Bagi penggemar sejarah, Perang Jawa (Java Oorlog) sangatlah mengesankan, dan terus berulang kali diputar-putar ceriterannya seperti kaset. Keberanian serta semangat perlawanan Pangeran Diponegoro tidak lengkap bila tidak mengintip lukisan yang menginspirasi seorang Indonesianias dari Inggris, Peter B.R Carey.
Karena lukisan itu, si pelukis mendapatkan kehormatan di hati dan memori kolektif masyarakat. Pelukis itu bernama Raden Saleh, anak gedongan, yang hampir separuh hidupnya, selama 23 tahun, keluyuran di Eropa. Berkat lukisan (tahun 1857) penangkapan Pangeran Diponegoro di Magelang 28 Maret 1830, Sang Kelana Benua Biru itu makin menancap di benak dan relung hati para pecinta Pangeran Diponegoro. Bagaimana bisa?
Bagaimana tidak bisa? kata Carey, selama perang selama 5 tahun (1825-1830) Pangeran Diponegoro mengobarkan perlawanan, dengan nilai kerugian yang tidak sedikit baik materil maupun moril, baik pribumi maupun kolonial. Namun, restu dari langit belum juga memperlihatkan tanda-tanda akan terwujudnya cita-cita “mamangun luhuripun agami Islam wonten ing tanah Jawi (menegakkan keluhuran Islam di seluruh Tanah Jawa).
Selain karena kelelahan, lanjut Carey, Pangeran Diponegoro sering mengadu dan curhat kepada Mangkubumi pamannya, serta Panglima Perangnya Sentot Alibasyah tentang gelagat takdir yang semakin tidak memihak. “Kepasrahan, merupakan manajemen psikologis yang baik ditengah ketiadaberdayaan,” pungkas Carey, peneliti Pangeran Diponegoro tersebut.
Namun, Raden Saleh justru melukiskan penangkapan itu dengan imajinasi Dipenegoro yang metiti (berontak) di depan Kapten Hendrik Merkus Baron De Kock (1779-1845). Meskipun, lukisan tersebut tidak mencerminkan riil psikologis (bukan real count) waktu itu.
Benar saja lukisan Raden Saleh mampu membius kesadaran kita, tentang Diponegoro dalam perangkap Belanda, tetap saja naluri perlawanan terpancarkan dalam dirinya. Sebagaimana, temuan Carey, justru Diponegoro memang telah pasrah akan masa depan perjuangan yang telah dia rintis itu, versi lukisan lain kubu kolonial, Nicolas Pieneman.
Hubungan yang baik dan saling menguntungkan Raden Saleh dengan pihak kolonial, membuat kehidupannya selama di Eropa selalu berkecukuoan. Penghargaan itu didapatkan Raden Saleh karea bakat melukis dan karya lukisan yang membuat ta’jub raja-raja eropa, termasuk Belanda.
Meskipun hidup di negeri kincir angin dan benua biru selama banyak tahun, plus dapat pembiayaan hidup dan pendidikan dari Raja Willian I dan II Belanda, tidak lantas memudahkan Raden Saleh kembali dengan tanpa kecurigaan dari pemerintah kolonial.
Menurut Harsja W Bachtiar, kemasyhuran sang pelukis dan berbagai penghargaan yang diberikan kepadanya dari berbagai bangsawan Eropa, para ilmuwan dan berbagai perjabat publik tidak dapat mencegah terjadinnya hubungan yang kurang menyenangkan anatar Raden Saleh dengan pemerintah kolonial. Hal itu ditengarai akibat kemunculan pemberontakan Bekasi pada April 1869. Bahkan, Raden Saleh dituduh penggerak sekaligus aktor intelektual.
Raden dituduh menghadiri sebuah festival yang diadakan oleh pemberontak di desa Ratu Jaya. Raden Saleh tegas menolak segala tuduhan tersebut. Tidak puas interogasi, para militer Belanda atas perintah Residen Belanda di Batavia, H.J.C Hoogeven, memerikasa rumah Raden Saleh di Bogor, untuk dilakukan pemeriksaan, lagi-lagi kecurigaan tersebut tidak terbuktikan.
Masih kurang puas, Residen memerintah anak buahnya untuk membawa Raden ke Depok untuk dipertemukan dengan pemberontak. Namun tidak ada satupun yang mengenali Raden Saleh, hanya saja pimpinan pemberontak, Bassa Kollot, hanya terinspirasi dengan Raden Saleh dalam memikat perhatian.
Akhirnya, proses-proses hukum yang menjerat dapat diseleseikan oleh Raden Saleh, dengan baik. Seiring berjalannya waktu, Jum’at, 23 April 1880, pukul 13.00, Raden Saleh mangkat kehadirat Allah SWT, juga karena serangan Trombosis. Namun prosesi pemakaman baru dilaksanakan pada senin pagi, 26 April 1880 dimakamkan di Kampung Empang, pinggiran kota Bogor.
Hampir semua lapisan komunitas kolonial maupun pribumi di Bogor merasa perlu menghadiri upacara pemakamannya. “Jasad Raden Saleh diriingi oleh banyak pejabat pemerintah, residen, tuan Butmy dan para tuan tanah lainnya, para haji, umat muslim dari segala lapisan masyarakat, orang-orang jawa, termasuk para pemuda jawa dari sekolah pertanian. Jenazah dibawa oleh empat orang pejabat pemerintahan dari suku Jawa. Di belakang jenazah, seorang sersan membawa sebuah piring perak. Di atas piring tersebut diletakkan lima buah medali kehormatan yang diperoleh Raden Saleh selama hidupnya dari berbagai kerajaan.” (RM)
Bacaan Lanjutan:
Harsja W Bactiar, Raden Saleh: Aristocrat, Painter and Scientist”, Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, Agustus 1976, Jilid VI No.3
Peter B.R Carey, “Raden Saleh, Dipanegara and the Painting of the Capture of Dipanagara at Magelang (28 March 1930)”, Journal of Malaysian Branch of the Royal Asiatic, Kuala Lumpur, 1982, No. 262.