Sedang Membaca
Imam Ibn Malik, Karamah Bait dan Alfiyah

Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI tahun 2020-2024. Sekarang diamanahi sebagai Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf, Kemenag RI.

Imam Ibn Malik, Karamah Bait dan Alfiyah

Waryono

Selain menghafalkan Al-Quran, salah satu prestasi sekaligus bisa menjadi prestise bagi kalangan santri tradisional adalah berhasil menghafalkan seribu bait nazam Alfiyah.  Ya, sejak dahulu para santri mengidamkan diri mereka untuk dapat menghafalkan gramatikal Arab berbentuk puisi ini. Saya termasuk di antara santri yang memiliki keinginan itu saat “nyantri” di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin.

Kitab Alfiyah Ibnu Malik merupakan salah satu kitab disiplin ilmu Nahu yang legendaris. Meskipun banyak sekali kitab-kitab serupa dalam ilmu tersebut yang telah ditulis oleh para ulama lintas generasi dan lintas geografi, kitab Alfiyah mendapatkan tempat tersendiri.

Kitab ini disusun oleh seorang ulama kelahiran kota Jayyan Andalusia yang dalam Bahasa Spanyol biasanya ditulis dengan xaˈen. Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdullah bin Malik yang di kemudian hari lebih populer dipanggil dengan nama Ibnu Malik. Sebuah nama nisbat kepada moyangnya. Para ulama berbeda pendapat mengenai hari lahirnya. Ibn Qadhi Syuhbah misalnya mengatakan bahwa ia lahir pada tahun 598 Hijriyah. Sementara Ibn Katsir, al-Fairuzabadi dan al-Suyuthi berpendapat bahwa Ibnu Malik lahir pada tahun 600 H.

Mula-mula ia belajar kepada ulama-ulama yang mengajar di kota kelahirannya, Jayyan. Lalu ia mengelana ke beberapa pusat keilmuan pada saat itu. Ia pergi ke wilayah Timur (Bilad al-Masyriq yang kini meliputi wilayah Palestina, Jordania dan Libanon), lalu ke Mesir hingga ke Damaskus. Di kota terakhir itu ia bukan hanya sekadar belajar, melainkan mengajar sejumlah ilmu yang dikuasainya seperti ilmu Qira’at dan Ilmu Nahwu. Salah satu muridnya yang paling terkenal adalah Imam al-Nawawi, ulama produktif lintas disiplin ilmu yang kitab-kitabnya seperti Riyadussalihin, al-Adzkar dan Minhaj al-Thalibin dipelajari di pondok-pondok pesantren di Indonesia hingga sekarang. Ibnu Malik wafat pada tahun 672 H di kota Damaskus.

Baca juga:  Konsep Fikih Menjaga Lingkungan (1): Menyoal Pertambangan dan Pemerintah

Nazam Alfiyah Imam Ibnu Malik mengantarkan penulisnya terbang tinggi melintasi batas-batas ruang dan waktu. Meskipun ia hidup di abad ketujuh Hijriyah dan lahir serta hidup di kawasan Andalusia dan Damaskus, namanya dikenal di hampir seantero dunia Islam. Tak terkecuali di Indonesia.

Kitab Alfiyah Ibnu Malik mendapatkan respons berupa karya komentar dari para ulama lintas zaman dan lintas daerah. Tidak hanya ulama dari kawasan Timur Tengah yang menulis komentarnya, sejumlah ulama Indonesia juga ikut di dalamnya. Misalnya Kiai Fadhal Senori Tuban yang menulis komentar atas kitab tersebut dengan judul “Tashil al-Masalik fi Alfiyyah Ibn Malik”. Tidak hanya itu, di Indonesia kitab ini telah diterjemahkan ke dalam sejumlah bahasa. Baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah seperti Jawa, Melayu, Sunda, dan lain sebagainya.

Setidaknya kitab Alfiyah sejak abad ke-19 Masehi telah beredar di kawasan Nusantara. Hal ini dibuktikan dengan adanya bukti salinan manuskrip kitab ini yang kini tersimpan di sejumlah perpustakaan maupun masih menjadi koleksi pribadi di pesantren-pesantren. Kitab berupa nazam sejumlah 1002 bait ini dipelajari dan dihafalkan oleh para santri di pondok pesantren hingga kini.

Meskipun ia telah wafat ratusan tahun yang lalu, namun jasanya untuk ilmu dan pengetahuan terus dirasakan oleh umat Islam. Pahalanya terus mengalir meskipun jasadnya telah bersemayam. Ini merupakan salah satu bentuk karamah nyata dari seorang ulama yang menulis karya dengan penuh ketulusan. Semoga kita semua bisa meneladani beliau!

Baca juga:  Ajip Rosidi, Rancage, dan Menghadiahi Buku

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top