Secara historis, Kabupaten Sanggau dahulunya merupakan bekas wilayah kekuasaan Kesultanan Islam Sanggau yang didirikan oleh Sultan Abdurrahman pada abad ke-13 M. Menurut Pangeran Ratu Gusti Arman, Sultan Keraton Sanggau sekarang, sultan pertama Sanggau adalah keturunan campuran Dayak-Melayu.
Hal ini menjadi cerminan cikal bakal masyarakat Sanggau yang pada mulanya lebih didominasi Suku Melayu dan Suku Dayak. Suku Melayu umumnya menetap di pinggir aliran sungai Kapuas dan sungai Sekayam, sedangkan Suku Dayak menempati wilayah pedalaman.
Bekas peninggalan Kesultanan Sanggau dapat dilihat dari bangunan Keraton Surya Negara yang terletak di pinggir Sungai Kapuas Hulu dan Keraton Tayan yang terletak di pinggir Sungai Tayan Hilir, lebih dekat ke arah kota Pontianak. Kedua keraton ini sebetulnya pecahan dari Kesultanan Sanggau akibat politik belah bambu Pemerintah Hindia Belanda, setelah wafatnya Sultan Ayyub.
Keraton Surya Negara dipimpin oleh keturunan anak laki-lakinya Sultan Ayyub sedangkan Keraton Tayan Hilir dipimpin oleh keturunan anak perempuannya Sultan Ayyub.
Kedua keraton bekas kesultanan Islam Sanggau ini masih berdiri kokoh hingga sekarang, setelah dilakukan renovasi akibat konstruksi kayu intannya yang sudah lapuk dimakan usia. Di samping bangunan keraton, peninggalan kesultanan Islam Sanggau juga dapat dilihat dari bangunan Mesjid Sultan Ayyub yang masih berdiri kokoh di sebelah Timur, kurang lebih 100 m, dari Keraton Surya Negara, dan berhadapan langsung dengan muara Sungai Kapuas.
Mesjid dengan warna dominan hijau-kuning ini sudah dua kali dipugar tanpa merubah bentuk aslinya pada tahun 70-an dan 2010.
Di dalam mesjid masih terdapat peninggalan warisan Islam berupa satu buah mimbar bertangga dari bahan kayu bermotif ukiran fauna yang masing-masing sudutnya terikat bendera berwarna hijau dan kuning. Selain itu juga terdapat ukiran kaligrafi Islam bermotif ombak dengan tulisan “Allahu Wahdah la syarikalah, Muhammad rasulullah fainnaka manshur manshur” dengan khat naskhi yang dipampang di atas mihrab.
Penamaan Mesjid Sultan Ayyub ini menjadi simbol bahwa sultan Sanggau berperan sekaligus sebagai ulama. Di antara mereka ada yang mewariskan mushaf Alquran tulisan tangan dan naskah-naskah keislaman lainnya.
Sayangnya pada saat pemugaran bangunan keraton naskah-naskah itu berpindah tangan ke orang lain, dan menyisakan beberapa naskah yang masih tersimpan dalam ruang pusaka.
Keberadaan barang peninggalan sejarah kesultanan Islam Sanggau mengisyaratkan bahwa agama Islam sudah terlebih dahulu berkembang sebelum agama Kristen dan Katholik. Hanya saja sebaran Islam terbatas di kawasan pesisir Sungai Kapuas dan tidak menyentuh pada wilayah pedalaman, walaupun beberapa sumber menyebut adanya pengaruh Islam di daerah pedalaman sebelum masuknya Misionaris Kristen. Sumber itu di antaranya berupa jimat menyerupai wapak yang tertempel di atas pintu rumah tradisional milik sesepuh Dayak.
Di samping itu berkembang pula cerita rakyat tentang Datuk Sanggul, yang menyebarkan Islam di perkampungan Dayak. Datu Sanggul nama lainnya Syekh Abd al-Shamad merupakan salah satu murid Datu Suban yang tinggal di Pantai Jati Munggu Karikil. Oleh masyarakat Kalimantan, dia dianggap wali dan menjadi satu-satunya murid yang dipercaya menyimpan kitab Barencong. Ia juga merupakan salah satu guru dari Datu Kalampayan (Syekh Arsyad al-Banjari).
