Di kalender, 5 dan 6 Juni 2019 diwarnai merah menandakan liburan bernama Lebaran. Orang-orang berkumpul, bersalaman, bercakap, dan makan bersama.
Pada hari suci, mereka saling mengucapkan dan memberi maaf. Lebaran menjadi hari keikhlasan. Di situ, kita memiliki album ingatan, sejarah, dan imajinasi. Lebaran di setiap masa memiliki pengisahan-pengisahan bermakna meski sekian hal terlupa.
Pada 2019, kita mengalami Lebaran di hari kedua berbarengan tanggal bersejarah atau tanggal mengingatkan kelahiran tokoh besar Soekarno. Pada 6 Juni 1901, Soekarno dilahirkan untuk menempuhi episode-episode mendebarkan dan menentukan Indonesia.
Pada saat berlebaran kita berhak mengingat pula ke Soekarno, melakukan peziarahan ingatan ketokohan melalui buku-buku.
Pada saat orang-orang memilih menonton televisi, pelesiran, atau tidur akibat kecapekan, kita memberi makna Lebaran dengan membuka sekian buku mengenai Soekarno. Peembaca buku di hari suci mungkin sampai ke adonan religiositas dan kebangsaan.
Di Solo, sekian buku Soekarno itu berjumlah ratusan, ditumpuk rapi di pelataran toko buku terkenal. Sekian judul buku terbitan dari Penerbit Buku Kompas ada di pameran atau obralan buku murah. Acara itu berlangsung sejak awal Ramadan.
Pada hari-hari menjelang dan saat Lebaran, penulis membeli 4 buku bertema dan bertokoh Soekarno. Peristiwa belanja buku dimaksudkan tindakan keaksaraan-religius dalam mengartikan Ramadan dan Lebaran.
Duit tak dibelanjakan pakaian baru atau digunakan untuk pelesiran. Sekian ribu rupiah digunakan untuk membeli buku, terbaca di “hari kemenangan”.
Pilihan menjadi pembaca buku mungkin “kesalahan” di mata orang-orang ingin membuat acara-acara kebersamaan di pelbagai tempat. Pembaca itu memilih “reuni” ke sejarah dan menziarahi Soekarno tanpa tabur bunga.
Buku besar dan tebal berjudul Soekarno: Membongkar Sisi-Sisi Putra Sang Fajar (2013) dengan editor Daniel Dhakidae. Kita mengutip masalah Soekarno dan Islam mumpung di pengalaman Lebaran.
Daniel Dhakidae menjelaskan biografi keintelektualan Soekarno, “Kegiatan kecendekiaan pertama adalah studi Islam. Dengan berguru kepada Haji Oemar Said Tjokroaminoto, Soekarno mengenal Islam lebih jauh dan hal-hal lain terkait dengan memfokuskan diri pada Islam dan mengambil jarak serta meletakkan Islam sebagai bahan studi.”
Pada usia belasan tahun, Soekarno mengerti ada gerak perubahan di tanah jajahan. Perubahan itu ditandai dengan pembentukan Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij, dan Muhammadiyah. Soekarno ingin mengerti Islam dan Tanah Air di zaman bergerak, zaman memungkinkan ide-ide emansipatif diejawantahkan di hadapan kolonialisme.
Buku demi buku dibaca dan percakapan demi percakapan diselenggarakan untuk studi Islam. Penguatan terjadi di masa 1930-an saat Soekarno mengalami pengasingan ke Ende (Flores).
Keseriusan belajar Islam sampai ke pemahaman mendasar dengan benih-benih perumusan Pancasila kelak disampaikan di Jakarta, 1 Juni 1945. Buku tebal itu mengingatkan kita episode Soekarno mendalami Islam dan mengartikulasikan dalam gagasan kebangsaan. Buku cuma dihargai 15 ribu rupiah. Harga murah bagi peziarah huruf-huruf.
