Sedang Membaca
Sabilus Salikin (105): Macam-macam Zikir Tarekat Histiyah (3)
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Sabilus Salikin (105): Macam-macam Zikir Tarekat Histiyah (3)

Dalam hubungan ini, timbul keragu-raguan. Zat Mahabenar yang diingat dan dicari, yakni Haqq atau “Tuhan” mengandung kemutlakan sedemikian, yang (dalam hubungan dengan-Nya) kemutlakan bisa dipandang sebagai ketakterhinggaan. Dalam bahasa teknis, posisinya adalah lá bi syarth asy-syay’ (tanpa syarat apa pun), dan bukan bi syarth al-lâ syay’ (dengan syarat bukan apa pun).

Hanya saja, apa pun yang dirasakan oleh sang hamba melalui gerakan kedua sepenuhnya termasuk dalam dunia jasmani, dan berkenaan dengan tahap bi syarth al-la syay’. Lantas, bagaimana ini bisa diidentifikasi dengan Zat Mahabenar yang diingat, atau yang dicari, yakni Tuhan Yang Mahakuasa?

Kita akui bahwa keragu-raguan itu, sejauh ini, memang benar. Hanya saja, kita mesti memperhatikan bahwa sebuah objek yang mempunyai “kemutlakan” tertentu ternyata lebih dekat dengan Zat Mahabenar yang dicari ketimbang objek yang mempunyai “keterbatasan” sebagai sifatnya. Karena tipe gerakan kedua, bila dibandingkan dengan tipe pertama, mempunyai kemutlakan di dalamnya, maka ia pun lebih menyerupai Zat Mahabenar yang dicari ketimbang tipe gerakan pertama.

Sesungguhnya, kedua tipe gerakan ini termasuk dalam alam tanazzulát, dan berbagai manifestasi semua nama dan sifat. Dalam perjalanan menuju Allah, tujuan hakiki adalah la bi syarth al-syay’, yang merupakan tahap paling tinggi dalam perjalanan menuju Allah. Yang demikian hanya mungkin dicapai manakala sang hamba mencapai tahap fana’ atau “kefanaan menyeluruh” dan kemudian baqá’ atau “menetap dalam diri Allah”.

  • Akan tetapi, ketika gerakan terus-menerus ini dirasakan oleh sang hamba, sebagian orang merasakannya menyebar ke seluruh tubuh, dan sebagiannya lagi merasakannya pada anggota tertentu. Betapapun, perasaan ini mengarahkan perhatian pada Zat Mahabenar yang dicari. Akan tetapi, jika tidak demikian halnya, dan perhatian tidak tertuju pada Zat Mahabenar yang dicari, maka konsentrasi mesti diarahkan pada hati jasmani tanpa memikirkan atau menyebut-nyebut nama.Sekiranya setelah ini perhatian tidak juga terarah pada ZatMaha benar yang dicari, maka perhatian mestilah dicamkan kepadanya dengan mengambil nama Allah. Akan tetapi, mesti juga diperhatikan bahwa perhatian kepada nama saja tanpa memikirkan Zat Mahabenar yang dinamai (Allah) sangat berbahaya lantaran mampu menaklukkan tujuan hakiki.
Baca juga:  Kisah Sufi Unik (18): Abdullah al-Jalla' Minta Dihibahkan untuk Allah

Kini, sang hamba mestilah menerapkan pengetahuan tentang gerakan terus-menerus ini pada gerakan terus-menerus itu sendiri, sebab kejauhan dan kedekatan, kehadiran dan ketidakhadiran, kemusnahan dan kefanaan adalah akibat-akibat yang pasti dari pengetahuan ini sendiri.

Karena sumber hakiki dari gerakan terus-menerus dan terputus-putus adalah hati saja, maka sang hamba mestilah memperoleh pengetahuan tentang gerakan-gerakan ini dari hati saja, dan bukan dari anggota tubuh lain mana pun. Manakala seluruh tubuh sang hamba diberkahi dengan gerakan ini, ia mesti mengenakan Zat Mahabenar yang diingat pada seluruh gerakan tubuh dan menerapkan pengetahuan ini pada Zat Mahabenar yang diingat. Dalam keadaan ini, kefanaan dan ekstase banyak terjadi dan sang hamba pun mencapai keadaan fana’ total.

