Manusia Nusantara, menyimpan memori tentang nama orang-orang besar sekaligus jasanya dalam berbagai hal. Metodenya pun unik dan menarik. Hal itu menjadi wujud penghargaan, ngalap berkah serta wujud nyata merawat dan melanjutkan cita-cita pendiri bangsa.
Salah satunya Soekarno. Ia memiliki banyak enigma dan napak tilas sejarah yang tak pernah habis dituliskan. Beberapa tahun lalu, bahkan sampai sekarang, kita melihat dan tertawa tentang meme Soeharto di bokong truk. Hal ini tentu berbeda makna. Tulisan singkat “Piye Le, Enak Zamanku To?” yang diilustrasikan gambar Presiden Soeharto terkesan negatif. Tentu saja negatif, karena ini “mobilisasi politik”.
Manusia, menurut Ernst Cassirer (1874-1945), adalah animal symbolicum (hewan yang menyukai simbol/bahasa). Sangat wajar ketika perasaan, isi hati, dan pikiran diungkapkan melalui simbol, frasa, meme, dan lainnya. Bukan melalui artikel dan buku yang panjang untuk dibaca sekaligus melelahkan.
Tren anak-anak milenial tampaknya demikian. Lebih suka hal-hal sederhana dan mudah dipahami. Meme, lagu, semboyan, quote, mampu menyederhanakan hal susah menjadi mudah, yang rumit, sulit menjadi hal sepele.
Sebagai bangsa besar, kita memiliki ratusan pendiri, tokoh, dan pejuang bangsa. Pertanyaannya, apakah Soekarno sudah meninggal dunia?
Secara fisik benar, namun secara rohani belum. Lihat saja, di mana-mana masih ada foto, gambar, nama beliau. Sukarno seolah-olah masih “menghuni” Nusantara ini dan hidup melebihi zamannya. (Baca: Inggit Ganarsih, Perempuan di Samping Soekarno)
Soekarno Menghuni Nusantara
Contohkan saja pada stadion Gelora Bung Karno (GBK) yang dibuat pada 8 Februari 1960 yang kini dijadikan pusat perhelatan Asian Games 2018. GBK menjadi bukti sejarah, bahwa Soekarno masih hidup di hati para olahragawan.
Nama Sukarno juga menghuni perguruan tinggi, salah satunya Universitas Bung Karno di DKI Jakarta yang didirikan tahun 1999. Ada juga banyak bangunan yang menjadi bukti jasa atau terinspirasi dari Soekarno.
Sebagai arsitek jebolan Technische Hoogeschool te Bandoeng (ITB) Bandung tahun 1926, banyak bangunan yang menjadi bukti kearsitekan Soekarno. Roh artisek Sukarno juga mempengaruhi pembangunan Patung Dirgantara di Pancoran Jakarta, Monumen Pembebasan Irian Barat, Masjid Istiqlal, Monas, Wisma Nusantara, Hotel Indonesia di Jakarta, Bandara Sukarno Hatta, dan puluhan bahkan ratusan bangunan di Nusantara ini yang menyematkan nama Sukarno.
Sunjayadi (2007) mencatat, sekira tahun 1955 Sukarno pergi haji dan kala itu ia memosisikan diri sebagai arsitek. Soekarno memberikan masukan kepada pemerintah Arab Saudi untuk membuat bangunan yang digunakan untuk ibadah sa’i menjadi dua jalur dalam bangunan dua lantai.
Atas saran Bung Karno itu, Pemerintah Arab Saudi kemudian melakukan renovasi Masjidil Haram secara besar-besaran pada tahun 1966. Salah satunya membangun lantai bertingkat bagi umat Islam yang haji khususnya pada Sa’i yang menjadi dua jalur dan lantai bertingkat untuk melakukan tawaf.
Di berbagai kampus di Nusantara, ada ruang/gedung yang namanya selalu tersematkan nama Sukarno/Bung Karno. Hampir tiap kabupaten/kota, Soekarno dan terkadang ada Hatta, selalu ada nama jalan/gang/kompleks perumahan yang menyematkan nama orang hebat itu.
Tak hanya itu, nama Sukarno juga ditulis, diteliti dalam ribuan buku, artikel, jurnal ilmiah, bahkan komik dan novel. Semua itu wujud nyata bahwa Soekarno masih hidup dan menghuni Nusantara ini. (Baca: Siapa Perempuan yang Membesarkan Soekarno)
Sukarno dan Lagu
Presiden selalu memiliki “sisi lain” yang kadang kurang diperhatikan rakyatnya, entah itu baik atau kurang baik. Sukarno, sejak dulu mendapat pujian bahkan kritikan dari lagu yang diciptakan murni dari isi hati rakyatnya, budayawan dan senimannya lewat lirik-lirik lagu yang tercipta.