Kita mengingat episode Soekarno saat kuliah dan mengalami hidup di Bandung. Kita membuka ingatan dengan buku berjudul Jejak Soekarno di Bandung, 1921-1934 (2015) garapan Her Suganda. Buku dikerjakan dengan narasi sejarah dan bercitarasa jurnalistik. Kita membaca dan mengerti Soekarno di usia muda dan Indonesia berguncang gara-gara pemerintah kolonial menekan organisasi pergerakan dan partai politik bermisi merdeka.
Soekarno bergaul dengan kalangan intelektual, politik, agama, dan arsitek. Keinginan menekuni gagasan kebangsaan semakin menguat. Di Bandung, Soekarno bertemu dan berkenalan dengan tokoh Persatuan Islam bernama A Hasan.
Her Suganda mencatat pertemuan Soekarno dan Hasan terjadi di percetakan bernama Drukkerij Economy, tempat Soekarno mencetak majalah Fikiran Ra’jat dan tempat pilihan Hasan mencetak buku-buku agama. Kelak, selama di Ende, Soekarno berkorespondensi dan minta rekomendasi buku-buku Islam dari Hasan. Di pelataran toko buku terkenal di Solo, buku memikat itu diberi harga cuma 10 ribu rupiah.
Penulis berlanjut membuka dan membaca buku berjudul Soekarno di Bawah Bendera Jepang, 1942-1945 (2015) garapan Peter Kasenda. Buku agak tebal dengan harga obralan 15 ribu rupiah. Kita berhak membaca serius dan teliti meski buku itu murah. Peristiwa terpenting di episode itu adalah 1 Juni 1945. Peter Kasenda mengutip dari pidato Soekarno.
Kita membaca petikan itu mengaitkan kebangsaan dan agama. Soekarno berkata: “Boekan sadja bangsa Indonesia jang ber-Toehan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknja ber-Toehan, Toehan-nja sendiri. Jang Kristen menjembah Toehan menoeroet petoendjoek Isa Al Masih, jang Moeslim menoeroet petoendjoek Nabi Moehammad SAW, orang Boeddha mendjalankan ibadatnja menoeroet kitab jang ada padanja.
Tetapi marilah kita semoea ber-Toehan. Hendaknja negara Indonesia ialah negara jang tiap-tiap orangnja menjembah Toehan-nja dengan tjara jang leloeasa, tiada egoism agama.” Kita mengisafi bahwa usaha merumuskan dasar negara disokong saling menghormati perbedaan agama untuk kemuliaan Indonesia.
Kita sampai ke buku keempat berjudul Soekarno: Arsitek Bangsa (2012) susunan Bob Hering. Semula, buku terbit dalam edisi bahasa Belanda dan Inggris (2001) untuk peringatan seratus tahun Soekarno.
Buku diterjemahkan ke bahasa Indonesia bermaksud memberi suguhan ke pembaca mengenai tokoh dan sejarah Indonesia meski terpaut waktu agak lama. Di situ, kita membaca lagi gagasan kebangsaan dan ketekunan belajar Islam.
Soekarno diceritakan mengalami pembuangan di Ende dan Bengkulu masa 1930-an. Bob Hering menerangkan: “Masa pembuangannya selama delapan tahun dihabiskan oleh Soekarno dengan membaca dan belajar, terutama mengenai ajaran Islam, dan ia pun menyumbangkan artikel untuk beberapa harian Indonesia.”
Buku mengenai tokoh dilengkapi seratus foto itu cuma dicantumi harga 10 ribu rupiah. Kita bergirang dalam mengenang tokoh dan terharu atas segala pilihan dalam berikhtiar menjadi Islam dan nasionalis.
Buku itu murah tapi mujarab bagi pembaca ingin mengartikan Lebaran dan membuat peringatan sederhana untuk ulang tahun Soekarno. Kita mengakui Soekarno itu manusia-buku. Kita meneladani dengan mengalami hari suci-religius dengan membaca buku-buku mengenai Soekarno. Begitu. (atk)