Sedang Membaca
Peradaban tanpa Perantara
Avatar
Penulis Kolom

Pegiat Organisasi Gerakan Membangun Nurani Bangsa

Peradaban tanpa Perantara

Ketika menjelaskan proses kreatifnya di lembaga kebudayaan Rumah Dunia, Banten, penulis novel Perasaan Orang Banten (POB) menyatakan bahwa ia tak bisa melepaskan diri dari pemikiran Sigmund Freud mengenai konsep psikoanalisis. Maraknya pelecehan seksual di kampus-kampus yang bermodus “bimbingan skripsi”, termasuk kontes kecantikan waria yang bermodus “khataman Alquran”, mengingatkan kita pada konsep Freudian tentang fungsi tubuh yang setiap saat menuntut hak-hak atas pemenuhannya.

Dalam novel POB dinyatakan secara implisit, bahwa manusia dapat dikatakan manusia manakala ia masih berada dalam wujudnya yang faktual. Terkait dengan ini, Heidegger juga memakai istilah “facticity”, perihal wujud dan hakikat manusia yang mengada, di sini dan saat ini. Itulah keunikan dari karya sastra yang digagas Hafis Azhari. Nampak begitu jelas, lugas, dan apa adanya. Sehingga, pembaca akan mudah menarik benang merah untuk mencapai katarsis, bahkan sanggup mencirikan garis pembeda (al-furqan) antara yang benar dan salah, baik dan buruk, bahkan putih dan hitam.

Penulis POB seakan menggagas apa yang kemudian dialami oleh bangsa ini sebagai problem krusial, yakni resesi seksual (sex recession). Novel setebal 186 halaman yang diterbitkan Fikra Publishing (Jakarta, 2012) itu, telah menggarisbawahi, bahwa kehidupan seksual (cinta), nampaknya tak mungkin dipaksakan secara cepat dan efisien, meskipun evolusi kesadaran manusia semakin dipercepat dengan kehadiran radio, televisi, hingga gadget di era milenial ini.

Di abad-abad sesudah Masehi, kelahiran media cetak dalam bentuk lembaran, telah melejitkan bahasa dan sastra, bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi sekaligus meliputi ekspresi, mimik, hingga imajinasi. Pada era inilah kemampuan otak manusia menunjukkan powerful-nya, disusul dengan berbagai penemuan teknologi, industri, yang kemudian memekarkan suatu zaman yang disebut “modernisasi”.

Baca juga:  Lamine Yamal

Pemekaran zaman modernisasi meniscayakan lahirnya era digital saat ini. Segala obsesi manusia akan kecepatan dan percepatan, kepraktisan dan segala simplifikasi lainnya, memunculkan suatu kesadaran baru yang semakin mengubah pola pikir manusia mengenai hakikat ruang dan waktu. Lalu, bagaimana dan di mana posisi para sastrawan berikut karya-karya yang dilahirkannya? Bagaimana jika segala sesuatu dapat dipecahkan oleh era teknologi digital saat ini?

Fenomena ini perlu kita sadari bersama, betapa kesadaran baru yang memaksa dan mendesak ini, begitu merongrong peradaban literasi hingga mendorong para sastrawan agar meleburkan diri dalam kesunyian dari realitas yang menggaduhkan ini. Segala istilah baru dalam dunia politik, kesehatan, ekonomi, agama, rumah-tangga, hingga soal rusaknya lingkungan dan ekosistem, seakan memaksa kita agar cepat-cepat memahami dan menyadari, betapa fana dan nisbi kemampuan otak manusia yang sebesar batok kelapa ini. Hingga pada gilirannya, memaksa kita memasuki kesadaran baru, bahwa sehebat apapun manusia berpikir, hakikat ilmunya hanyalah setetes air di samudera yang luas.

Epidemi bahasa dan sastra turut menyertai fenomena ini. Angkatan muda (milenial) mesti bersikap hati-hati dan waspada, sehingga mampu membedakan mana yang real dan mana yang hiperrealitas. Dibutuhkan kewaspadaan karena yang hiperrealitas ini bisa melampaui kenyataan yang sebenarnya, seolah hanya simulasi, sia-sia, mubasir, pemborosan, hingga pada gilirannya akan merusak tatanan keseimbangan.

