Sedang Membaca
Kasyf al-Tabarih (2), Sanggahan Kiai Fadhol terhadap Kebid’ahan 20 Rakaat Tarawih
Yuniar Indra Yahya
Penulis Kolom

Santri Ma'had Aly Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang

Kasyf al-Tabarih (2), Sanggahan Kiai Fadhol terhadap Kebid’ahan 20 Rakaat Tarawih

Kiai Fadhol Senori

Shalat Tarawih sudah ditradisikan oleh Nabi Muhammad, namun Nabi hanya menyebut sebagai qiyamul lail, tidak spesifik memberikan nama. KH. Ali Maksum Krapyak menyebutkan dalam Hujjah Ahlussunah bahwa Tarawih sunnah dikerjakan secara berjamaah menurut mazhab Syafi’iyyah dan Hanabilah. Sementara Malikiyah menganggap Tarawih pada taraf mandub (dianjurkan). Mazbah Hanafiyah menyebut jamaah Tarawih itu Sunnah Kifayah, jadi jika beberapa saja sudah mengerjakan secara berjamaah, maka yang lain tidak masalah tak jamaah.

Perbedaan-perbedaan tersebut muncul lantaran istidlal pada hadis-hadis Tarawih yang dilakukan oleh para ulama’ tidak sama. Memang ada beberapa hadis yang menjelaskan teknis shalat Tarawih. Dan semuanya memiliki perbedaan, baik dari segi periwayat maupun matannya. Bahkan hal tersebut menyebabkan perbedaan tradisi Tarawih di Indonesia. Ada yang melaksanakan Tarawih berjamaah dengan 20 rakaat, dan yang lainnya melaksanakannya 8 rakaat saja.

Menanggapi hal itu, Kiai Abul Fadhol Senori dalam kitabnya Kasyf al-Tabārīḥ fi Bayāni Ṣalat al-Tarāwīḥ menjabarkan panjang lebar terhadap diskursus Tarawih. Proses fiqh al-ḥadīṡ yang dilakukan oleh Kiai Abul Fadhol mengenai dalil salat Tarawih 20 rakaat sarat ditunjukkan dalam karangan tersebut. Mulai dari mengumpulkan hadis-hadis terkait, menemukan pertentangan (ta’āruḍ) di antaranya, meneliti makna matan (naqd al-matn), dan menarik kepahaman darinya.

Jika ditelaah, maka ditemukan bahwa kitab tersebut disusun oleh penulisnya dengan mengelompokkan beberapa masalah dalam hal salat Tarawih.

  1. Masalah perkataan Umar Ibn Khattab “Ni’matu bid’ati hadha”

Telah masyhur bahwa kebiasaan qiyam al-lail malam Ramadan—selanjutnya beristilah Tarawih—dilaksanakan secara berjamaah diawali oleh perintah Umar ibn Khattab. Dan ia menutup perkataannya dengan Ni’matu bid’ati hadha (ini adalah sebaik-baiknya bid’ah). Secara zahir, perkataan tersebut menunjukkan bahwa Umar mengakui adanya kebiasaan yang tidak lazim dilakukan oleh Rasul (bid’ah) dalam perkara ini serta menikmati ketidaklazimannya.

Baca juga:  Untuk Apa Kiai Bisri Menipu Setan?

Namun, KH. Abul Fadhol Senori menguraikan lebih detail mengenai bid’ah, sebagaiama yang dikatakan Umar ibn Khattab pada hadis Tarawih. Bahwa lafaz bid’ah (البِدْعَة) memiliki dua penggunaan. Pertama, bid’ah dipakai untuk memberi pengertian sesuatu yang baru dan belum pernah ada sebelumnya. Mengenai hal ini tidak semua bid’ah dikatakan sebagai kesesatan (bid’ah ḍalalah). Karena sesuatu tersebut dimunculkan adakalanya bukan perkara agama, adakalanya masih perkara agama.

