Dalam semua sejarah peradaban, kemajuan ilmu pengetahuan selalu berbanding lurus dengan perhatian pada budaya baca-tulis. Kedigdayaan sebuah negara juga sangat erat kaitannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan bangsanya. Peradaban Islam telah mencapai puncaknya pada abad ke-9 M, yaitu pada masa khilafah Abdullah al-Ma’mun yang berpusat di Baghdad, Irak. Ia khalifah Abbasiyah ketujuh yang mengantarkan dunia Islam pada puncak pencapaian peradaban. Khalifah yang sangat cinta dengan ilmu pengetahuan itu berhasil mengeksplorasi keberadaan madrasah Nidzamiyah dan pusat bacaan “Bait Al-Hikmah” yang didirikan oleh ayahnya, Harun al-Rasyid.
Selama dua puluh tahun masa pemerintahannya (198-218 H/813-833 M), kegiatan penerjemahan karya ilmiah milik Yunani sangat intens dilakukan. Fernando Baez mengatakan, penerjemahan ini dimulai ketika al-Ma’mun bermimpi bertemu seorang sepuh dengan janggut rapi yang mengaku sebagai Aristoteles dan memintanya untuk menerjemahkan semua karya Aristoteles agar tak lekang zaman (Fernando baez, Penghancuran Buku Dari Masa ke Masa).
Tak berselang lama, al-Makmun lantas mengirim utusan ke Konstantinopel, menemui Raja Leo Armenia, untuk mendapatkan naskah ilmiah Yunani Kuno karya Plato dan Aristoteles untuk diterjemahkan oleh seorang ilmuwan Nasrani, Hunain bin Ishaq.
Al-Ma’mun dinilai berhasil menciptakan semangat budaya baca dan penelitian di kalangan umat Islam. Transmisi perpindahan peradaban keilmuan Yunani ke negeri Arab di usahakan al-Ma’mun melalui program penerjemahan beberapa karya ilmuwan Yunani. Setelah itu, para ulama muslim berusaha untuk memahami, mengomentari dan mensyarahi teori para filsuf Yunani, hingga mereka bisa menghasilkan teori baru yang berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Lantas mengapa umat Islam pada beberapa dekade terakhir mengalami krisis kemajuan dalam peradabannya?
Baez mencatat bahwa runtuhnya dominasi peradaban Islam dimulai dari hancurnya literasi umat Islam di beberapa medan pertempuran. Dalam perang salib di tahun 1108 M, pasukan Kristen menghancurkan pusat belajar di Damaskus dan memusnahkan lebih dari 3 juta buku.
Di tahun selanjutnya, pasukan Kristen yang berhasil memasuki Tripoli, kembali menghancurkan buku lebih dari 100.000 buah. Dan peradaban Islam Modern di Irak benar-benar runtuh setelah invasi bangsa Mongol yang dilakukan oleh Hulagu Khan, cucu Gengis Khan di tahun 1257 memakan korban 500.000 nyawa juga diikuti penghancuran ratusan ribu buku yang dibuang ke sungai Tigris.
Ketika Islam mulai mendirikan pemerintahan di tanah Andalusia, Islam sekali lagi berhasil membangun puncak peradaban dunia melalui tokoh ilmuwan besar dengan pengaruh kuatnya di dunia akademik. Ibnu Sina, al-Kindi, Ibnu Rusy, al-Khawarizmi dan sederet ilmuwan lain membawa kontribusi nyata bagi dunia sains dan teknologi.
Abdel Daim Kaheel, seorang ilmuwan Suriah mengungkap keterangan peneliti asal Jerman bahwa seribu tahun yang lalu, dunia Islam adalah negeri yang sangat maju, sementara Eropa masih hidup dalam keterbelakangan. Hal itu ditandai dengan munculnya beberapa penemuan penting dalam beberapa bidang disiplin ilmu. Beberapa kemajuan teknologi telah diterapkan dalam sendi kehidupan umat Islam. misalnya pada bidang kesehatan, umat Islam dalam menangani penyakit telah menggunakan pendekatan ilmiah, dengan memberikan obat dan melakukan praktek operasi bedah. Pada waktu yang sama, Eropa masih mengandalkan sihir dan perdukunan.