Walaupun Islam sudah dipeluk masyarakat Kabupaten Sanggau dari sejak abad XIII tetapi tidak ada warisan pendidikan Islam khas Sanggau. Besar kemungkinan pendidikan Islam hanya dienyam oleh para bangsawan keraton secara privat sebab sultan-sultan Sanggau bergelar ulama sesudah mereka bisa melanjutkan pendidikan agama di Mekkah.
Kemungkinan lain pendidikan agama yang dikembangkan di Sanggau pada mulanya berbentuk zawiyah atau khalaqah-khalaqah sufi tarikat Samaniyyah yang diselenggarakan di mesjid dan Surau. Secara spiritualitas tokoh agama memiliki penguasaan tinggi tapi dari segi penguasaan ilmu-ilmu agama tidak terpenuhi secara sistematis.
Kebanyakan mereka dari generasi tua yang belajar agama secara turunan bukan melalui lembaga pendidikan Islam, sehingga dari segi bacaan Alquran dan penguasaan ilmu-ilmu keislaman masih rendah. Sebagai contoh seorang imam mesjid membaca ayat “ghairil maghzhubi ‘alaihim” dengan bacaan “rairil marzdubi ‘alaihim” dan saat Tahlilan seharusnya membaca tarqiq (tipis) lafal “Bihillah, Yaghfiru limayyasya” tetapi dibaca tafkhim (tebal) mejadi “Bihilloh”.
Pandangan keagamaan mereka juga masih kolot, seperti pandangan imam harus dari orang tua; zakat, infaq, sedekah hanya diperuntukkan pengurus mesjid; perwalian anak angkat oleh orang tua angkat seolah menjadi anak kandung; dan wakaf kuburan hanya untuk pemakaman orang-orang yang dikenal muslim dan taat beragama.
Seperti dituturkan oleh salah seorang pengurus Mesjid Al-Muhajirin Entikong, M. Shodiq Nur Fath, pernah terjadi satu kasus meninggalnya seorang TKI karena mengidap masalah kejiwaan, –yang belakangan diketahui bernama Sonhaji asal Magelang yang ditolak Pengelola kuburan wakaf Entikong karena alasan tidak jelas asal usulnya. Mayatnya sempat dibawa ke Kantor polisi dan hendak dibakar oleh warga karena sudah didiamkan 2 hari. Gara-gara ketidakjelasan identitas mayat Sonhaji dikubur di tepi sungi Entikong.
Keberadaan tokoh agama yang umumnya berpandangan kolot ini di sisi lain cukup efektif “menghalau” laju pergerakan gerakan Islam transnasionalis dan gerakan puritanisme Islam, seperti Salafi-Wahabi di kawasan perbatasan. Semenjak tahun 2010 telah muncul kelompok Islam yang suka membid’ahkan dan menyesatkan kelompok Islam lain di Entikong tetapi dengan sendirinya tertolak oleh masyarakat karena pengaruh kelompok Orang Tua itu.
Perkembangan Pesantren dan Diniyah di Perbatasan Sanggau
Pengenalan model pendidikan pesantren dan Madrasah Diniyah di Sanggau relatif baru seiring dengan migrasinya orang-orang Jawa, Madura dan Sambas ke daerah yang dikelilingi Sungai dan anak sungai Kapuas ini. Tepatnya setelah Sanggau memiliki jalan yang terhubung dengan perbatasan Malaysia pada tahun 70-an yang mendorong orang-orang dari luar Sanggau berhijrah untuk mengadu nasib ke wilayah perbatasan ini. Orang Jawa, Madura, dan Sambas inilah yang mengenalkan pesantren dan Madarasah Diniyah kepada masyarakat Sanggau.
Hanya saja perkembangan pesantren dan Madrasah Diniyah di Kabupaten Sanggau sangat lamban. Sampai sekarang baru ada delapan pesantren yang sudah berdiri, masing-masing:
(a) Dua pesantren di Kecamatan Kapuas;
(b) Dua pesantren di Kecamatan Meliau;
(c) Satu pesantren Kecamatan Parindu;
(d) Dua pesantren di Kecamatan Sekayam; dan
(e) Satu pesantren di Kecamatan Sanggau.
Dari delapan pesantren itu hanya 4 (empat) pesantren yang menyelanggarakan pendidikan formal, yaitu Nurul Maarif, Al-Mu’alimin, Al-Mizan, dan Miftahul Hidayah.
Sementara Madrasah Diniyah di seluruh Kabupaten Sanggau baru ada 13 lembaga dan yang aktif hanya 10 Madarasah Diniyah. Adapun Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) jumlahnya 93 (Sembilan puluh tiga) lembaga yang berdiri di Mesjid, Surau, dan rumahan.
