“Pendapatku benar, akan tetapi dimungkinkan salah. Sementara pendapat orang lain salah, akan tetapi mengadung kemungkinan benar”. Jargon yang dinisbatkan kepada Imam Syafi’i ini mengandung beberapa hikmah yang bisa kita petik. Pertama, dalam menyatakan pendapat, selama dilakukan dengan cara, metodologi dan argumen yang baik kita harus meyakini kebenaran pendapat kita. Kedua, kita mesti menghormati pendapat orang lain selama pendapat itu dikemukakan dengan cara-cara yang benar. Ketiga, kebenaran sebuah pendapat pada dasarnya bersifat sangat relatif. Ia bisa jadi benar sekaligus bisa keliru.
Kekeliruan sebuah pendapat tidak serta merta dianggap sebagai sebagai hal yang tercela. Bahkan, jika memang prosedurnya dilakukan dengan cara-cara yang sahih, pendapat seseorang yang keliru tetap mendapatkan satu pahala berkat kerja intelektualnya dalam mengerahkan segala kemampuannya. Jika pendapatnya benar, maka ia akan mendapatkan dua ganjaran sekaligus. Hal ini sesuai dengan kandungan makna sebuah hadis: Ketika seorang hakim memutuskan sebuah perkara dengan sebuah ijtihadnya, lalu putusannya tepat dan benar maka ia mendapatkan dua pahala. Sedangkan jika ia keliru dalam ijtihadnya maka ia mendapatkan satu pahala (HR. Imam Bukhari)
Perbedaan pendapat sendiri merupakan sebuah keniscayaan (sunnatullah). Bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri bersabda bahwa perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu merupakan sebuah rahmat bagi umatnya.
Tradisi berbeda pendapat di kalangan pesantren sudah lama terjadi. Perbedaan pendapat dikemukakan oleh para santri di dalam forum-forum akademik seperti di forum Bahstul Masail dan musyawarah-musyawarah keilmuan lainnya. Bahkan kita sendiri kerap mendengar perbedaan pendapat di kalangan para kiai dalam menyikapi persoalan-persoalan tertentu. Meski demikian, perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu dilakukan dengan cara-cara yang santun. Perbedaan pendapat beserta perdebatannya sekeras apa pun jika dikemukakan dengan cara yang baik ia mengandung kemaslahatan.
Jika kita tengok ke belakang, perbedaan pendapat sudah terjadi di masa-masa awal Islam. Bahkan saat Nabi Muhammad SAW masih hidup, para sahabat kerap kali berbeda dalam memahami pesan utama dari sabda Nabi. Misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Umar RA, bahwa saat Kembali dari Perang Ahzab Nabi Muhammad SAW bersabda:
لا يُصليَنَّ أحدٌ العصر إلا في بني قريظة
Hadis ini secara literal bermakna: Janganlah kalian salat Asar kecuali di Bani Quraizah. Sejumlah sahabat Nabi memahami hadis tersebut secara tekstual dengan tidak melakukan salat Asar di perjalanan melainkan bersegera untuk sampai di Bani Quraizah dan salat di sana. Sementara Sebagian sahabat lain memaknai hadis ini dengan cara kontekstual. Yakni mereka melakukan salat Asar di perjalanan. Sesampainya di Bani Quraizah mereka menyampaikan perbedaan pemahaman atas sabda Nabi tersebut kepada beliau. Lalu apa sikap Nabi? Nabi tidak mencela kedua kelompok sahabat yang berbeda memahami sabdanya, melainkan membiarkan perbedaan itu terjadi. Keduanya sama-sama benar. Keduanya telah berijtihad dengan kemampuannya masing-masing.
Sikap Nabi Muhammad SAW. atas perbedaan pendapat yang terjadi di antara para sahabatnya ini di satu sisi membuktikan bahwa otak manusia berbeda-beda. Di sisi lain perbedaan pendapat bukanlah hal yang perlu dicela dengan catatan dilakukan dengan cara-cara yang baik. Hal ini menjadi cerminan bagi kita semua sebagai umat Nabi Muhammad SAW untuk bisa berlaku arif dan bijaksana dalam menyikapi perbedaan pendapat.