Jika perkara baru dimunculkan bukan dalam perkara agama serta tidak melanggar apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul, maka bukan termasuk kesesatan. Seperti membuat rantang dan tempat makan, atau menaiki sepeda dan mobil. Jika perkara baru yang dimunculkan masih dalam perkara agama serta bertentangan dengan syariah, maka adalah bid’ah yang sesat menyesatkan. Apabila tidak bertentangan dengan syariah, masih dipertanyakan lagi apakah perkara baru itu mempunyai iżn al-‘ām al-syāri’ atau tidak. Kalau tidak berarti bid’ah yang tidak dapat dipakai. Kalau ada iżn al-‘ām al-syāri’, maka ada kalanya wajib, sunah, mubah, atau hasan

Penggunaan kedua bahwa bid’ah itu adalah suatu perkara agama yang muncul setelah Nabi wafat, sekaligus bertentangan dengan Alquran, Sunah, atau pokok-pokok syariah.

  1. Menyanggah anggapan kebid’ahan 20 rakaat Tarawih

Konteks saat KH. Abul Fadhol Senori mengarang kitab ini adalah banyaknya perdebatan mengenai jumlah rakaat Tarawih yang sesuai sunnah. Perdebatan tersebut terjadi karena perbedaan dasar syariah yang dipakai. Ada yang menggunakan dalil hadis Tarawih berjumlah delapan rakaat, sementara yang lainnya menggunakan dalil hadis Tarawih 20 rakaat.

Baca juga:  Mengkaji Dalil Nasionalisme dalam Kitab “Al-Muqtathafat li Ahlil Bidayah”

Menanggapi hal itu, KH. Abul Fadhol mengomentarinya di akhir kitab Kasyf al-Tabārīḥ fi Bayāni Ṣalat al-Tarāwīḥ. Beliau berdalil dengan salah satu hadis:

عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي: أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ ”

Dari Hudzaifah ibn Yaman, bahwa Nabi berkata: “ikutilah orang-orang setelah aku, yakni Abu Bakar dan Umar.”

Apabila Rasulullah perintah agar mengikuti Abu Bakar dan Umar ibn Khattab, maka mengerjakan perintah tersebut berarti mengikuti Rasulullah. Dan barang siapa yang mengingkarinya berarti mengingkari Rasulullah. Karena Rasul perintah agar mengikuti jejak langkah Khulafā’ al-Rāsyidīn[1].

Namun, hal itu masih menimbulkan perdebatan. Apakah Rasulullah ketika berujar seperti itu dalam kondisi tahu atau tidak (bahwa akan ajarannya akan diselewengkan)? Hal itu dijawab oleh KH. Abul Fadhol Senori, “kalau tidak tahu, berarti kalian harus membersihkan mulutmu dari ucapan itu”.[2]

Kalau Rasulullah dalan kondisi tahu, maka disanggah oleh beliau dengan pertanyaan. Pertama, apakah Rasulullah tahu kalau para sahabat akan menyelewengkan sunnahnya? Kedua, apakah Rasulullah tahu kalau para sahabat tidak akan menyelewengkan sunnahnya?

Apabila memang dalam kondisi pertama, maka umat Islam harus meyakini bahwa Rasulullah telah menipu. Karena beliau yang memerintah mengikuti sahabat. Apabila yang kedua, maka disanggah lagi oleh KH. Abul Fadhol, “Apa yang membuat kalian melarang untuk mengikuti sahabat?”. Ketika dijawab, “Kita mengikuti yang tidak menyalahi sunnah.” Maka dijawab lagi oleh beliau, “kalau begitu kalian harus menyamarakatan para sahabat yang lain. Lalu apa tujuan Rasul memberi kekhususan kepada Khulafā’ al-Rasyidin?

Baca juga:  Di Leiden-Belanda, Pengajian Nashaihul Ibad Tetap Berlangsung

Secara global dapat disimpulkan bahwa memang betul Umar ibn Khattab merupakan peletak bid’ah. Namun, bid’ah tersebut bukan pada keberadaan Tarawih itu sendiri, bukan pada dua puluh rakaatnya, bukan pula pada jamaah Tarawih itu. Tapi, hanya pada mengumpulkan semua orang agar salat dengan satu imam[3].

 

[1]  كما في الحديث: فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين

[2]  كما ورد المتن: قد قلت قولا يجب تطهير الفم عنه

 

[3] Ibid, 19.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top