Khusus di daerah yang ditetapkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yakni Jalur Entikong-Sekayam baru berdiri dua pesantren yakni Al-Mizan dan Miftahul Hidayah. Pesantren Al-Mizan didirikan pada tahun 1989 di atas lahan milik perusahaan kontraktor asal Jambi yang diwakafkan untuk kegiatan keislaman dan baru ditempati pada 1982.
Pada mulanya Pesantren Al-Mizan dikelola secara kolektif melibatkan tokoh masyarakat dari berbagai suku terutama Melayu, Jawa, dan Madura. Di antaranya ialah H. Thalib, salah seorang keturunan Kerajaan Sanggau dan menjadi pengurus KADIN. Peran mereka lebih banyak sebagai Pembina dan pengelola, sementara tenaga pendidik/ustadz didatangkan dari luar daerah terutama dari Pulau Jawa.
Di masa merintis pesantren kendala yang dihadapi ialah tenaga pendidik. Para ustadz yang telah ditugasi membina santri Al-Mizan tidak bisa bertahan lama terutama karena alasan tidak dapat beradaptasi dan minimnya kesejahteraan. Ada sebagian ustadz di Pesantren Al-Mizan yang kembali ke kampung halamannya dan ada pula yang memilih berganti profesi sebagai pekerja atau pedagang karena tuntutan ekonomi yang tinggi.
Pesantren Al-Mizan dapat mempertahankan eksistensinya setelah ada suntikan tenaga baru dari pejabat Kemenag di antaranya H. Taufiq (mantan Kepala Kantor Kemenag Sanggau) dan H. Nasri (2006-2011) saat itu bertugas sebagai Kepala KUA Entikong. Mereka selain menjadi anggota pengelola pesantren juga menjadi kiai pesantren Al-Mizan. Terutama di masa H. Nasri yang juga alumni Pesantren Bangil ini jumlah santri tetap Al-Mizan mencapai 500 orang dari tingkat Ibtidaiyah sampai Aliyah.
Namun setelah ia meninggalkan Entikong dan dipindahtugaskan ke KUA Kapuas pesantren Al-Mizan seperti ditinggal induknya. Jumlah santrinya menurun drastis pada saat bersamaan dengan perubahan tatakelola pesantren dari model kolektif menjadi individual. Sekarang Pesantren Al-Mizan dipimpin oleh Ustadz Athaillah.
Jika Pesantren Al-Mizan sedang memudar pamornya maka kondisi sebaliknya terjadi pada Pesantren Miftahul Hidayah yang sama-sama berdiri di Bale Karangan Sekayam. Pesantren yang berdiri dekat dengan MTs N Sekayam ini mengalami kemajuan dengan jumlah santri yang terus meningkat dan membuka pendidikan formal SMP Miftahul Hidayah. Jumlah santri Miftahul Hidayah sekarang sudah bertambah menjadi 300 orang. Guru dan ustaznya merupakan orang-orang yang didatangkan dari Jawa dan Madura sementara kepemimpinan pesantren diperankan secara kolektif oleh beberapa tokoh local setempat.
Berdirinya pesantren di tengah komunitas muslim yang hanya sedikit jumlahnya di Kabupaten Sanggau, dan jauh dari umat Katholik maupun Kristen, kiranya memiliki potensi besar untuk dikembangkan apabila bercermin dengan keberadaan Pesantren Al-Mizan dan Miftahul Hidayah di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia.
Peluang dan Tantangan Pesantren Lintas Batas
Secara umum di Kabupaten Sanggau belum ada pesantren yang diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lintas batas antar negara, Indonesia-Serawak Malaysia-Brunai Darussalam.
Sejauh ini Pesantren Lintas Batas masih pada tahap wacana yang pernah digagas oleh seorang tokoh Entikong, H. Thalib dengan seorang pengusaha Malaysia yang juga menjadi kerabat Kesultanan Serawak, Tun H. Rajak.
Perantren lintas batas merupakan ide pengembangan pendidikan bercirikhas Islam yang diperuntukkan bagi remaja dan pemuda Islam di seluruh pulau Borneo (Kalimantan), yang terpisah menjadi tiga Negara, Indonesia, Malysia, dan Brunei.
