Sedang Membaca
Mengenang Kiai Yamin Muallim; Ahli Retorika dari Bilik Pesantren
Muhammad Hasyim
Penulis Kolom

Pemred Majalah Langitan, Ketua PC LTN NU Gresik dan pengampu kajian Ushul Fiqih dan Tasawwuf di Institut Keislaman Abdullah Faqih, Gresik, Jawa Timur.

Mengenang Kiai Yamin Muallim; Ahli Retorika dari Bilik Pesantren

Whatsapp Image 2020 12 16 At 13.04.25

Siang ini (Rabu, 16 Desember 2020 M.)  Kiai Yamin Muallim telah dipanggil sang Ilahi Rabbi. Dengan tetesan airmata penulis mengenang mutiara-mutiara yang berlarian menyumbul dari dua katub bibir mulianya. Semoga diampuni segala dosa dan dilipatgandakan kebaikannya.

Selain mengasuh pesantren, Kiai Yamin dikenal luas sebagai ahli retorika. Dari kedua katub bibir mulianya selalu mengalir kata-kata yang memesona. Dengan kedalaman ilmu dan perbendaharaan sosial-geografis akan terseleksi diksi-diksi yang tepat. Sehingga pendengar nyaman dan nyambung dengan apa yang disampaikan.

Dai Nasional

Kiai Yamin memulai debut retorika semenjak nyantri dan menjadi salah satu pengajar di Madrasah Al-Falahiyyah Langitan. Kemudian namanya semakin dikenal luas setelah memulai dakwah ke masyarakat luas hingga mendirikan Pondok Pesantren Al-Barakah, Ngetrep, Gilang, Babat, Lamongan.

Pesantren yang diperkuat dengan lembaga formal dan non formal itu telah mendapat apresiasi positif dari masyarakat sekitar. Terbukti semakin hari semakin banyak anak-anak warga sekitar yang dipondokkan. Ribuan orang juga mengikuti Ngaji mingguan di tempat ini. Selain mengelola pesantren, jadwal pengajian beliau juga semakin padat meliputi wilayah jawa, kalimantan, sumatra, papua hingga ke penjuru nusantara.

Dengan nada yang lembut dan penuh hikmah, mutiara-mutiara terpantul dari lisan beliau yang fasih. Keteduhan akan semakin nyes dengan senyum yang selalu mengembang.

Baca juga:  Hari Santri: Mengenang Kiai Masduqi Mahfudz dan Niat Menjadi PNS

Hidup yang Simple

Seperti kiai pada umumnya, Kiai Yamin menjalani hidup ini tidak perlu dibuat ruwet. Sederhana dalam perilaku dan banyak bersyukur. Misalnya, saat undangan beliau semakin luas dan saat itu belum memiliki mobil beliau sampaikan, “Saya bersyukur setiap hari bisa ganti mobil meski itu bukan milik saya”. “Karena hakekatnya, tidak ada kepemilikan abadi di dunia ini, kita sebenarnya cuma bergantian menggunakan fasilitas dunia” tambahnya.

Bagitu pula rumah dan pondok itu juga beliau rasa hanya milik Allah. Cuma sementara dititipkan kepadanya dan hari ini telah dikembalikan pada pemilik hakekatnya. “Saya bersyukur bisa punya rumah dan diamanahi pondok ini. Hakekatnya semua adalah milik Allah” ucap beliau dalam salah satu kesempatan.

Sehari-hari hidup dalam kesederhanaan. Untuk menempuh perjalanan dari Gilang (ndalem beliau) ke Pondok Langitan beliau lebih memilih mengendarai sepeda ontel tua atau motor vespa klasik tahun lama. Meski sebenarnya beliau mampu lebih dari itu.

 Nek Ora Mosok Iyo Lek Iyo Mosok Ora

Bagi penulis kata yang sering diucap beliau ketika bertemu dan mengajar dikelas adalah, “Lek iyo mosok ora, lek ora mosok iyo” (Kalau sudah ditakdirkan masa tidak terjadi, Kalau tidak ditakdirkan masak akan terjadi). Ungkapan di atas sekilas terkesan ambigu dan fatalistik. Cocok untuk alasan bagi orang yang putus asa.

Baca juga:  Membaca Papua melalui Buku Sekolah Dasar

Tapi, teka-teki ungkapan itu terjawab ketika beliau mengurai kitab Al-Hikam karya Ibnu Athoillah As-Sakandari saat mengajar di Langitan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa ibnu Athoillah lahir di Iskandariyah (Mesir) pada 648 H / 1250 M, dan meninggal di Kairo pada 1309 M. Salah satu pembesar Thariqah Syadziliyyah.

Kitab al-Hikam menjadi pegangan jamak kiai manapun. Aforisme unik al-Hikam dinobatkan sebagai karya unggulan (magnum opus) dari cucu murid pendiri Thariqah Syadziliyyah lewat jalur Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi (murid langsung Imam Syadzili).

Dalam kitab al-Hikam bagian ketiga: “Sawabiqul himam la takhriqu aswaral aqdar”. Keinginan kuat –sampai ubun-ubun pun- tidak akan dapat mengoyak-ngoyak (merubah) takdir. Dalam syarahnya, meskipun seseorang menggebu-gebu untuk mencapai derajat yang tinggi dalam pengabdian (suluk), namun pencapaian kadar, maqam dan waktu sudah ditentukan –dan menjadi rahasia- Allah. Maka yang terpenting dari sebuah suluk bukan pada maqam tapi selalu berproses dan bertawakkal kepada Allah Swt.

Dalam ranah keseharian, setinggi apapun usaha seseorang pada akhirnya tidak akan mampu merubah kehendak ilahi. Misalnya, dua atau tiga orang dengan memulai usaha dan metode yang sama maka niscaya hasil akhirnya akan berbeda. Jadi yang terpenting dari sebuah usaha bukan hasil akhir tapi berproses dalam usaha dan selalu bersandar kepada Allah Swt.

Baca juga:  Melihat Mahbub DJunaidi dengan Mata Max Weber

Bahasa sederhana dari ungkapan rumit di atas adalah, “Lek iyo mosok ora, lek ora mosok iyo” (Kalau sudah ditakdirkan masa tidak terjadi, Kalau tidak ditakdirkan masak akan terjadi). Jadi, yang terpenting dalam hidup ini adalah selalu berusaha –dan itu sudah terhitung ibadah- dan selalu menyandarkan diri kepada Ilahi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top