Ajip Rosidi saya kira adalah sastrawan yang mulai dan telah menulis sejak era tahun 1950an terakhir yang meninggal. Setelah dia, tak ada lagi sastrawan yang menyaksikan bagaimana dunia kesusteraan dikembangkan dan dibangun pasca kemerdekaan, bergulat dengan dunia politik yang berdarah pada tahun 1960an, berada di bawah hegemoni Orde Baru, hingga masa reformasi.
Ajip Rosidi sempat berjumpa dan berinteraksi dengan para sastrawan seperti Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Mohtar Lubis, Jamil Suherman, Ramadhan KH., Utuy Tatang Sontani, Asrul Sani, dan lain-lain. Para sastrawan yang menulis di lembaran ‘Gelanggang’ Koran Siasat, Star Weekly, Pantja Warna, Majalah Kisah, Roman, Mimbar Indonesia, Duta Suasana, Indonesia, Zenith, dan lain-lain. Itulah majalah-majalah kesusasteraan dan kebudayaan terkemuka tahun 1950an. Ini karena Ajip sudah mulai menulis dan telah mensejajarkan namanya di antara para penulis terkenal itu dalam usia yang sangat belia sekali: kurang lebih 13 tahun. Dengan demikian, dia adalah saksi hidup terakhir dinamika kebudayaan era tersebut. Dalam majalah-majalah lama itu, seingat saya namanya ditulis “A. Rhosidy” sebelum kemudian berubah dan mapan menjadi “Ajip Rosidi”.
Ajip adalah penulis yang “rangkap-bakat” (multitalent). Ia menulis cerpen, novel, puisi, esai, naskah drama, risalah sejarah, saduran, dan lain sebagainya.
Sebagai penyair dan cerpenis, ia dapat tempat cukup terhormat. Hal ini bisa kita lihat dari sejumlah kumpulan puisi dan cerpennya yang telah diterbitkan dan ulasan yang mengiringinya, serta Hadiah Sastra dari badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) tahun 1955-56 dan 1956-57 yang ia terima. ‘Jarke Arkidam’, puisi naratifnya yang panjang, yang berkisah tentang kehidupan seorang jagoan, menjadi salah satu puisi yang diulas A. Teeuw dalam Tergantung Pada Kata (1980). Sungguh ini memang puisi yang dahsyat.
Yang menarik juga dari kegiatan menulis Pak Ajip adalah sejumlah sadurannya terhadap cerita-cerita lama menjadi novel semisal Tjandra Kirana (1962) yang berasal dari fragmen cerita Panji, Roro Mendut (1968[1961]) yang berasal dari tambang gubahanR. Ngabehi Ronggosutrasno, Purba Sari Wangi (1962) dari Lutung Kesarung dan Rikmadenda Mencari Tuhan (1991) yang diangkatnya dari lakon carangan ciptaan dalang Abror.
Dia juga aktivis kebudayaan yang turut membidani lahirnya TIM. Selain itu, ia juga pendiri dan pengelola penerbitan Pustaka Jaya, yang selain menerbitkan buku karya anak negeri, juga berjasa besar memperkenalkan karya-karya mancanegara melalui serangkaian penerbitan terjemahannya di era 70an dan 80an. Belakangan ia juga mendirikan Penerbit Girimukti.
Dan hebatnya, ia bukan sarjana. Namun selama hampir dua dekade (1980-2002), ia berdiam di Jepang, mengajar bahasa dan sastra Indonesia. Tentang ini telah ia ceritakan dalam Hidup Tanpa Ijazah (2008).
Bagi orang Sunda, dia sangat penting karena banyak sekali menulis tentang kebudayaan Sunda dan tokoh-tokohnya. Di antara karyanya yang penting adalah Manusia Sunda (1984), Apa Siapa Orang Sunda (2003) dan Ensiklopedi Kebudayaan Sunda (2003), yang ia gagas dan redaksinya ia kepalai. Ia adalah ‘hero’ kebudayaan Sunda.
Namun ia tidak berhenti pada kebudayaan Sunda. Ia juga punya perhatian pada perkembangan sastra daerah. Ia mendirikan Yayasan Rancage yang memberikan hadiah Rancage kepada karya sastra berbahasa daerah.
Ajip juga seorang pengarsip yang handal. Rumahnya yang sekaligus perpustakaan yang didirikannya di Magelang banyak menyimpan majalah dan kliping karya sejak tahun 1940an. Dari kegemaran mengarsip ini juga beberapa risalah sejarahnya lahir. Misal Kapankah Kesusteraan Indonesia Lahir? (1964), yang perspektifnya beda dengan HB Jassin (humanisme Universal) atau pun Bakri Siregar (realisme sosial). Juga buku Membicarakan Cerita Pendek Indonesia (1959) dan Puisi Indonesia (1969), serta Laut Biru, Langit Biru (1977).
