Tanggal tujuh bulan Ramadan 1366 H atau 25 Juli 1947 M, Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari dipanggil oleh Allah Sang pencipta. Dedikasi beliau memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tak diragukan lagi. Bahkan, beliau wafat, lantaran memikirkan nasib Indonesia.
Perlawanan beliau atas penjajah yang paling terkenal, dan kemudian diperingati menjadi hari santri nasional, adalah seruan resolusi jihad. Tentu selain resolusi jihad, masih banyak perlawanan Kiai yang ahli hadis ini. Salah satunya adalah perlawanan tanpa kekerasan atas Jepang, yang dalam catatan Gus Dur disebut perlawanan kultural.
Gus Dur dalam buku Kumpulan Kolom dan artikel Abdurahman Wahid Era Lengser bercerita, bahwa pada bulan Maret 1942 M, Jepang menduduki Indonesia yang dulu masih bernama Hindia Belanda. Mereka menyuruh Kiai Hasyim membungkukkan badan ke arah timur laut, tempat Kaisar (Tenno Heike) bersemayam di Tokyo.
Kata Gus Dur, bagi Kiai Hasyim, melakukan seikeirei atau membungkukkan badan merupakan pengakuan bahwa Kaisar Jepang adalah putra Dewa Matahari atau yang disebut Amaterasu—bagi penggemar Manga Naruto seperti penulis, Amaterasu tidaklah asing. Amaterasu oleh pengarang Manga Naruto Masashi Kishimoto dijadikan nama salah satu jutsu (jurus) khusus pengguna mata Saringgan dari Klan Uchiha. Penulis sendiri mengetahui adopsi kata ini, saat membaca tulisan Gus Dur.
Karena penolakannya itu, Kiai Hasyim di tahan selama delapan bulan di penjara Kalisosok Surabaya. Di dalam penjara, Kiai Hasyim disiksa sampai tangan kirinya tidak dapat digerakkan. Lumpuh. Namun akhirnya beliau dibebaskan, lantaran Jepang tahu bahwa Kiai Hasyim memiliki pengaruh yang besar di masyarakat.
Kalau kita melihat film Sang Kiai, digambarkan bagaimana orang-orang berkumpul di depan penjara dengan membaca selawat, sebagai bentuk protes, supaya Kiai Hasyim dibebaskan.
Sikap Kiai Hasyim ini, ditafsiri Gur Dur sebagai perlawanan kultural.
“Perlawanan dalam bentuk berdiam diri menahan siksaan ini, bagaimana pun juga telah memberikan bekasnya dalam sejarah” tulis Gus Dur.
Perlawanan kultural Kiai Hasyim ini mengingatkan penulis atas keterangan Prof Quraish Shihab tentang ibadah aktif dan ibadah pasif.
Ibadah aktif menuntut pelakunya untuk bergerak secara aktif seperti salat. Berbeda dengan ibadah pasif, yang justru pelakunya dituntut tak melakukan sesuatu. Contohnya adalah puasa. Dalam menjalankan rukun Islam yang ke empat ini, seseorang harus pasif seperti tidak minum, tidak makan, tidak melakukan hubungan seksual.
Tampaknya perlawanan pun demikian. Ada perlawanan aktif, ada pula perlawanan pasif. Dalam konteks Kiai Hasyim, contoh perlawanan aktif adalah resolusi jihad, menolak penjajah dengan mengangkat senjata. Sedang contoh perlawanan pasif salah satunya adalah perlawanan kultural yang diceritakan Gus Dur di atas. Contoh lain perlawanan pasif beliau adalah Larangan haji dengan menggunakan kapal Belanda yang menjajah waktu itu (Abdullah Alawi dalam nu online, 17/08/2012)
Perlawanan pasif, walaupun mungkin pelan, tapi sejatinya juga punya dampak yang signifikan. Dan bagi seorang pemimpin, sebaiknya tahu, kapan melawan dengan cara aktif, dan kapan melawan dengan cara pasif. Kata Gus Dur, kenapa saat itu tidak dipilih perlawanan militer, karena waktunya belum tepat, dan saat itu kita belum siap.
Perlawanan kultural seperti yang dicontohkan Kiai Hasyim, juga banyak dipraktikkan oleh kiai-kiai yang lain. Penulis beberapa kali mendengar cerita tutur, pada masa orde baru, ada seorang kiai—menurut teman penulis, dalam salah satu buku yang ditulis Deliar Noer, kiai ini termasuk dari sekian kiai yang terkena represi orde baru—yang dipaksa ikut salah satu partai. Suatu ketika kiai ini akan dihajikan mereka. Tentu jika haji tersebut terlaksana, maka akan berdampak besar di masyarakat, yakni sebagai simbol kiai mendukung partai tersebut.
Menurut beberapa sumber, setelah mendekati hari keberangkatan, kiai tersebut mendadak tidak bisa berjalan, kakinya lumpuh. Akhirnya beliau tidak jadi berangkat haji, dan di kemudian hari beliau bisa berjalan kembali seperti sediakala.
Apa penyebab kelumpuhan kiai tidak harus diketahui, yang jelas, kelumpuhan tersebut efektif menggagalkan rencana ‘lawan’ dan bisa ditafsirkan sebagai perlawanan pasif seoarang kiai.
Penulis juga pernah berbincang dengan seorang kiai di sebuah desa yang ada penambangan batu di sana—di satu sisi penambangan batu membuka lahan kerja, namun dampaknya air sungai yang dulu jernih dan indah sekarang sering kali menjadi cokelat bercampur lumpur dan tanah. Saat beberapa orang mau menyewakan sawahnya untuk digali dan diambil berbatuannya, kiai ini menolak tawaran seseorang yang ingin menyewa sawahnya untuk digali dan diambil batu-batu yang berada di dalam tanah persawahan.
“Bagaimana ya, sawah ini kan pemberian orang tua saya. Nanti kalau saya dimarahi orang tua saya (sudah meninggal) bagaimana? Sawah disuruh menjaga dengan menanami malah disewakan untuk digali” begitu kira-kira kata kiai tersebut menolak tawaran.
Penolakan kiai-kiai di atas, seperti yang penulis katakan, walau pelan, tapi sedikit demi sedikit akan terdengar ke masyarakat, dan membekas di hati mereka, yang akhirnya turut menyadarkan dan berpotensi melahirkan gerakan perubahan, tanpa harus berkonfrontasi secara frontal. Kalau boleh meminjam istilah Gus Dur, perubahan yang berjalan secara damai dan bertahap.