Baca juga:  Menyimak Salafi di Channel Youtube

Memori tubuh dan otak

Di sisi lain, kita coba setback ke beberapa dekade lalu, ketika orang Indonesia masih menulis dengan mesin ketik. Terjadi proses penyelarasan antara faktor motorik otak yang memerintah jari-jemari, hingga lambat laun menjadi kebiasaan dan tak lagi memerlukan perintah, juga tak lagi memikirkan fungsi jari lagi. Memori otak pada waktunya akan melekat sendiri dengan memori tubuh (muscle memory). Kemudian saat ini, memori artifisial dunia digital secara cepat dan efisien telah mengambil-alih fungsinya. Maka, segala sesuatu menjadi lebih simpel, praktis, dan lebih mudah (user friendly).

Opini-opini publik di harian Kompas ini, termasuk karya-karya sastra, jelas merupakan berita yang diolah sejak kemarin. Setelah melalui proses editing, naik cetak hingga proses distribusi ke penjuru tanah air. Tetapi, opini maupun karya sastra yang ditulis seorang Ahmadun, Eka Kurniawan, Chudori Sukra, Ayu Utami, Hafis Azhari, Djenar Maesa Ayu, Muakhor Zakaria, Irawaty Nusa,  dalam beberapa menit kemudian dengan cepat diseleksi dan diedit, serta langsung bisa dicaplok oleh media-media daring.

Lalu bagaimana ini? Adakah berita yang kemarin itu tidak basi, dan tetap relevan manakala media-media daring dengan cepat dan cekatan menyeleksi karya-karya terbaik anak bangsa, hanya dalam hitungan detik dan menit?

Pada hari Sumpah Pemuda beberapa tahun lalu (2019), perbincangan dan perdebatan tentang seluk-beluk bahasa Indonesia terjadi di mana-mana, baik di media daring maupun luring. Di seantero Banten, diskusi-diskusi bahasa dan sastra banyak mengulas fenomena novel Perasaan Orang Banten, ditinjau dari sisi kompetensi dan validitas bahasa dan literasi Indonesia. Padahal, jauh pada tahun-tahun sebelumnya, karya sastra itu sudah melanglang buana, berkali-kali dibahas dan diperdebatkan dalam acara-acara bedah buku, baik di lingkungan kampus, pesantren, hingga lembaga-lembaga sastra.

Baca juga:  Studi Islam Politik dalam Jebakan Dikotomi Kultural

Dalam beberapa kali pertemuan, pihak penyelenggara menghadirkan penulisnya, kemudian sang penulis membahas pula perihal kritik sastra, menyangkut peranan media cetak di tengah perkembangan dunia cyber. Baginya, karya sastra yang ditulisnya bergerak di wilayah imajinasi yang kemaslahatannya akan lebih mengangkasa ketimbang dunia sains dan teknologi. Kemudian, ditegaskan lagi dengan cermat, “Karya sastra yang baik, takkan lekang dimakan waktu dan zaman. Ia akan tetap hidup dalam kalbu dan sanubari pembacanya. Bahkan tidak menutup kemungkinan, yang dilahirkan kemarin justru lebih aktual dan bermakna ketimbang yang muncul hari ini dan esok. Apalagi jika dibandingkan kicauan mubasir dan sia-sia, yang banyak berkembang pesat akhir-akhir ini.”

Hal ini mengingatkan kita pada pernyataan bapak bangsa Soekarno, bahwa kita hendaknya berpikir tentang apa yang seharusnya kita sumbangkan untuk negeri ini, bukan apa yang telah negara berikan untuk kita. Begitupun dengan dunia sastra dan literasi, hendaknya kita senantiasa berpikir tentang apa yang sudah kita tulis untuk kemajuan peradaban bangsa ini. Bukan malah sibuk mempersoalkan seberapa besar royalti yang kita peroleh dari tulisan yang telah dikirim untuk media massa, baik luring dan daring.  (*)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top