Tujuan penciptaan manusia menurut surat az-Zariyat ayat 56 adalah untuk beribadah kepada Allah Swt. Inti hidup umat manusia adalah ibadah, namun masalah utama dalam hidup umat manusia adalah “rasa malas”. Seringnya ditunda-tunda daripada tepat waktu. Ibadah bukan saja salat ya, tapi juga bekerja, dan apapun aktivitas yang baik, termasuk bercinta.
Di dalam kitab Nashoihul Ibad (kitab yang mensyarahi kitab Al-Munabbihat Alal Isti’dad liyaumil Ma’aad karya Syaikh Sihabuddin Ibnu Hajar Al-Asqolani) karya Syaikh Nawawi Al-Bantani, dijelaskan tentang cara Allah menghujjah empat golongan manusia yang suka mencari alasan jika diajak beribadah. Hal ini merupakan ungkapan dari Nabi Muhammad saw di bab Ruba’i tepat di makalah ke0-26. Berikut kisah lengkapnya.
Nabi Muhammad mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah membuat hujah pada empat golongan manusia yang enggan beribadah dan membuat alasan tentang kondisinya saat itu. Empat golongan tersebut adalah:
1. Golongan yang tidak bisa beribadah karena terlalu kaya, sehingga setiap hari sibuk mengurusi harta bendanya yang sangat banyak,
2. Golongan yang tidak bisa beribadah karena menjadi seorang budak, pelayan, pembantu. Mereka setiap saat, setiap hari, sibuk melayani tuan, bossnya, majikannya.
3. Golongan yang tidak bisa beribadah karena sakit, sehingga tidak memiliki daya untuk beribadah, dan
4. Golongan yang tidak bisa beribadah karena “merasa terlalu miskin”. Mereka setiap hari lebih sibuk mencari uang daripada beribadah.
Empat golongan tersebut diberikan hujah satu per satu oleh Allah Swt. Golongan pertama dihujah oleh Allah bahwa jika yang menjadikan umat manusia tidak bisa beribadah adalah kekayaan yang melimpah, maka manusia harus melihat nabi Sulaiman bin Dawud yang memiliki kekayaan tak tertandingi dan tetap beribadah kepada Allah Swt.
Syekh Nawawi bahkan menyindir lewat ungkapan satir: “Adakah kerajaan yang lebih besar dari kerajaan Nabi Sulaiman? Dan adakah harta benda yang melebihi harta benda yang dimiliki Nabi Sulaiman? Dan Nabi Sulaiman tetap beribadah”. Riwayat lain menyebutkan bahwa kerajaan Nabi Sulaiman perlu dijaga ribuan jin dan manusia. Hal ini menunjukkan betapa terlanjur kayanya seorang Nabi Sulaiman.
Golongan kedua dihujah oleh Allah bahwa jika yang menjadikan mereka tidak bisa beribadah adalah sibuk melayani tuan atau majikan, maka mereka perlu melihat Nabi Yusuf bin Ya’qub yang menjadi budak pada dua orang (wazir Mesir dan istrinya, yakni Siti Zulaikha) dan tetap beribadah kepada Allah Swt.
Selama menjadi budak wazir Mesir dan istrinya, Nabi Yusuf difitnah secara keji serta dimasukkan penjara dengan tidak adil dan nabi Yusuf tidak meninggalkan sedikitpun ibadahnya kepada Allah. Nabi Yusuf bahkan lebih mencintai di dalam penjara jika di dalam penjara semakin mendekatkan dirinya kepada Allah.
Golongan ketiga dihujah oleh Allah bahwa jika yang menjadikan umat manusia tidak bisa beribadah kepada Allah adalah sakit, maka manusia harus melihat nabi Ayyub yang memiliki sakit parah dan tetap beribadah kepada Allah dalam keadaan sakit.
Sakit Nabi Ayyub termasuk kategori penyakit kulit yang sangat parah dan membuat siapapun yang melihatnya merasa jijik serta tidak mau mendekati Nabi Ayyub. Kondisi tersebut membuat nabi Ayyub dikucilkan oleh tetangga-tetangganya dari perkampungan. Enggan beribadahkah nabi Ayyub? Tidak sama sekali dan justru semakin rajin beribadah!
Golongan terakhir dihujah oleh Allah bahwa jika yang menjadikan mereka tidak bisa beribadah adalah kemiskinan, maka mereka perlu melihat nabi Isa yang tidak memiliki apapun dalam kesehariannya dan tetap beribadah kepada Allah Swt. Syekh Nawawi menjelaskan bahwa Nabi Isa tidak memiliki rumah, harta, serta istri & anak (Nabi Isa akan menikah ketika turun dari langit). Satu-satunya harta yang dimiliki nabi Isa adalah pakaian yang melekat di tubuh Nabi Isa. Tak heran jika nabi Isa termasuk salah satu dari lima Rasul yang mendapatkan gelar Ulul Azmi. Kemiskinan duniawi seharusnya tidak bisa dijadikan alasan untuk meninggalkan ibadah.
Empa hujah Allah di atas semoga menjadi bahan tafakur yang mampu mencongkel hati kita yang paling dalam agar tidak lalai dalam beribadah –sekali lagi ibadah tidak hanya salat, puasa dan ibadah mahdlah lainnya, tapi juga bekerja dan kegiatan baik lainnya– kepada Allah. Amin