Seseorang atau sesuatu yang kontroversial biasanya menarik untuk dikulik; dirinya sendiri atau sorotan-sorotan serta perbincangan-perbincangan mengenainya. Seseorang di antara banyak orang yang menarik itu; karena keteguhan ibadahnya, pergumulan hidupnya, kedalaman pikirnya, pengalaman mistiknya,pencapaian ruhaniahnya, keberanian sikapnya, hingga kontroversinya itu, adalah Syaikh Husain Mansur Alhallaj. Ia, sumber inspirasi bagi para pengamal sufisme.
Kisah hidup dan perjalanan rohaninya telah dipotret, direkam, dan dimaknai dalam beragam buku hingga naskah drama. Saya ingat pada paruh 90-an, nama Alhallaj menjadi tenar kembali hingga ke kalangan awam, ketika Sanggar Salahudin UGM bersama Teater Eska UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mementaskan naskah Tragedi Alhallaj karya penulis Mesir, Saleh Abd al-Sabur, di panggung teater Purna Budaya Yogyakarta.
Naskah drama yang sama, Ma’sat Al Hallaj (Tragedi Alhallaj) juga pernah ditampilkan di UEA pada tahun 2016, disutradarai oleh Omar Ghobash.
Begini sedikit cuplikan drama itu:
Hallaj: “Kenaikan bagi manusia-manusia sejati adalah berada di puncak tiang gantungan”. Orang-orang mulai riuh. Saat itu, Hallaj mengenakan cawat dan mantel. Ia menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan dan berdoa kepada Allah swt.
“Yang diketahui-Nya tak diketahui oleh siapa pun juga”. Hallaj lantas naik ke tiang gantungan.
Hallaj menjelang ajal: “Cinta kepada Yang Maha Esa adalah melebur ke dalam Yang Esa”.
Hallaj pun menyenandungkan ayat: “Orang-orang yang tidak memercayai-Nya ingin segera mendapatkan-Nya, tetapi orang-orang yang memercayai-Nya takut kepada-Nya, sedang mereka mengetahui kebenaran-Nya”.
Alhallaj, lengkapnya Abu Mughits al-Husain bin Mansur Alhallaj, merupakan tokoh yang disebut-sebut paling kontroversial di dalam sejarah mistisisme Islam. Ia lahir kira-kira pada tahun 866 Masehi di dekat kota al-Baiza, Provinsi Fars, Iran bagian Tenggara.
Penyair sufi, Fariduddin Attar mengisahkan dengan cerdas dan puitik kisah hidup Alhallaj dalam kitabnya, Tadzkiratul Aulia (2018: 314-24). Menurut Attar, Husain al-Mansur, yang kemudian dijuluki Alhallaj –berarti Pemangkas Buku Domba, terkenal bukan karena ia ajaib namun karena zuhudnya. Ia mampu membaca pikiran orang dan menjawab pertanyaan sebelum ditanyakan.
Buku-buku tentang Alhallaj
Sejumlah buku yang telah terbit dalam bahasa Indonesia mengenai Husain bin Mansur mayoritas menekankan kepada kisah kematiannya yang tragis itu: digantung dengan tali melingkari leher. Di antaranya, Tawasin: Kitab Kematian al-Hallaj, juga al-Hallaj: Sang Sufi Syahid, yang ditulis Louis Masignon (Penerbit: Fajar Pustaka Baru, cet-pertama 2000), dan Kematian al-Hallaj: Sebuah Kisah Dramatis karya Haid bin Alhallaj (Penerbit: Titah Surga, 2016).
Diwan al-Hallaj yang juga ditulis Louis Massignon dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (Penerbit: Putra Langit, 2001) sangat laris, berisi cuplikan-cuplikan puisi atau kasidah yang dihimpun para pengikutnya. Menurut Massignon, yang sangat getol dan telaten menyetubuhi Alhallaj, penemu diwan pertama kali adalah Al-Qusyairi di perpustakaan Sullami. Sedikit nukilannya seperti ini:
Aku orang yang mencinta dan Dia yang mencinta adalah Aku
Kami dua ruh yang melebur dalam satu tubuh
Bila kau memandangku, kau memandang-Nya
Bila kau memandang-Nya, kau memandang Kami.
(Diwan 57)
Buku lain, Al-hallaj: Kisah Perjuangan Total Menuju Tuhan menekankan pada pencapaian ruhaniahnya, juga buku Mengungkap Misteri Sufi Besar Mansur al-Hallaj: “Ana-l-Haaq” karya Syaikh Ibrahim Gasur Ilahi. Buku dalam bahasa Inggris berjudul I am the Truth (Anal-Haaq) diterjemahkan oleh Paul Smith (Penerbit: New Humanity Books), dari naskah Diwan Mansur al-Hallaj.
Buku yang Anda pegang ini, Tafsir Alhallaj, merupakan naskah terjemahan dari bahasa Arab berjudul Alhallaj: Haqoiqut Tafsir aw Kholqu Kholaaiqil Qur’an wat Ta’bir karangan Mahmud Hindi, yang mentahqiq tafsir Alhallaj atas ayat-ayat Alquran dengan beragam referensi, seperti Ibnu Arabi.
Alhallaj tidak menafsirkan seluruh ayat Alquran seperti lazimnya para mufassir. Ia memilih potongan-potongan ayat lantas ia tafsiri, pun tidak semua surat ia ambil. Dari 122 ayat Alquran, Alhallaj mengambil 97 Surat, dan dari 97 Surat ia menukil beberapa ayat dengan proporsi berbeda-beda.
Tidak ada penjelasan mengenai alasan pemilihan ayat-ayat tersebut, apakah semata-mata karena ketertarikan Alhallaj pada tema-tema tertentu atau karena memilih berdasakan kedalaman pengetahuannya pada tema-tema tersebut. Pada beberapa ayat, ia bahkan hanya menukil satu-dua kata agtau satu frasa untuk ia tafsiri, tidak utuh satu ayat. Mahmud Hindi sangatlah membantu dalam memahami tafsir Alhallaj. Tafsir atas tafsir, menarik.
Tafsir atas tafsir, ini asyik. Maka itu, alid.id sangat tertarik untuk menerbitkan buku yang sangat terbatas pasarnya ini, untuk lebih luas lagi mendesiminasikan pikiran-pikiran Alhallaj, perenungannya atas ayat-ayat Allah.
Ketika penerjemah buku Imam Nawawi “berkomplot” dengan penyunting Hasan Basri, memelototi isi naskah dengan antusias, alif.id pun turut antusias. Mengapa tidak? Maka, terbitlah buku ini.
Kami berharap, Tafsir Alhallaj ini mampu mengisi bagasi otak dan jiwa para pembaca agar makin penuh, syukur-syukur meluber, sehingga makin bermanfaat. Insyaallah.