  • Sesudah melakukan amalan yang lama dan intens, sang hamba pun mencapai tahap ini, yang di situ hampir setiap saat ada pengetahuan tentang gerakan ini, ia kemudian mesti mencoba bahwa kesadaran akan pengetahuan ini diperoleh tanpa perantara hati jasmani, dan tidak usah mengarahkan perhatian kepadanya.Dengan demikian, kemajuan berikutnya bisa dicapai, dan perhatian pun bisa ditingkatkan dari segumpal daging dan seluruh tubuh. Ini disebut ‘ilm al- bashir atau “pengetahuan serba meliputi”. Keberanian mesti dimiliki untuk memelihara “keadaan” ini dari mengubahnya dari waktu singkat ke waktu lebih lama dan akhirnya untuk selama-lamanya.
  • Jika kadang-kadang, lantaran kelemahan hubungan dengan Zat Mahabenar yang dicari, kehadIran tidak bisa dijaga tanpa perantaraan gerakán, maka melalui gerakan itu sendiri, perhatian mesti diarahkan pada hubungan, tetapi ghaflah (melupakan Allah) tidak boleh dibiarkan dan ditoleransi. Jika gerakan tubuh terus-menerus sama sekali berhenti, maka perhatian mesti diarahkan pada gerakan terus-menerus tertentu dalam hati.Jika yang ini juga hilang, maka sang hamba mesti mandi air dingin, atau menghembuskan napas dari otak dengan kuat, atau ia mesti mengulang-ulang nama Allah Fa’ ‘al beberapa kali dengan penuh kesadaran seraya memahami maknanya. Insya’ Allah, ia akan bisa menjalin kembali hubungannya dengan Zat Mahabenar dengan salah satu metode di atas.
  • Jika dengan rahmat Allah dan disebabkan oleh kesabaran dan amalannya, sang hamba mencapai tahap di mana hampir setiap saat ia merasakan kehadIran Tuhan yang diingatnya, tanpa mengarahkan perhatiannya pada gerakan seluruh tubuh, maka ia mesti berusaha untuk tidak melupakan anugerah besar ini barang sesaat pun, entah itu berupa gerakan-gerakan anggota tubuh atau gerakan-gerakan dalam hati. Dalam keadaan seperti ini tentang dirinya akan dikatakan bahwa ia telah mencapai kedudukan orang-orang yang tangannya sibuk bekerja dan yang hatinya sibuk mengingat sang Kekasih (Allah).
Baca juga:  Sejarah Prostitusi di Dunia

Wahai saudara, pikirkan rencana untuk meraih kekayaan (spiritual),

Jangan lewatkan hidup berharga ini dalam kelalaian.

Senantiasa, di mana pun, dan dalam setiap pekerjaan,

Tatapkan pandangan jiwa pada Sang Kekasih!

  • Sang hamba mestilah berusaha sebaik-baiknya untuk memastikan bahwa pengetahuannya terbebas dari segenap penjuru arah, atau dari campuran kualitas apa pun sehingga keserupaan yang sempurna bisa dihasilkan antara pengetahuan dan yang diketahui. Hal ini bisa ditegaskan secara lebih jelas demikian: sang hamba, dari pusat hatinya, menemukan sebuah hubungan atau nisbat, yang seperti seutas benang dan membentang menuju Zat Mahabenar yang dicari, agar bersambung dengannya.Hanya saja, ketika pihak lainnya, yakni Zat Mahabenar yang dicari itu, bersifat mutlak dan tak tertentu, maka hubungan ini pastilah berkaitan dengan Zat Mutlak dan tak tertentu yang terbebas dari segenap gagasan tentang kualitas dan kuantitas. Keadaan ini ditafsirkan sebagai keadaan secara terus-menerus tertarik pada Allah, yang menyebabkan timbulnya semangat, ekstase, kegembiraan, kemabukan, ketakutan, dan ketakziman. Yang dimaksud dengan kewalian (wilayah) adalah mengalami keadaan seperti ini.
Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top