Sedang Membaca
Pamitan dan Persembahan
Dhima Wahyu Sejati
Penulis Kolom

Merupakan esais dan perensesi buku, juga pegiat komuntas Darwis. Penikmat berat es teh kampul.

Pamitan dan Persembahan

20210821 173006

Semalam suntuk membaca buku-buku semiotika. Demi skripsi, rela menyelami soal tanda dan makna. Lalu berkenalan dengan Charles Sander Peirce, Ferdinand de Saussure, dan Umberto Eco. Aku menyerah ketika jam lewat tengah malam. Lalu lanjut berbalas kisah dan keluh kesah lewat pesan di WhatsApp dengan perempuan yang aku mulai menaruh kasih padanya. Ah, terasa menyenangkan. Gawat, tidak terasa sudah subuh. Buru-buru bangun dari rabahan lalu sholat subuh bersama adik dan ibu. Aku baru bisa tidur jam setengah enam.

Adib Baroya, esais solo pegiat sastra. Tiba-tiba kirim pesan singkat di WhatsApp, “besok (minggu), aku ke Palur. Kalau pagi ini (sabtu) ada Naim. Sekalian ngobrolke kritik sastra untuk tengara.id.” begitu pesan Adib, itu jelas pesan yang diteruskan dari Bandung Mawardi (BM) alias Kabut⸺selanjutnya dipanggil BM. “Balesan dari Pak Kabut ie. Kalo siang ini bisa ya? Seperti biasa pukulnya..,” celakanya, aku masih tidur, pesan itu dikirim pukul 8.50. Sedang aku bangun sudah hampir pukul 11. Gawat! Terlambat.

Segera setelahnya ke Bilik Literasi, rumah BM yang bertempat di Colomadu, Karanganyar. Di sana sudah ada Naim, Adib, dan BM. Aku sedikit terlewat, mereka sudah ngomong soal etnografi, novel, dan antropologi. Untung aku masih bisa ikut ngobrol. Di tengah-tengah obrolan, aku diberi buku terbaru BM, berjudul Persembahan (2021). Gratis.

Buku ini tidak ber-ISBN. Alasanya, jangan tanya pasti nyleneh, “aku engga mau buku ini diketahui perpustakaan nasional,” begitu alasan BM. Buku juga tidak memuat kata pengantar, apalagi testimoni para tokoh masyarakat, pejabat publik, atau sastrawan. Jangan berharap banyak. Aku rasa para tokoh itu bakal tidak sanggup memberi pengantar, karena tidak ada honor untuk itu. Mending memberi pengantar di buku-buku proyekan pemerintah, jelas ongkosnya ada, gede pula.

Baca juga:  Ramadan Bersama Nabi

Ia sangaja memberi gratis kepada teman dan orang-orang yang sinau di Bilik, termasuk aku . Dimaksudkan buat mengenang kematian Mbaknya. Kebiasan yang cukup aneh, biasanya orang wafat, yang dibagi-bagi buku Yasin, tapi ini buku kumpulan esai. Memang, agaknya ia memilih mengenang dan berduka lewat esai, ketimbang buku Yasin. “Buku yasin cuma dibaca saban Jumat, itupun kalau dibaca,” kata BM.

BM yang sedang berduka, bukan tipe orang yang blak-blakan mau curhat menye-menye. Aku menangkap dukanya di buku yang ia berikan; Persembahan (2021). Di lembar ke dua ia mengabarkan, “Yu Cathis/Pamitan, 23 Juli 2021”. Ah, agaknya ‘pamitan’ nausanya teramat menye-menye, inilah cara BM berduka kepada Yu Cathis, Mbaknnya. Ia tidak berterus terang kalau sedang sedih, tapi lewat pembuka buku ini, jelas pilihan katanya terasa suram, juga sedih.

Duh, “pamitan,” katanya. Ia menulis kata pamitan, tepat dua hari setelah ulang tahun yang selalu kurayakan bukan dengan kue, cuma dengan ucapan “alhamdulillah,” dengan ketulusan dibarengi harapan buat urip yang lebih urup. Ketika aku bersuka-cita mengucap alhamdulillah, dua hari setelahnya BM menulis kata “pamitan” buat Yu Cathis.

“Aku memanggilmu Yu Cathis. Sekian orang memanggil Mbak Ningsih dan Bu Ningsih. Perempuan bernama lengkap Sri Setyaningsih. Pamitan dalam usia 53 tahun, meninggalkan empat anak dan 3 cucu. Yu Cathis menghuni kuburan, berkumpul lagi dengan Pak Dirin, Mbok Jinah, dan Mas Sumedi (Bandung Sumedi),” tulis BM di suningsih.net bertajuk Keluarga dan Kuburan (30/7/21).