Selain mengarsip, ia juga rajin menelusuri dan melakukan wawancara untuk penulisan sejarah sastra dan kebudayaan. Ia menulis misal tokoh Hasan Mustafa dan M. Natsir, pelukis Salim dan Affandi, dan penyair era 1930an Roestam Effendi. Surat menyuratnya dengan Roestam Effendi, yang pernah menjadi anggota parlemen di Belanda, melahirkan buku Puitika Roestam Effendi dan Percikan Permenungan yang baru terbit 2013 yang lalu. Dan mungkin atas jasa Ajip juga, saya kira, cerpen-cerpen semiotobiografis penulis Utuy Tatang Sontani Di Bawah Langit Tak Berbintang (2001) selama eksil di Cina dan Moskow, terbit dan sampai ke tangan kita. Meski kita bisa saja tidak setuju dengan beberapa klaim personalnya dalam pengantar buku tersebut.
Dan korespodensinya dengan sejumlah penulis ketika tinggal di Jepang, yang diterbitkan menjadi Yang Datang telanjang: Surat-Surat Ajip Rosidi dari Jepang 1980-2002 (2008), tak lain berasal dari kegemarannya mengarsip ini. Surat-surat memang sangat personal, tetapi ketika membacanya akan bisa diidentifikasi di sana masalah-masalah yang melingkupi kehidupan sastra, media, pendidikan, dan dunia literasi secara umum pada periode tersebut. Siapa yang menjadi rekan korespodensi Pak Ajip, siapa yang tidak, juga memperlihatkan peta politik kebudayaan era tersebut.
Ajip Rosidi merupakan pengarang produktif dan kreatif. Entah berapa buku yang telah ia hasilkan. Ia mungkin setara prolifiknya dengan Hamka dan Pramoedya Ananta Toer.
Pada tahun 2009, saya lumayan sering menemui Pak Ajip di rumahnya yang sekaligus perpustakaannya di Magelang, di jurusan jalan menuju Candi Borobudur dari arah Yogya. Waktu itu saya menemani Jennifer Lindsay yang berencana menggelar dua konferensi mengenai kehidupan kebudayaan tahun 1950an (kegiatan ini telah menghasilkan buku Heirs to World Culture: Being Indonesian, 1950-1965 (2012). Salah satu narasumber kami adalah Pak Ajip Rosidi, selain S. Anantaguna dan Misbach Yusa Biran. Untuk keperluan ini, saya beberapa kali menemuinya, dan mampir di warung sop ikan yang dikelola istrinya. Bahkan kemudian kami berangkat bersama ke Belanda untuk menghadiri konferensi dan juga sempat bersama mengunjungi penulis eksil Asahan Alham.
Pertemuan-pertemuan ini saya manfaatkan untuk bertanya banyak hal, terutama hal yang ringan-ringan. Misal saya penasaran dengan nama seorang penyair cukup terkenal tahun 1950an dan1960an bernama “Clara Akustia”. Namanya unik dan menarik.
Pak Ajip tertawa. Itu nama samaran, bukan perempuan tapi laki-laki. Penulis itu suka dengan seorang perempuan bernama Clara, tapi ditolak. Namun ia terus berjuang, termasuk dengan menjadikan nama penanya menjadi ‘Clara Akustia’, yang berasal dari “Clara Aku Setia”, demikian cerita Pak AJip. Wualah… kukira seorang perempuan. Sayangnya aku lupa mencatat nama penulis itu aslinya siapa. Mungkin AS. Dharta?
Lalu, aku tanya juga tentang sebuah kolom Mahbub Djunaidi yang bercerita ketika berkunjung ke Jepang diajak Pak Ajip cari makan. Tapi sudah jauh berjalan, naik turun kereta beberapa kali, belum juga ketemu warung yang diinginkan. Ternyata kata Mahbub, Ajip sendiri tidak tahu jalan dan tidak tahu juga jenis makanan Jepang yang enak seperti apa. Maklumlah, ia hanya guru silat di Jepang ini, tulis Mahbub.
Pak Ajip langsung bilang, “Itu nggak benar. Mahbub ngarang. Dia mau ngerjain aku aja. Jangan percaya.” Dia mengatakan itu sambil ketawa.
Tentu saja, aku nggak tahu siapa yang benar. Yang jelas cerita Mahbub dalam kolomnya itu amat lucu dan demikian meyakinkan.
Lalu soal isu yang dibawa Motinggo Busye ke Jakarta bahwa Pak Ajip mengikuti jejak Rendra berpoligami. Tidak tanggung-tanggung langsung empat lagi.
Pak Ajip tertawa lebar. Itu karena Motinggo Busye termakan isu. Istriku memang Empat. Nama panggilannya Empat, berasal dari Patimah. Tahu sendiri, orang Sunda bermasalah dengan huruf ‘F’. Jadi ‘Bu Pat’, entah dari mana nongolnya ‘m’ di depannya, hingga lama-lama jadi ‘Bu Empat’. Makanya warung sop ikan ini namanya “Sop Ikan Bu Empat”.
Pak Ajip sumber sejarah yang mengasyikkan. Meski demikian, jangan coba-coba mengambil posisi sedikit berbeda dengannya, karena dia akan dengan keras membantah. Dan dalam hal ini, saya beberapa kali waktu disemprot karena menurutnya keliru menerima informasi atau salah memahami peristiwa. Pak Ajip sangat kuat mempertahankan pandangan berdasarkan versinya.
Mungkin karena itu pula saya tak pernah berani menanyakan mengapa ia yang sangat mencintai budaya Sunda lebih senang mengisi hari-hari tuanya di Magelang, Jawa Tengah?