Sedang Membaca
Sejarah Makna Kitab Gandul dalam Tradisi Pesantren
Nur Ahmad
Penulis Kolom

Alumus Master’s Vrije Universiteit Amsterdam dan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo, Semarang.

Sejarah Makna Kitab Gandul dalam Tradisi Pesantren

Kajian mengenai aksara Pegon belum banyak dilakukan. Sejauh penulis tahu hanya ada dua karya serius mengenainya. Pertama adalah tesis tentang peran aksara pegon karya Sahal Mahfudh berjudul Arab Pegon: Khashaishuha wa Ishamatuha fi Tathwir Ta’lim al-Lughah al-‘Arabiyyah bi Indonesia.

Kedua, adalah sebuah disertasi dari Leiden yang membahas manuskrip-manuskrip pesantren yang tentunya ditulis dalam aksara Pegon berjudul Islamic manuscript culture in the Pondok Pesantren of East Java in the nineteenth and twentieth centuries. Menurut penulis, masih sangat luas kajian yang bisa dilakukan mengenai pegon.

Ambil sebagai contoh kajian mengenai biografi Pegon. Penulis sendiri telah menuliskan satu rencana studi doktoral untuk hal ini, meski tampaknya belum bisa dilakukan. Di dalamnya penulis membayangkan kajian yang total mengenai Pegon. Misalnya, awal sejarah munculnya. Hubungannya dengan aksara-aksara yang sebelumnya, seperti aksara Jawa.

Tema lain yang penting adalah kandungan dari manuskrip-manuskrip aksara Pegon yang ditandai dengan sifat spiritual. Terakhir adalah analisis mengenai posisi aksara Pegon di beberapa kerajaan Islam di Nusantara, seperti di Kerajaan Banten, Kerajaan Sumenep, Kerajaan Cirebon, dan Kerajaan Demak. Luas sekali memang, namun layak direncanakan mulai dari sekarang.

Kajian kecil yang ingin penulis bahas di sini adalah mengenai perkembangan Pegon sebagai pemberi terjemahan antar baris (makna gandul) pada teks Arab. Sebelum itu, penulis ingin menyegarkan kembali tentang apa itu Pegon.

Pegon adalah sistem penulisan yang menggunakan aksara Arab yang dimodifikasi dalam bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bali. Ia berasal dari kata dalam bahasa Jawa kuno: “Pego”. Dalam Kamus Jawa Kuno karya Zoetmulder (dan Robson 2006), Pego diartikan dengan “(mengucapkan) dengan kesukaran?”. Makna inilah yang seringkali dipercaya sebagai makna tunggal dari asal-usul “Pegon”.

Dari situlah, Pegon dinarasikan sebagai aksara “asing” bagi orang Jawa. Padahal ada pemaknaan lain yang diberikan oleh C.F. Winter (1994), murid dari pujangga santri R.Ng. Ranggawarsita, bahwa Pego berarti “kukus, sumpeg, peteng”, yaitu sempit, gelap dan tidak longgar.

Makna dari Ranggawarsita inilah yang penulis duga berkaitan erat dengan peran awal aksara Pegon untuk memberikan terjemahan antar baris (makna-gandhul) pada kitab-kitab berbahasa Arab. Pada kitab-kitab ini kita akan menemukan bahwa aksara Pegon akan berdesak-desakan dengan aksara Arab sehingga menjadikan lembaran manuskrip-manuskrip itu seperti penuh sesak dan gelap.

Baca juga:  Kisah-Kisah Wali (5): Kiai As’ad Menjual Kiai Achmad Siddiq

Kemali ke tujuan tulisan. Pembahasan singkat ini didasarkan pada tiga manuskrip dari periode waktu yang berbeda. Hal ini untuk memberikan gambaran tentang tahapan perkembangan yang terjadi di rentang waktu dimaksud.

Pertama adalah manuskrip berkode “Sloane 2645” bertarikh 1623 M yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Britania Raya, yang sejauh ini termasuk dari salah satu manuskrip Pegon tertua yang dapat diisentifikasi. Sebuah manuskrip lainnya yang berisi teks kitab fikih terkenal di pesantren, Taqrib fil Fiqh karya abu syuja, lebih tua dari manuskrip ini.

Naskah Abu Syuja tersebut dibawa ke Amsterdam pada 1610, dan sudah pasti dia ditulis sebelum itu (Drewes 1969, 2). Namun penulis belum memiliki kesempatan untuk melihat manuskrip dimaksud.

Kedua adalah manuskrip-manuskrip kitab dari Perpustakaan Raden Umra, Pondok Pesantren Sumber Anyar, Desa Larangan Tokol, Kecamatan Tlanakan, Kabupaten Pamekasan yang diperkirakan berasal dari abad ke-18 hingga awal abad ke-19.

Ketiga adalah manuskrip kitab gramatikal bahasa Arab tulisan K.H. Muhammad Muqri bin Kafrawi di Pesantren Al-Manshur Popongan yang berasal dari abad ke-20.

Pada masa awal perkembangannya, aksara Pegon berfungsi sebagai alat bantu penerjemahan teks Arab. Dalam menjalankan fungsi ini, terjemahan dalam aksara Pegon itu ditulisan pada bagian bawah tiap kata yang diterjemahkan. Jadi ia berlaku sebagai terjemah kata per kata.

Satu hal yang menandai peran ini di masa awal adalah ketidak-ajegan penempatan kata petunjuk kedudukan gramatikal bagi tiap kata yang diterjemahkan. Pada masa selanjutnya kita akan melihat bahwa petunjuk kata ini selalu muncul, bahkan berkembang secara bertahap hingga muncul rumus-rumus.

