Sedang Membaca
Ramadan dan Kisah Klise Muslim Kota

Ramadan dan Kisah Klise Muslim Kota

  • Sebagai upaya melacak perilaku beragama dalam kelompok itu, barangkali Ramadan bisa dijadikan tolak ukur paling sederhana. Entah diakui atau tidak, bulan yang penuh berkah ini kadang kala, pada titik tertentu, justru menjadi ajang kompetisi antar individu dalam beribadah.

Wacana yang menarik dari fenomena keagamaan belakangan ini adalah adanya dikotomi antara masyarakat perkotaan dan pedesaan, seolah keduanya dibatasi oleh garis demarkasi yang begitu tipis dan mudah koyak sekaligus rumit—sebab dipengaruhi oleh faktor di luar perkara geografis semata.

Hal semacam itu adalah konsekuensi yang tidak bisa kita elakkan, ajaran Agama dalam proses transmisinya terhadap satu komunitas tertentu, memang sering—untuk tidak menyebutnya selalu—mengalami pembauran antata teks-teks murni—yang sekaligus manifestasi dari wahyu—dengan faktor kebudayaan yang begitu kompleks.

Wilayah pedesaan menjadi lahan subur bagi laku keagamaan, karakteristik masyarakat yang tertutup disertai mobilitas yang terbatas membuat mereka lekat dengan religiusitas. Sedangkan pada masyarakat perkotaan, seolah berlaku sebaliknya.

Mereka beririsan langsung dengan isu modernisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu pesat, bagi sekelompok orang, dua hal tadi adalah perkara yang bertolak belakang dengan ajaran Agama.

Lihat misalnya bagaimana Stephen Hawking—ilmuwan paling moncer abad ini—dalam bukunya The Grand Design (2010), mengatakan dengan sangat percaya diri bahwa, perkembangan ilmu pengetahuan membuat misteri asal-usul alam semesta bisa diungkap para saintis, dan karena itu tuhan tak diperlukan lagi.

Narasi yang bernada pesimis dan murung terhadap masa depan Agama bagi masyarakat urban bisa kita tepis. Dalam tulisannya yang berjudul “Sufism and The Indonesian Islamic Revival”, dalam The Journal of Asian Studies, Vol. 60, No. 03 (2001), Julia D. Howell menangkap satu fenomena bahwa gairah spiritualitas masyarakat Kelas Menengah Perkotaan di Indonesia semakin tumbuh pesat, yang kemudian ia sebut sebagai “urban sufisme”.

Baca juga:  Keagungan Bulan Ramadan dalam Kitab Asrar al-Muhibbin fi Ramadhan (1)

Kita bisa saja berdebat dan menganggap penelitian Howell terlalu menyederhanakan, baik subtansi ajaran, maupun praktik sufisme yang begitu dalam dan luas. Sebab berangkat dari gejala sosiologis, barangkali memang dimensi lain dari sufisme abai di kaji secara menyeluruh.

Tapi, penelitian ini setidaknya menjadi preseden baik bagi masa depan ritual Agama dalam konteks masyarakat urban. Entah layak disebut sufisme atau tidak, mengarah pada mata angin konservatisme atau sebaliknya, tetapi geliat keagamaan benar-benar bisa kita lihat secara nyata.

Berbekal data BPS, Alvara Research Center mencoba melakukan prediksi laju pertumbuhan pada tahun 2020, dengan asumsi 56.7% penduduk Indonesia berada di kota, jumlah umat islam yang tinggal di kota hampir 137 juta jiwa, sementara yang tinggal di desa 104 juta jiwa.

Jika prediksi itu sesuai, maka dalam kurun waktu beberapa bulan dari sekarang—atau mungkin sudah terjadi (?)—masyarakat islam perkotaan akan menjadi lebih dominan, setidaknya dalam segi jumlah.