Dari beberapa lagu, nama Sukarno abadi dan menghuni lagu tersebut. Pertama, lagu Bersuka Ria (1965) karya Sukarno sendiri. Wenri Wahnar (2014) mencatat, lagu ini dibuat Sukarno Bersama Orkes Irama kelompok musik pimpinan Jack Lesmana dengan irama lenso. Konon, lagu ini merupakan satu-satunya lagu karya pemimpin besar revolusi Indonesia. Album lagu ini diproduksi dan diedarkan pada 1965 oleh The Indonesian Music Company Irama LTD.
Bersuka Ria ini kemudian dipopulerkan Suara Bersama, kelompok musik yang digawangi Jack Lesmana bersama Bing Slamet. Bersuka Ria dirilis bersama lagu Euis (Bing Slamet dan Rita Zahara), Bengawan Solo (Bing Slamet dan Titiek Puspa), Malam Bainai (Rita Zahara dan Nien Lesmana), Gendjer Gendjer (Bing Slamet), Soleram (Suara Bersama), Burung Kakatua (Suara Bersama), Gelang Sipaku Gelang (Suara Bersama) di album bertajuk “Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso”.
Kedua, lagu Oentoek Paduka Jang Mulia Presiden Soekarno karya Soetedjo Rektor ITB pertama. Lagu ini dipopulerkan Lilis Surjani (1948-2007) pada era 1960-an dalam album dirillis Irama Record yang diiringi Orkes Bayu. Lagu ini mendapat sambutan baik, apalagi Sukarno kala itu serius mengganyang budaya Barat terutama musik ngak ngik ngok.
Ketiga, Iwan Fals mengabadikan nama Soekarno dalam sebuah lagu. Selain merillis lagu Bung Hatta (1981), Iwan Fals mencipta lagu bertajuk Negeri Kaya dalam album Raya (2013). Iwan Fals menyandarkan lirik itu pada sosok Sukarno. Di antara petikan liriknya:
Hei Bung Karno//Aku bersimpuh di makammu//Bertanya tentang Indonesia kini//Hei Bung Karno//Nyenyakkah tidur abadimu//Ku datang mengganggu istirahatmu.
Iwan Fals mengaku, lagu itu tercipta ketika ia ziarah ke kuburan Bung Karno. Banyak hal yang didapat, termasuk tamparan peran manusia Indonesia kepada Indonesia sendiri.
Keempat, Prananda Prabowo, Putra Megawati pada Juni 2015 meluncurkan lagu dengan judul Bung Karno Bapak Bangsa. Lirik dalam lagu itu bercerita tentang narasi perjuangan dan pengorbanan Sukarno.
Kelima, tahun 2016 kemarin, Sally Andrews mahasiswi Australia membuat lagu rap yang bercerita tentang kisah hidup Soekarno. Lagu itu berjudul Presiden Sukarno yang liriknya bercerita tentang biografi Soekarno, dari kecil hingga menjadi Proklamator RI.
Lagu tersebut pada awal 2016 berhasil menjadi juara di National Australia Indonesia Language Awards 2016 kategori Wild Card. Penghargaan diberikan sebagai original performance dalam bahasa Indonesia oleh non-native speaker terbaik.
Di tahun 2018 ini, populer juga lagu berbahasa Jawa dengan musik karawitan berjudul Bung Karno Putro Fajar karya Anang Cunkrink, seniman Jawa Timur. Lagu ini di Jawa Timur, bahkan Jawa Tengah khususnya daerah Rembang, Blora, Pati, di setiap pertunjukan reog, ketoprak, wayang, atau barongan hampir selalu dilantunkan.
Lagu tak sekadar urusan lirik, nada, solmisasi, melodi, alat musik, namun memiliki ruh. Dalam konteks nasionalisme dan religiositas, lagu-lagu tentang Sukarno membuktikan peran dan perjuangan Sukarno.
Kecenderungan anak-anak milenial pada media sosial harus menjadi magnet untuk mengampanyekan nasionalisme lewat aura positif para pejuangnya. Apalagi dalam psikolinguistik, dijelaskan bahasa, lagu, dan bunyi memiliki aura dan kekuatan magis. Jika lagu-lagu Sukarno sering diputar, maka akan timbul getaran positif tentang Sukarno, nasionalisme, dan akhirnya akan membentuk generasi nasionalis.
Mengingat Sukarno sangat mudah dan murah. Karena Ia masih hidup dalam macam-macam bentuk memorial masyarakat Indonesia. Bagaimana dengan ideologinya? Masih hidup atau sudah terkubur oleh hiruk pikuk politik Indonesia mutakhir?