Baca juga:  Menelusuri Penyusun Kitab Tahliyah: Ironi Pesantren
Gambar 1 (Dok. Penulis)

Manuskrip “Sloane 2645” yang berisi kitab fikih berjudul Masailut Ta’lim menunjukkan hal ini (lihat gambar 1). Pada gambar yang memuat folium 5v dari manuskrip ini terlihat bahwa kata al-hamdu langsung diterjemahkan dengan sekeheng puji, “segala puji”. Dalam kaidah bahasa Arab, kata ini menempati posisi sebagai mubtada’ yang dalam pemaknaan bahasa Jawa di pesantren-pesantren sekarang akan ditambahkan rumus huruf “mim” yang dibaca “utawi” sebagai penandanya.

Contoh lain adalah kata ta’alluma yang menempati kedudukan sebagai maf’ul juga diterjemahkan dengan angaweruhi, “mencari pengetahuan”, langsung tanpa memberikan penanda posisinya. Di masa kini kata ini akan ditandai dengan rumus gabungan huruf “mim” dan “fa’” sebagai singkatan dari maf’ul dan dibaca “ing”.

Namun dalam beberapa kondisi yang sangat terbatas, petunjuk gramatikal ini muncul. Misalnya pada kata al-ma’al yang ditandai dengan kata “ing” sebagai “maf’ul”. Beberapa kata “ing” juga muncul dalam halaman ini namun bukan berfungsi sebagai penanda gramatikal bahasa Arab, alih-alih sebagai pelengkap terjemahan semata. Hal ini terjadi seperti pada kata “syara’i” dan “al-halal”.

Dalam pemaknaan masa kini ketiganya akan disebutkan dengan “ angaweruhi syariat islam” dan “angaweruhi halal” tanpa ada kata “ing” sebelum keduanya karena memang bukan sebagai “maf’ul”.

Pada abad ke-18 hingga abad ke-19, dikembangkan kata-kata penanda gramatikal yang lebih kompleks dibanding masa sebelumnya, serta lebih konsisten dalam penggunaan kata-kata tersebut. Dalam sebuah manuskrip dari Madura yang berisi teks kitab ilmu perubahan kata dalam bahasa Arab (tashrif) ditemukan kata-kata penanda gramatikal seperti “utawi”, “iku”, “ing”, “kang”, dan “ing dalem” (lihat gambar 2 atau paling atas).

Kata-kata penanda gramatikal ini menjadi memiliki fungsi khusus, seperti sebagai penanda mubtada’, khabar, maf’ul, sifat dan na’at, serta dzaraf. Namun belum ditemukan rumus kecuali bagi rujukan kata ganti bagi Nabi Muhammad. Hal ini bisa dilihat pada gambar: pada kata Muhammad dibawahnya ditandai dengan huruf mim. Huruf ini berfungsi sebagai rujukan untuk menerjemahkan kata ganti pada kata “alihi” yang dimaknai gandul “lan kalangwargane ai mim” maksudnya “dan keluarga Nabi Muhammad”.

Baca juga:  Seks di Lingkungan NU

Pada abad ke-20 perkembangan baru terjadi pada model “pemaknaan gandul” dengan Pegon. Sebagaimana dapat dilihat pada manuskrip tulisan tangan Kiai Muhammad Muqri yang merupakan menantu dari Kiai Manshur Popongan yang berisi kitab gramatikal Arab (lihat gambar 3).

Gambar 3 (Dok. Penulis)

Pada masa ini mulai diperkenalkan paling tidak dua rumus sebagai simbol yang menjadi penanda gramatikal bahasa Arab. Huruf mim untuk penanda mubdata yang dibaca “utawi”. Rumus lainnya adalah huruf “kha” yang menandai posisi khabar yang dibaca “iku”.

Sementara, penanda gramatikal lainnya masih disebutkan dengan kata-kata dan belum diwakili oleh rumus tertentu. Seperti dalam gambar, kata “kang” sebagai penanda sifat masih disebutkan, tanpa diwakili oleh rumus huruf “shad”.

Dengan meninjau secara sekilas pada manuskrip-manuskrip pesantren yang berasal dari berbagai masa, maka kita bisa menyimpulkan bahwa model pemaknaan yang masih hidup hari ini telah mengalami perkembangan yang panjang dan bersifat evolutif. Dimulai dari awal abad ke-17 dimana pemaknaan antarbaris dilakukan secara langsung dan hampir tanpa perhatian kepada kedudukan gramatika bahasa Arab.

Pada abad ke-18 hingga akhir abad ke-19 perkembangan yang muncul adalah penetapan kata-kata tertentu sebagai penanda gramatika bahasa Arab, seperti “utawi”, “iku”, “kang”, dan “ing dalem”.

Di masa awal abad ke-20, mulai muncul huruf sebagai pengganti kata-kata tersebut. Secara oral pembacaannya masih menggunakan kata-kata “utawi” dan “iku”, namun keduanya secara visual di kitab diwakili secara beruntun dengan huruf “mim” dan “kha’.

Perkembangan di masa setelahnya dapat kita saksikan hari ini di pesantren. rumus-rumus kompleks telah dikembangkan untuk mewakili hampir semua kedudukan gramatika suatu kata dalam bahasa Arab. Betapa luas sejarah Pegon yang belum disentuh, bukan?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
5
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top