Menurut H. Thalib, gagasan rencana pembangunan pesantren lintas batas di Entikong karena selain posisinya sebagai Jantung Kalimantan (Heart of Borneo) juga ketersediaan suprastruktuk pesantren di Indonesia.
Rencananya, pembiayaan pesantren ini bersumber dari pengusaha Negara tetangga sementara pengelolanya dari Indonesia karena dianggap sudah berpengalaman.
Pendirian pesantren lintas batas dinilai prospek dengan pertimbangan analisis potensi dan kebutuhan. Pertama, Entikong satu-satunya wilayah perbatasan dengan jalur darat yang mudah dilalui. Dalam kesehariannya sangat banyak pelintas batas antarnegara, baik asal Indonesia, Serawak, dan Brunei yang melewati jalur emas Entikong-Sekayam.
Armada bus dari ketiga Negara hilir mudik setiap hari menghantarkan penumpang ke wilayah Negara tujuan. Entikong ibaratnya menjadi Heart of Borneo bagi ketiga Negara yang terpisah dalam satu pulau dengan jarak terdekat dan akses darat termudah.
Kedua, Entikong termasuk wilayah Indonesia yang memiliki tradisi kuat dan skill teruji di bidang pendidikan pesantren, dimana tidak dimiliki oleh Malaysia maupun Brunei. Akan tetapi, dari sisi lain, di Entikong sarana pendidikan Islamnya masih sangat minim jauh tertinggal dari lembaga pendidikan yang dikelola gereja Katholik maupun Kristen.
Ketiga, Di Entikong sendiri masyarakat sangat membutuhkan pesantren untuk memberikan pelayanan pendidikan Islam bagi generasi mudanya, termasuk para muallaf dari suku pedalaman yang “terputus kekerabatannya” dari ayah-ibu kandungnya.
Menurut H. Ibbas, pendiri Yayasan Darul Falah, dalam setahunnya ada banyak anak-anak pedalaman berusia remaja, mencapai 150 orang, yang berpindah keyakinan dari agama orangtuanya yang memerlukan penampungan dan pembinaan. Selama ini masyarakat Entikong yang beragama Islam berinisiatif sendiri menjadikan mereka sebagai “anak angkat” dan menampung di rumah sendiri secara suka-rela. Yayasan Darul Falah Entikong sekarang juga sedang merintis untuk merumahkan mereka sebagai anak-anak asuh.
Keempat, alasan lain kebutuhan pesantren adalah memberikan layanan alternatif pendidikan bagi anak-anak tak berstatus. Mereka merupakan anak TKW atau perempuan setempat dari hasil perkawinan tak tercatat antara ibu kandungnya dengan pria WNA. Dengan kata lain pesantren lintas batas untuk anak hasil perkawinan lintas batas pula. Tidak sedikit anak-anak ini tinggal bersama kedua orangtuanya atau ibunya yang TKW di negeri jiran tapi tidak bisa mengenyam pendidikan di Negara setempat karena terganjal administrasi. Pesantren lintas batas diharapkan bisa menjadi pendidikan alternative bagi anak-anak yang mengalami nasib “menggantung” di Negara tetangga dengan tidak memberikan jarak yang jauh antara anak dengan orang tua. Layanan pendidikan ini untuk sementara telah dijalankan oleh beberapa TPA di Entikong.
Kelima, keberadaan pesantren di wilayah perbatasan diharapkan dapat mengkader calon ulama dan muballigh yang menyiarkan agama Islam khususnya di wilayah tersebut. Seperti diutarakan Muhammad Nur Shodiq, pengurus DKM Al-Muhajirin Entikong, pada umumnya tokoh agama di Entikong-Sekayam bukan dari latar belakang pendidikan agama, seperti pesantren atau alumni IAIN dan Perguruan Tinggi Agama Islam lainnya.
Kebanyakan mereka terjun ke dunia penyiaran agama karena dorongan kebutuhan masyarakat. Hal ini berbeda dengan tokoh agama Kristen atau Katholik yang mensyaratkan berlatarbelakang “sarjana teologi”. Bahkan di Sekayam telah berdiri Sekolah Tinggi Teologi Borneo. Oleh karena tokoh agama Islam bukan berasal dari pendidikan agama, banyak di antara mereka yang “tergoda” dengan kesibukan bisnis sehingga lama-kelamaan meninggalkan tugas sebagai ustaz atau pembimbing agama.