Titik balik kemunduran peradaban Islam terjadi bermula pada tragedi Andalusia. Pembantaian massal atas umat Islam yang dilakukan oleh Eropa di Andalusia di abad ke-15. Eropa ingin mencuri peradaban maju umat Islam dengan cara merampas dan menerjemahkan ulang karya ilmuwan muslim, lantas mengganti nama penulisnya dengan nama mereka. Eropa lantas mulai menciptakan budaya akademis di kalangan mereka dengan membaca dan mengkaji karya ilmuwan muslim.
Selang satu abad, yaitu abad 17 M mereka mulai memasuki masa pembenihan ilmu pengetahuan. Dan akhirnya Eropa benar-benar mencapai masa pencerahan/Aufklarung pada abad ke-18 M. Eropa seakan telah paham kunci bagaimana menghancurkan peradaban Islam. Pola mereka sama dengan apa yang telah dilakukan bangsa Mongol ketika menghancurkan Baghdad. Dengan pola yang sama, Eropa menghancurkan Cordova. Namun keduanya memiliki perbedaan. Eropa merampas semua literatur umat Islam, lantas mereka melakukan bacaan dan kajian secara intens atas literature tersebut. Inilah yang tidak dilakukan bangsa Mongol, dan inilah alasan mengapa Mongol tidak bisa mencapai kejayaan peradaban seperti yang telah dicapai Eropa.
***
Cuplikan sejarah umat Islam di atas saya kira telah cukup menggambarkan bagaimana hubungan antara buku dengan peradaban. Semua ulama sepakat bahwa Islam adalah agama peradaban. Islam bukan hanya seputar doktrin agama dan ritualnya. Akan tetapi secara makro, Islam datang dengan misi membangun sebuah peradaban luhur yang disokong oleh pilar-piar ketuhanan dan kemanusiaan.
Secara Epistemologi, wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad Saw telah menjelaskan bahwa Islam adalah agama peradaban. Kata Iqra’ (bacalah) telah banyak dibahas oleh banyak kalangan, mulai dari yang paling kanan sampai paling kiri, dari golongan fundamentalis sampai liberal, dari kaum tekstualis sampai kontekstualis. Tidak seperti tema atau isu keagamaan yang lain, semua golongan, aliran pemikiran, dan madzhab dalam Islam sepakat dalam satu kata tentang tema yang satu ini, Islam agama peradaban.
Bahkan dari kalangan orientalis Barat, yang mana mereka tidak mempunyai ikatan emosional dengan Islam, mereka mengkaji Islam hanya dengan perangkat keilmuan sosiologis murni. Misalnya Charles J. Adams, dalam kajiannya, ia berakhir dengan kesimpulan bahwa Islam adalah sebuah “peradaban dan arahan hidup” (a civilisation and an orientation to the world). Meskipun definisi itu terkesan fenomenologis karena terkesan definisi tersebut milik kaum muslim sendiri. Marshall G. S. Hodgson yang mengkaji peradaban Islam dengan pendekatan historis mengatakan bahwa secara doktrinal, Islam datang dengan semangat melahirkan sebuah tatanan baru di dunia di dalam semua aspek kehidupan, dengan jaminan dalam Al-Qur’an “kuntum khaira Ummah” (Engkau telah menjadi umat terbaik). Hodgson menganggap ini adalah sebuah ramalan (prophecy) untuk kaum muslimin dan mereka mencoba untuk mewujudkannya. Tentunya dalam usaha membangun tatanan dunia dengan peradaban yang Islami dengan semangat QS. Ali Imran: 110 (“kuntum khaira Ummah”) tidak akan lepas dari QS. Al-Alaq: 1 (Iqra’)
Fenomena teks (Al-Qur’an) merupakan aspek yang sangat krusial dalam peradaban Islam, sebab pertumbuhan dan perkembangan peradaban Islam tidak bisa lepas dari dinamika pemahaman umat Islam terhadap Al-Qur’an. Ia memuat pesan agama berbentuk untaian kata yang termanifestasikan di dalam sela teks al-Qur’an. Karena itu, Nasr Hamid Abu Zaid, dalam Mafhum al-nash: Dirasah fi ‘Ulum al-Quran, mengatakan bahwa Islam merupakan peradaban teks (hadarah al-nash) atau peradaban ta’wîl (hadharah al-ta’wîl), atau dalam istilah al-Jabiri dalam Binyah al-‘Aql al-‘Araby disebut sebagai hadharah al-fiqh dan hadharah al-bayan, dua istilah yang digunakan al-Jabiri untuk menunjukkan betapa pentingnya teks (nash) dalam peradaban Islam.
