Sedang Membaca
Membaca Aktivisme Kalis
Setyaningsih
Penulis Kolom

Esais dan Penulis buku "Bermula Buku, Berakhir Telepon" (2016).

Membaca Aktivisme Kalis

Di esai pertama berjudul Curhat untuk Girlband Hijab Syar’i, kita akan dibuat terkekeh oleh cara penulisan Kalis Mardiasih. Tulisan memang pernah dimuat di mojok.co pada Desember 2015. Kalis cukup dramatis menanggapi sekaligus melawan arus berjilbab syar’i dan tidak syar’i yang sebenarnya lebih pada perayaan kapitalisme berbusana. Lantas, hal ini dihubungkan dengan perilaku berhijrah dadakan oleh jamaah bertanda syar’i untuk menghukum orang-orang yang bahkan tidak dikenal karena dirasa tidak serius berjilbab.

Di esai kedua dan ketiga, jilbab masih menjadi pokok. Nada Kalis masih menampakkan kesinisan pada optimisme ZOYA merilis jilbab halal bersertifikat MUI yang jelas-jelas sangat mengecewakan kaum berjilbab “paris sepuluh ribuan”. Kalis sangat sanksi pada bisnis busana muslimah diiklankan ustaz seleb dadakan yang dengan angkuh menciptakan pakem bahwa cantik dan salihah itu berjilbab. Atas kasus hujatan menimoa Rina Nose yang dihukum warganet karena melepas jilbab, Kalis pun turut bersimpati dan ingin dengan sekeras-kerasnya menyerukan judul esainya, Jilbabku Bukan Simbol Kesalihan.

Tulisan-tulisan Kalis dihimpun dalam Muslimah yang Diperdebatkan (2019) memang lebih lahir dari isu mutakhir dan keterlibatan di media sosial. Selingan kecil di tengah penampilan menjadi pembicara di forum-forum publik. Di kalam pembuka, tulisan-tulisan diakuinya telah diakuinya sebagai, “narasi kontra yang sering kali bernada sinis terhadap semuanya.” Suara Kalis hadir sebagai bentuk ketidakterimaan pada tren hijrah ala seleb, pakem halal-haram jilbab, jalan pintas ke surga dengan poligami, seminar pranikah, sampai pada hal-hal lebih serius berkaitan dengan memanusiakan perempuan. Kalis kesal dengan siar-siar agamis yang memberikan berlimpahan nasihat, tapi tulisan-tulisannya pun tidak bisa menghindar dari gaya menasihati. Sinisme hadir tidak sekadar sebagai lemparan kekesalan. Bagi Kalis, tulisan harus “berupaya memberikan dukungan kepada suara perempuan yang sering kali gagal didengar sebab halal-haram selalu dijatuhkan lebih awal dibanding aspirasi dan pengalaman perempuan.”

Baca juga:  Alay, Masih Zaman?

Daripada buku dari para pemikir keislaman, Kalis lebih banyak terbantu oleh otobiografi berislam di masa kecil yang amat kerakyatan dan egaliter. Begitu memasuki dunia beragama yang dewasa, terutama saat menyadang status mahasiswa di kampus negeri di Solo dan menjadi warga masyarakat muslimah,  Kalis banyak merasakan kelewahan beragama. Dia merasa perlu dipertentangkan kelewahan nan salih ini dengan beragama di masa kecil yang sumringah, tanpa pamrih, tidak ngoyo, dan toleran tanpa sesumbar bertoleransi. Hal ini sekaligus secara bertahap mendorong Kalis terlibat dalam isu-isu keragaman dan toleransi nasional, dikuatkan dengan kesertaan aktif di Jaringan Nasional Gusdurian.

Keragaman

Kita cerap esai berjudul Islam di Mata Orang Asing. Esai tampak mentereng karena dibingkai program (pertemuan) bersifat ragawi bernama EYES for Embracing Diversity bersama Japan Foundation di Jakarta yang mendatangkan para peserta nonmuslim dari Jepang, India, Filipina, Thailand, dan Peru. Kalis semacam diuji oleh pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang asing yang ingin tahu tentang Islam, dari persoalan ibadah sampai peci. Justru diacara semacam ini di antara orang asing, Kalis lebih sadar menjadi berbeda di tengah dunia yang beragam.

Tidak mengejutkan jika acara bertema keragaman tiba-tiba membuat Kalis tiba-tiba sangat kalem dalam kontemplasi, “Aku tak boleh berhenti belajar. Kehidupan antarmanusia sebagai warga dunia dipersatukan lewat ilmu pengetahuan. Perbedaan membutuhkan jembatan yang sama sekali bukan dalam bentuk peperangan.” Di antara manusia yang berbeda, pengajaran keragaman lebih terasa efeknya. Sangat berbeda kesan antara Kalis menghadapi orang berbeda agama yang ingin belajar dan tidak sok tahu dengan menghadapi orang yang sama-sama Islam, tapi sok tahu dan gemar mengingatkan dengan hujatan. Di antara kaumnya sendiri, Kalis justru mengambil posisi sebagai musuh dan harus lekas berperan meluruskan.

Baca juga:  Perempuan-perempuan Bercadar itu (4, Bagian Terakhir)

Tidak jauh berbeda antara mendengarkan Kalis berorasi di jalan dalam kerumunan massa dengan membaca tulisan-tulisan dihimpun dalam buku Muslimah yang Diperdebatkan. Daya tanggap pada isu-isu yang dilejitkan oleh media sosial dan komersial terjadi sangat cepat. Kalis begitu keras dan vokal mengadvokasi isu-isu keberagamaan dan keperempuanan. Segera saat itu juga menanggapi dan berlari begitu kencang untuk meluruskan. Aksi dan tulisan yang bakal menentukan siapa Kalis bagi Indonesia beberapa tahun mendatang, apakah seorang muslimah intelektual pemikir atau masih kuat sebagai muslimah aktivis yang reaksioner pada hal-hal mengisari kehidupan perempuan. 

Judul                : Muslimah yang Diperdebatkan

Penulis             : Kalis Mardiasih

Penerbit           : Buku Mojok

Cetak               : Pertama, April 2019

Tebal               : xii+202 halaman

ISBN                : 978-602-1318-93-5

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top