Sedang Membaca
Asrorus Shoum: Kitab Wajib Ngaji Posoan
Avatar
Penulis Kolom

Penulis tinggal di Malang

Asrorus Shoum: Kitab Wajib Ngaji Posoan

Asrorus Shoum: Kitab Wajib Ngaji Posoan

“Andaikata setan tidak menggerumungi hati manusia, niscaya manusia dapat menyaksikan kerajaan-kerajaan langit” Hadits riwayat Imam Ahmad dari Abu Hurairah. Selama syahwat itu subur, maka hilir mudik setan pada diri manusia senantiasa ada. Selama pengaruh setan masih ada, maka keagungan Allah tidak akan mampu tersingkap bagi manusia dan dia terhijab untuk bertemu dengan-Nya.

Demikian penjelasan Imam Al-Ghozali dalam Asrorus Shoum. Asrorus shoum atau rahasia-rahasia puasa adalah bab dalam kitab Ihya’ Ulumiddin di seperempat kitab pertama yang menjelaskan tentang ibadah (rub’il ibadah). Bab ini kemudian dicuplik dan oleh banyak percetakan disendirikan serta dicetak menjadi kitab, sehingga lebih praktis dan mudah dipelajari.

Di awal pembahasan, Imam Ghozali telah membuka dengan keistimewaan puasa. Bahwa puasa adalah ibadah yang pelakunya terlihat tidak ngapa-ngapain. Puasa adalah ibadah yang tidak terlihat oleh makhluk. Secara lahir, tidak ada beda antara orang yang sedang dan tidak berpuasa.

Dikarenakan puasa hanya Allah yang tahu, maka nilai pahalanya rahasia Allah juga. Di sisi lain, ibadah puasa tergolong ibadah yang ‘cukup unik’. Orang puasa menahan diri untuk tidak makan padahal ia mampu melaksanakan. Ini tentu cukup sulit. Meninggalkan sesuatu yang telah menjadi kebiasaan. Keluar dari zona nyaman.

Baca juga:  Antara Binatang dengan Manusia

Makanya, Rasulullah SAW berkomentar sangat positif terkait orang puasa. Mereka yang meninggalkan aktivitas makan dan minumnya. Beliau bersabda: “Sungguh Allah membanggakan seorang pemuda ahli ibadah kepada para malaikat-Nya. Dia berfirman: ‘Wahai pemuda, yang meninggalkan syahwatnya dan mengerahkan waktu mudanya untuk Aku. Kalian dalam pandangan-Ku adalah sebagaimana para malaikat-Ku’”.

Sebagaimana diketahui, Kitab Ihya’ sendiri adalah memadukan materi kajian Fikih dengan sisi Tasawuf. Keterangan Fikih ini terlihat ketika Imam Ghozali menjelaskan pasal pertama. Pasal ini berisikan tentang hal-hal yang wajib lahiriyah ketika berpuasa, kesunahan-kesunahan lahir dan konsekwensi dari batalnya puasa.

Kewajiban lahiriyah meliputi enam hal, yaitu memperhatikan awal puasa, niat, mencegah masuknya sesuatu ke dalam lubang di tubuh, menahan bersetubuh, menghindari kepuasan seksual (istimna’) dan tidak berusaha muntah dengan sengaja. Konsekwensi batalnya puasa bisa berupa meng-qodlo, kafarat, membayar fidyah dan tetap menahan diri dari yang membatalkan puasa di sisa harinya.

Sementara kesunahan puasa meliputi mengakhirkan sahur, menyegerakan berbuka, tidak bersiwak selepas masuk waktu dzuhur, memperbanyak derma, tadarus Al-Qur’an dan beriktikaf di sepertiga terakhir bulan Ramadhan.

Pada pasal selanjutnya, Imam Ghozali mulai membahas siri rahasia puasa. Materi ini sering dibawakan oleh para dai dalam ceramahnya. Bukan ngadi-ngadi jika kemudian saya mengatakan kitab ini adalah kitab wajib ngaji posoan. Klasifikasi Imam Ghozali atas puasa awam, puasa khusus dan khususul khusus sudah sangat lazim terdengar di telinga.

Baca juga:  Allah dan Alam Semesta: Membaca Buku Baru Karya Kiai Said Aqil

Tujuan puasa agar nafsu terkendali. Dengan mengada-adakan menu buka dan sahur semacam ini, malah menjadi ajang mengembala nafsu agar semakin menggemukan diri. Bukan sedang menghakimi, tapi jujur saya sendiri pun masih kerap melakoni.

Imam Al-Sya’roni dalam Mizan-nya memberikan pantangan untuk tidak memakan sesuatu apapun yang bernyawa ketika buka atau bersantap sahur sebelum puasa. Pernyataan Imam Asy-Sya’roni ini kemudian oleh KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqy dan banyak ulama lainnya dijadikan acuan dalam mengamalkannya selama bulan puasa. Tarak namanya. Mutih, istilah lain menyebutnya.

Dengan menerapkan sistem semacam ini tentu tidak semua jenis makanan akan dapat masuk dan diolah oleh perut begitu saja. Ada riyadoh atau latihan untuk hanya memakan makanan yang berupa biji-bijian saja. sehingga seorang murid tidak akan merasa kekenyangan. Konsekwensinya, jika ia tidak kekenyangan, maka fokus aktivitasnya tidak terganggu oleh urusan jasmani, seperti mengantuk ataupun kebutuhan kamar mandi, sehingga kewajiban ibadahnya terpenuhi.

Di pasal selanjutnya, dipaparkan penjelasan mengenai puasa sunah dan urutan keutamaannya. Menurut Imam Ghozali, hari yang utama untuk berpuasa setelah Ramadhan adalah hari Arofah tanggal 9 bulan Dzulhijjah, hari Asyuro tanggal 10 Muharram, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan sepuluh hari pertama bulan Muharram.

Sementara setiap bulannya (hijriyah), yang paling dianjurkan adalah permulaan bulan, pertengahan dan akhir bulan. Sedang untuk setiap pekannya, hari yang paling utama berpuasa adalah Senin, Kamis dan Jum’at. Pada hari-hari ini disunahkan memperbanyak kebaikan, agar pahala dilipatgandakan sebab keberkahan pada hari-hari tersebut.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (31): Durratun Nasihin dan Kontroversi di Balik Kepopulerannya

Alhasil, maqsudul a’dhom atau tujuan utama adanya puasa -atau dalam hal ini adalah melanggengkan rutinitas berpuasa- adalah agar terbiasa menahan diri, mengendalikan emosi, membatasi nafsu dan hasrat diri. Sebagian ulama membenci empat hari berturut-turut tanpa adanya puasa. Mereka beralasan, hal itu membuat kerasnya hati, menimbulkan perilaku yang rendah serta membuka pintu syahwat.

Sebagai penutup, keterangan singkat ini saya rasa masih sangat mewakili isi Kitab Asrorus Shoum. Sehingga alangkah baiknya untuk membacanya lebih lanjut di kitab aslinya. Kalau tidak mampu beli Kitab Ihya’nya, ya minimal punya Kitab Asrorus shoumnya. Semoga Ramadhan tahun ini menjadi Ramadhan yang penuh keberkahan. Aamiiin.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top