madjid.
Di sana, Nurcholish banyak mengetengahan kritik maupun otokritik yang terjadi dalam dunia pesantren. Pertama, terkait mengenai keilmuan pesantren, yang mana baginya ada sesuatu yang salah dalam pesantren—tatkala dala pembidangan ilmu, hal yang bersifat penalaran agak tersingkir ketimbang pengetahuan yang bersifat dogmatis.
Kedua, sikap feodal yang dibungkus dengan baju keagamaan. Mungkin, itu kritik terpedas dari tulisan Nurcholish Madjid. Ia membahasakannya sebagai “Religio Feodalisme”. Hal yang digarisbawahi oleh Nurcholish akan realitas tersebut—melahirkan kesadaran hirarkis pada tataran kehidupan masyarakat adalah kegagalan terbentuknya bangunan masyarakat yang egaliter sebagaimana salah satu cita-cita dari Islam itu sendiri.
Lebihnya, ia menjelaskan banyak hal yang berkaitan mengenai fakta-fakta akan keilmuan yang pada sejauh itu belum menjadi diskursus di banyak kelompok.
Kendati demikian, pesantren dengan pelbagai kesejarahan, metode pengajaran, akar keilmuannnya maupun perkembanannya—harus diakui sebagai sebuah lembaga pendidikan yang sangat begitu fleksibel. Ia dalam kedudukannya dapat mengikuti perkembangan zaman yang sedang berjalan.
Zamakhsyarie Dhofier banyak menjelaskan dalam tulisannya berjudulkan Relevansi Pesantren dan Pengembangan. Selain mengajak pembaca untuk menelusur asal-usul pesantren, ia juga menjelaskan bagaimana kurikulum, perkembangan, kedudukan, sistem dan masa depan dunia pesantren.
Hingga saat ini pesantren memiliki penggaruh yang sangat begitu besar dalam pendidikan yang ada di Indonesia. Ia memiliki bangunan fiqih sebagai unsur dalam pembuatan kurikulum.
Dalam pesantren juga sangat membuka akan hadirnya kritik yang bersifat konstruktif dalam mempersiapkan generasi-generasi dari pesantren. Dan tentu saja, banyak orang akan terus berharap, pesantren mampu meramu modernitas dengan tidak meninggalkan tradisi-tradisi lama yang baik dan telah dilakukan.
Pesantren dari setiap waktu terus bertambah dan melahirkan santri-santri dengan proses lika-liku perjuangan, tirakat, kerja keras, daya tahan (survive), kesederhanaan, kebijaksanaan dan keistikamahan. Dengan proses belajar sebagaimana metode pendidikan yang ada di sana, tak lupa dalam anggitan pesantren yang mengutamakan adab kepada seorang guru atau kiai pengasuh di masing-masing pondok pesantren.
Mereka adalah orang yang nantinya diharapkan dapat mengamalkan ilmunya, memberikan implikasi pada sosial masyarakat dan lebih jauh dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama. Begitu. (atk)