Satu masa di Turki sana, ada seorang saudagar yang terkenal pinter dalam berbisnis. Ia mampu menekan modal atau pengeluaran dengan ketat. “Efisiensi,” bahasa Sundanya, orang Minang juga punya istilah itu, begitu juga orang Madura, Makassar, dan tentu saja orang Inggris lebih paham istilah ini. Karena itulah, saudagar ini cepat kaya.
Suatu hari, saudagar ini datang ke seorang syekh, ulama, sufi, cerdik, dikenal sang khalifah dan rakyat biasa karena humoris, siapa lagi kalau bukan Nasruddin Hoja.
“Ya Syekh, pinjem keledaimu sebentar. Mau anter gandum ke pasar..”
“Maaf, wahai tetanggaku. Keledaiku sedang dipinjam juga.” (Baca: Nasruddin Hoja Ajari Orang Kaya Bahagia)
“Oke Syekh.. Tidak masalah. Saya akan menunggu. Kalau keledaimu sudah datang, saya kembali lagi..”
Pas tetangga Nasruddin ini balik badan, pamitan, keledai Nasruddin meringkik kencang. Sang tetangga yang saudagar kaya mendengarnya dengan jelas. Lalu dia balik lagi. (Baca: Nasruddin Hoja dan Seekor Kucing)
“Loh Syekh, keledaimu meringkik, ada di belakang. Kenapa engkau bilang sedang dipinjam?”
“Hai tetanggaku, Kau percaya aku atau keledaiku?”
Moral cerita: Nasruddin memberi pelajaran kepada saudagar yang clamitan (suka minta-minta, tidak mau berusaha, tidak mau modal) itu. Tapi di sisi lain, Nasruddin juga menunjukkan kepada kita bahwa siapapun, termasuk ulama, bisa berbohong. “Jangan mudah percaya sama orang yang sering mengaku ulama,” mungkin begitu nasehat verbal Nasruddin. Ini kisah atau humor Nasruddin yang sempurna: menjadikan dirinya sebagai objek. (Baca: Membaca Nasruddin Hoja: Tokoh Muslim Paling Lucu)