Sebagai upaya melacak perilaku beragama dalam kelompok itu, barangkali Ramadan bisa dijadikan tolak ukur paling sederhana. Entah diakui atau tidak, bulan yang penuh berkah ini kadang kala, pada titik tertentu, justru menjadi ajang kompetisi antar individu dalam beribadah.

Konsumerisme dan Kegilaan Terhadap Simbol
Terdengar klise sekaligus naif, tetapi perilaku konsumtif dan kegilaan terhadap simbol-simbol keagamaan melulu saling bertautan, dan mencapai titik puncak pada bulan Ramadan.

Baca juga:  Filosofi Shalat

Lihat misalnya kecenderungan pertumbuhan produk dengan label halal yang beredar di pasaran mulai dari peralatan kecantikan hingga perkakas elektronik. Berbeda dengan masyarakat pedesaan, masyarakat urban memiliki akses penuh terhadap produk tadi.

Bahkan, Menurut data yang dirilis oleh Google pada tahun 2015, “Tutorial hijab” menjadi kata kunci yang paling sering dicari selama Ramadan, hanya kalah selisih dengan “Tiket kereta api”. Secara serampangan kita bisa menarik kesimpulan bahwa penampilan dan simbol kesalehan menjadi sangat penting.

Pada tahun yang sama, BI melalui laman resminya mengatakan bahwa kebutuhan uang selama Ramadhan mencapai angka Rp 119,1 triliun-125,5 triliun. Dengan presentasi masing-masing kebutuhan berdasarkan wilayah ; (1) Jawa—non Jakarta sebesar 32%, (2) Jakarta 29%, dan 39% sisinya untuk wilayah luar Jawa. Pertukaran uang pada masa Ramadan begitu semarak di wilayah perkotaan.

Periode Ramadan akan selalu membawa kita pada kemudahan akses terhadap produk-produk dengan simbol “Islam”, para produsen tentu saja menganggap ini sebagai celah bisnis paling nikmat.

Sedangkan di desa, perilaku konsumtif memang ada, tetapi mereka cenderung lebih longgar dan tidak memiliki ketertarikan berlebih terhadap simbol.

Keterasingan dan Laku Religiositas
Berangkat dari wacana urban sufisme tadi, maka salah satu faktor yang paling dominan menurut hemat saya, adalah perasaan terasing yang dapat ditinjau dari relasi ekonomi masyarakat urban.

Baca juga:  Dua Angsa Hitam: Kritik untuk Prof. Ramli yang Mendukung UU Cipta Kerja

Jika menelaah kembali The Economic-Philosophical Manuscripts of 1844, Marx muda membagi keterasingan dalam empat bagian, dalam konteks ini setidaknya ada dua fase yang cocok untuk dielaborasi.

Pertama, keterasingan terhadap produk. Untuk menjelaskan konsep ini, barangkali kita bisa mengajukan antologi pertanyaan semacam, “Apakah seorang pekerja dengan gaji 4 juta, bisa membeli produk busana muslim—yang ia kerjakan—dengan rentang harga 2 juta?” atau “Bagaimana mungkin seorang buruh, dengan penghasilan UMR, bisa membeli kulkas dengan logo halal, yang setiap hari ia rakit?”.

Kedua, keterasingan terhadap diri sendiri. Masyarakat pekerja tidak lagi mampu mengenali potensi dirinya secara utuh karena di bawah kendali keterpaksaan. Maka, mengikuti laku keagamaan adalah alternatif paling memungkinkan untuk mengobati keterasingan tersebut.

Mereka kehilangan “Dirinya” dan terasing dari dunianya sendiri. Untuk itulah, diperlukan sentuhan-sentuhan yang mampu mengembalikan kepada “dimensi­manusia”. Salah satunya adalah dengan sentuhan melalui spiritualitas.

Dalam konteks Ramadan, keterasingan itu mengalami jeda—meski pendek, masyarakat urban berupaya menjadikan dirinya sebagai manusia. Dengan sengkarut nilai yang terjebak pada simulakra.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top