Buku ini bersampul lukisan. Dilukis oleh Syam Terrajana. Pelukis yang bernuansa dangdut ini sebab nama belakangnya Terrajana, aku menyebutnya sambil nyanyi lagunya Roma Irama, Terajana memberi judul lukisannya Sore-sore (2020). Apa karena warnanya kuning, jadi itu bernuansa sore, tapi sore tidak pernah benar-benar bewarna kuning. Justru ini seharusnya malam, lihat saja lampu sorot di mobil itu, juga bewarna kuning. Mobil hanya menyorot di malam hari, kan. Jadi itu latar waktunya malam, bukan sore.

Baca juga:  Progresivisme Santri Kota dari Tahun 1990an hingga Sekarang: Sebuah Wawancara dengan Mochamad Sodik (2)

Mobil di lukisan itu dinaiki tiga anak kecil, satu bapak, dan satu lagi anak kecil di dalam bingkai. Jelas tema lukisannya keluarga. Bapak berdiri di situ hendak pamit, sampai-sampai si anak gondeli sarungnya. “Jangan sampai pamit, pak” begitu gestur tubuh anak kecil itu berbicara. Sedang di atas judul, ada gambar laki-laki nampak sedang berbaring, jika kita perhatikan detail, matanya sedang terang, namun suasana sekitar dilukiskan gelab, menunjukkan ia sedang muram di kala malam. Itu adalah BM yang sedang mengalami “malam resah” dan kesulitan tidur.

Kita bisa tahu jika membuka buku di lembar ke tiga, hal V. Diberi judul Malam…, menegaskan latarnya jelas malam hari. Suasana hatinya sedang resah. Kita tahu lembar itu setelah kata “pamitan”, yang artinya ia sedang merenungi perpisahan. “Aku ingin segala berlaku wajar tapi kesanggupan menanggungkan nasib bisa berhitung siasat. Malam resah tak merestuiku berbaring dan memejam mata,” BM jelas sedang sambat.

Ia sambat dengan tembok rumahnya. Juga dengan lagu-lagu kenangan berbahasa Inggris, “lagu-lagu itu membuatku masih sadar sebagai pemilik sedih. Aku tidak mau terserap dan terpuruk.” Nampaknya, tembok dan lagu tidak cukup membuat ia kembali tenang lalu tidur. Buku menjadi pelampiasan selanjutnya. Ia jelas punya buku bertumpuk-tumpuk di rumah. Ia pandangi sambil mengutip buat merangsang tulisan per kata, per paragraf, sampai menjadi esai pendek yang utuh. “Buku terbaca sejak pagi terpandangi. Aku membuka buku, sejenak berfikir. Malam resah aku ladeni dengan mengetik.”

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (41): Nihâyatus Sûl dan Sikap Obyektif Al-Isnawî

BM menulis macam-macam, dari soal perempuan, kecoa, cicak, tikar, meja makan, kolonial, salib, sampai soal kitab suci. Jadilah tulisan-tulisan pendek itu terhimpun di buku Persembahan (2021). Jika pembaca jeli, kita akan menemukan kata yang bernuannsa suram mirip kata “pamitan”. Agaknya tidak mau mebebani pembaca, BM segera menutup buku ini dengan pilhan judul “Abad” di halaman 97. Kata “Abad” bernuansa pengharapan, sebab kata itu soal kehidupan yang juga bermakna masa yang kekal, tidak berkesudahan (KBBI V). Ah, lagian anak BM juga bernama Abad. Sudah tentu seorang anak merupakan pengharapan tidak berkesudahan bagi kehidupan.

Sedang kalimat terakhir, di halaman terakhir (hl.100), tertulis kata “begitu”,  jelas ini merupakan sebuah ekspresi kelegaan dari malam resah yang tidak berkesudahan, itu. Ia bersyukur sudah melewati malam suram dengan selamat, lalu ia merayakan dengan bagi-bagi buku gratis, “tulisan pendek malam itu terbagikan ke teman-teman, berketerusan setiap malam. Begitu.”

Begitulah BM, ia tidak mau berterus terang soal kesedihan. Ia sembunyikan di bilik kata, sampai kita harus jeli menangkap rasa, lewat pencarian dan pengusutan di setiap tulisan juga pilihan kata. Turut berduka, buat BM dan keluarga.

Judul: Persembahan
Penulis: Bandung Mawardi
Cetakan pertama, 2021
Halaman: vii + 100: 12 cm x 18,2 cm
Penerbit: Bilik Literasi
ISBN: –

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top