Sedang Membaca
Panduan Ijtihad untuk Milenial
Khoirul Anas
Penulis Kolom

Mahasiswa S2 UIN Sunan Ampel Surabaya Prodi Ilmu al-Qur'an dan tafsir dan staf pengajar di Ma’had aly Nurul Jadid.

Panduan Ijtihad untuk Milenial

Ketika mendengar kata “ijtihad” bagi sebagian orang mungkin akan merasa bahwa kata tersebut sangatlah agung, mengingat makna literalnya adalah berfikir keras. Ijtihad bisa dikatakan sebagai pintu masuk untuk memproduksi hukum Islam dengan berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan keduanya bisa “berbicara” ketika ijtihad dilakukan, minimal berijtihad untuk memahami teks dan konteksnya.

Namun pertanyaannya di sini apakah ijtihad di era milenial ini masih dibutuhkan? mengingat ada sebuah fatwa yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup dan anggapan bahwa hukum-hukum Islam telah mapan dan tersusun rapi dalam kitab-kitab klasik yang dikarang oleh para mujtahid dan imam-imam besar pada masanya. Sehingga untuk generasi selanjutnya tidak perlu untuk bersusah payah melakukan ijtihad, akan tetapi cukup bagi mareka membuka dan membolak-balikkan kitab-kitab yang telah dikarang pendahulunya dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Perlu diketahui bahwa pada mulanya, fatwa ini memiliki tujuan positif yakni untuk mencegah orang-orang yang tidak memenuhi kriteria sebagai seorang mujtahid memberikan fatwa-fatwa pada umat tentang hukum syari’at sehingga menyebabkan sebuah simpang siur yang dapat membingungkan umat Islam.

Disamping tujuan baik dari fatwa tertutupnya pintu ijtihad, tidak dapat dipungkiri pada akhirnya fatwa tersebut memberikan dampak negatif perkembangan ijtihad terlebih pada umat Islam, karena para pengikut mazhab itu merasa puas, sehingga menganggap tidak perlu untuk melakukan ijtihad kembali, hal ini melemahkan dan menghilangkan daya ijtihad di kalangan umat Islam. Hukum-hukum Islam yang awalnya dinamis menjadi statis dan kaku sehingga Islam dianggap tidak shālih li kulli zamān wa makān. Dengan membuka pintu ijtihad berarti membuat setiap permasalahan baru yang dihadapi umat Islam dapat diketahui hukumnya. Sehingga hukum Islam akan selalu berkembang dan menajwab tantangan zaman.

Baca juga:  Benarkah Islam Melarang Penggunaan Akal Dalam Beragama?

Pada dasarnya setiap muslim yang mampu untuk melakukan ijtihad diharuskan untuk berijtihad dalam segala aspek hukum syariah dengan syarat dia harus memenuhi kriteria untuk bisa menjadi seorang mujtahid, karena dengan adanya ijtihad seorang muslim bisa mendinamisir hukum Islam dan mengkoreksi kekeliruan dan ke khilafan dari ijtihad yang pernah dilakukan muslim lain sebelumnya.

Imam Syafi’i, memang pernah mengatakan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang tidak ada hukumya dalam al-Qur’an. Namun yang dimaksud bukanlah ketentuan-ketentuan rinci al-Qur’an untuk berbagai kasus yang muncul di berbagai tempat dan zaman. Dalam kitab al-Umm-nya Imam Syafi’i menegaskan bahwa al-Qur’an memerintahkan umat manusia untuk menggunakan akal dalam menyelesaikan berbagai persoalan, oleh karena itu apabila seseorang menggunakan akalnya untuk mengkaji berbagai isu yang tidak secara eksplisit dijelaskan dalam al-Qur’an, maka sesungguhnya ia telah mengamalkan ajaran al-Qur’an.

Lebih lanjut, untuk mengetahui urgensi ijtihad, layak untuk melihat fungsi dari ijtihad itu sendiri yang terbagi atas tiga macam, yaitu:

  1. Fungsi al-rujū’ atau al-i’ādah (kembali), yaitu mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada sumber pokok, yakni al-Qur’an dan Sunnah Shahīhah dari segala interpretasi yang kurang relevan.
  2. Fungsi al-ihya’(menghidupkan), yaitu menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan semangat ajaran Islam agar mampu menjawab dan menghadapi tantangan zaman.
  3. Fungsi al-ibānah (pembenahan), yaitu membenahi ajaran-ajaran Islam yang telah diijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya kekurang cocokan sesuai dengan kontek zaman, keadaan dan tempat yang kini kita hadapi.
Baca juga:  Memahami Intoleransi Secara Struktural: Bercermin dari Kasus Kemendikbud

Dalam hal ini suatu hal yang perlu dicatat juga, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Baqillani bahwa ijtihad harus diorientasikan pada tajdīd (pembaharuan) karena setiap periode memilki karakteristiknya sendiri sehingga menentukan perubahan hukum. Sedangkan Abd al-Shakur dalam “muslimat al-thabut” mengharuskan ijtihad selalu mengacu pada pembaharuan yang bertujuan untuk mencaari kebenaran.

Melihat kondisi zaman yang sudah jauh berbeda dengan kondisi ulama mujtahid ketika mereka menformulasikan hukum Islam, penulis rasa harus adanya usaha dari para pemikir Islam untuk melakukan reaktualisasi hukum yang dapat menghasilkan formulasi hukum Islam yang baru sehingga dapat menuntun kehidupan keagamaan dan kedunianan umat Islam, sesuai dengan persoalan zamannya. Begitu pentingnya melakukan ijtihad sehingga Rasulullah SAW bersabda:

إذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثَمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

“Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian dia benar, maka ia mendapatkan dua pahala dan apabila dia menetapakan hukum dengan berijtihad kemudian ia salah, maka ia mendapatkan satu pahala” (HR. al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad dari Amr ibn ‘Aṣ).

Sekedar contoh, kesulitan penerapan hukum Islam masa lampau untuk masa kini dapat dilihat dalam ilustrasi di bawah ini.

  1. Sebagaimana diketahui bahwa hampir dalam segala kitab fiqh, tidak ditemui ketentuan tentang pencatatan perkawinan dan tentang batas usia minimal bagi seseorang untuk di bolehkannya nikah. Andaikan fiqh lama itu diterapkan di masa sekarang maka pelaksanaan perkawinan akan kacau.
  2. Begitu pula dalam semua kitab fiqh yang mengatur tentang perceraian dibicarakan bolehnya terjadi perceraian di mana saja, kapan saja dan oleh siapa saja; tidak harus di pengadilan. Kalau ketentuan ini di berlakukan pada masa sekarang maka akan berdampak pada rusaknya kehidupan rumah tangga.
Baca juga:  Narasi Besar dan Kontra-Narasi Sarung Pria

Agar hukum Islam dapat tetap relevan untuk mengatur kehidupan umat islam di era milenial ini maka diperlukan hukum Islam dengan bentuknya yang baru dan tidak harus mengambil alih kitab fiqh yang lama. Hal ini meniscayakan sebuah ijtihad yang berorientasi pada pembahatuan (tajdīd).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top