***
Masa kejayaan peradaban Islam dalam bingkai sejarah di atas menjadi pertanda bagi kita semua bahwa buku adalah sebuah simpul penting dalam proses membangun sebuah peradaban. Kata kunci Iqra’ di dalam Islam (yang bahkan tidak dimiliki oleh agama lain) menjadi doktrinasi filosofis yang harusnya bisa ditransmisikan oleh pemeluknya. Namun yang lebih penting dari itu adalah membangun Iklim akademis dan budaya baca bagi generasi muda penerus bangsa. Tentunya kita, hendaknya bisa menyerap pemikiran dan gagasan luhur dari para ulama kini dan dulu melalui karya dan tulisan mereka. Mungkin kita sekarang memang menjadi “konsumen pemikiran” para ulama. Namun bisa jadi besok kita bisa menjadi “produsen pemikiran”, sebagaimana mereka.
Kita juga bisa mengambil perangkat keilmuan modern dan nalar berpikir logis dari pada ilmuwan. Semua pemikiran dan gagasan tersebut lantas kita dialogkan dengan realitas sosial-kemasyarakatan di sekitar kita. Sehingga kita bisa mengamalkan Iqra’ tidak hanya pada teks, akan tetapi kita bisa melanjutkannya dengan Iqra’ pada kontaks, dengan membaca kondisi real masyarakat dan bangsa kita. Hingga kita bisa melakukan sebuah kontribusi nyata dan perubahan pada lingkungan kita. Hingga perlahan, kita bisa membangun sebuah peradaban Islami, seperti apa yang telah dicita-citakan agama kita.
Sebelum semua itu, hendaklah kita bisa mengubah persepsi kita terhadap buku, yang mungkin selama ini ia hanyalah sebagian dari hal yang membosankan. Namun kita harus melihat buku sebagai kunci peradaban, dan kita bisa membaca, menyelami dan memasuki dimensi ilmu pengetahuan yang ada di dalam buku, dengan password Iqra’.
Menengok atas fakta sejarah yang dipaparkan di atas, maka kita haruslah bisa menjadi seperti al-Ma’mun, yang telah mengupdrade dan memaksimalkan khazanah keilmuan yang ada di Baghdad dan Damaskus. Sehigga bisa melahirkan banyak ulama dan ilmuwan yang berhasil membuat teori baru yang berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Atau pun seperti Abdurrahman al-Dakhil yang bisa membangun menara ilmu Cordova sampai puncak tertinggi hingga bisa menyinari sisi gelap Eropa. Bukan malah menjadi seperti bangsa Mongol yang tidak bisa menemukan berlian yang tersembunyi di dalam buku. Hingga mereka memenangi banyak peperangan tanpa bisa membangun peradaban di negerinya. Atau pun bangsa Eropa yang dengan sengaja tega menghancurkan menara ilmu Cordova, lantas membawa lari cahaya keilmuannya ke belahan Eropa, meninggalkan Cordova dengan peradaban ilmunya yang mulai padam. Wallahu A’lam