Di samping analisis potensi dan kebutuhan masyarakat akan pesantren lintas batas, terdapat pula tantangan yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan pesantren lintas batas. Hal ini seperti diutarakan oleh H. Jazuli, Kepala Seksi Pondok Pesantren (Pontren) Kemenag Kabupaten Sanggau yang menyebut ada tiga masalah pokok yang dihadapi pesantren di Kabupaten Sanggau pada umumnya, yaitu:
(a) Lima pilar pesantren (Kiai, mesjid, kitab, asrama, dan santri) tidak semua ada di sini. Contohnya kiai yang alim dan kharismatik di Kabupaten Sanggau bisa dihitung jari.
(b) Tidak semua pengasuh pondok pesantren mengerti kitab kuning. Akibatnya ketika pesantren diminta mengutus santrinya untuk mengikuti perlombaan kitab kuning / MQK, tidak ada pesantren yang mengirim utusan; dan
(c) Ketokohan masyarakat di bidang agama tidak berdasarkan tingkat pendidikan dan pemahaman keagamaannya, melainkan dari sudut ketokohan dalam sistem kekerabatan dan jabatan formal serta kesaktian.
Di balik faktor yang memengaruhi ketokohan di bidang agama masyarakat perbatasan sebetulnya ada problem kepercayaan masyarakat setempat terhadap ustaz atau mubalig dari luar daerah. Sebagai kelompok minoritas yang hidup di tengah-tengah masyarakat se-etnis yang memeluk agama dan kepercayaan lain, ada kecenderungan agar penyiaran agama Islam dilakukan secara akulturasi. Harapannya agar sikap, kepercayaan dan prinsip Islam mereka tidak menyinggung kepercayaan dan kebiasaan saudara-saudara mereka yang belum masuk Islam.
Pernah terjadi kasus tahun 2012, seorang khatib Idul Adha dari luar daerah gara-gara menyampaikan materi khutbah ‘Id yang ditengarahi menyinggung kepercayaan Adat, akibatnya ia dikanai sanksi adat. Takmir mesjid yang semua merencanakan penyembelihan kurban dan memberikan santunan ZIS, karena kasus itu mereka merubah peruntukan santunan untuk membayar sanksi adat yang semestinya dikenakan kepada sang khatib.
Jadi, mereka bukanlah takut tersaingi oleh ulama atau ustadz dari luar Kalimantan. Lebih tepatnya, mereka menganggap lebih baik jika penyiar Islam berasal dari dalam wilayah karena dianggap lebih mengetahui kultur dan karakter masyarakat setempat, untuk menghindari konflik suku dan agama. Kenapa?
Karena di Kalimantan pada umumnya masih ada kecurigaan antar suku, semacam bara dalam sekam, akibat konflik yang pernah terjadi antara Suku Dayak dan Sambas dengan Suku Madura. Kecenderungan ini sedikit banyak mempengaruhi sulitnya berkembang pesantren-pesantren khususnya yang dikelola oleh orang-orang Madura.
Dari sekian banyak tokoh Islam, umumnya masyarakat setempat lebih mempercayai tokoh-tokoh asal Sambas dan Pontianak, seperti H. Ibbas ulama perbatasan asal Sambas.
Berdasarkan analisis potensi dan kebutuhan berikut tantangan pesantren di kawasan perbatasan, pengembangan pesantren lintas batas perlu dirintis oleh Kementerian Agama sesuai Grand Design Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan di Indonesia.
Pertimbangan perlunya Kemenag merealisaikan program itu di Kabupaten Sanggau sebab secara sosial dan politik pemerintas bisa menjembatani persoalan yang terjadi dalam pengelolaan pendidikan pesantren maupun dalam kehidupan keagamaan di daerah tersebut. Terlebih lagi ada sinyal dari negeri jiran untuk berpartisipasi dalam mewujudkan pesantren lintas batas. Secara administratif diperlukan political will dari pemerintah RI untuk mempermudah proses pendirian pesantren.
Dalam hal ini Kemenag tidak harus bertindak sendiri tetapi lebih baik berkoordinasi dengan BNPP yang telah memiliki grand design agar lebih tertata dan terencana. Bila perlu Kemenag merespon dan menindaklanjuti sinyal-sinyal positif yang pernah dihantarkan oleh negeri jiran kepada tokoh setempat untuk membangun pesantren lintas batas di Entikong-Sekayam. Harapannya pesantren lintas batas ini dapat menjadi media kaderisasi ulama lintas negara serumpun yang dapat memperkokoh persahabatan masing-masing-masing Negara.