Sedang Membaca
Tradisi Kawalu Suku Baduy yang Pancasilais
Amanda Fitri Yana
Penulis Kolom

Mahasiswa. Instagram @Amandafyn. Email Amanda22jan@gmail.com. Guide (virtual) Indonesia Generasi Literat

Tradisi Kawalu Suku Baduy yang Pancasilais

Baduy Kawalu Cnnindonesia

Ratusan suku bangsa di Indonesia memiliki banyak sekali kearifan lokal yang memuat nilai-nilai moral di dalamnya. Nilai-nilai itu menyatu dalam kehidupan masyarakat setempat, menjadi pedoman dalam berperilaku dan berinteraksi dengan alam, serta memberi landasan yang kuat bagi pengelolaan lingkungan hidup. Nilai-nilai itu juga membuat hubungan manusia dengan alam menjadi lebih sopan dan selaras sebagai sesama makhluk hidup. Keseimbangan alam dan sumber dayanya pun dapat terjaga.

Di tengah kemajuan zaman, sejumlah suku di Indonesia tetap berusaha menjaga keaslian tatanan sosialnya yang sudah turun temurun, satu di antaranya adalah suku Baduy. Urang Kanekes, orang Kanekes atau orang Baduy atau Badui, merupakan kelompok masyarakat adat suku Banten di wilayah Kabupaten Lebak, Banten.

Populasi Baduy sekitar 26.000 orang. Mereka merupakan salah satu suku yang mengisolasi diri mereka dari dunia luar. Bahkan  bagi mereka, tabu untuk difoto, khususnya penduduk  yang tinggal di wilayah Baduy Dalam.

Kata “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut. Berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya menyamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi, masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya sungai dan gunung Baduy di bagian Utara wilayah tersebut.

Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau orang Kanekes, sesuai dengan nama wilayah mereka, atau  sebutan  yang  mengacu  kepada  nama  kampung  mereka  seperti urang Cibeo (Baca: Garna, 1993). Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, penulisan yangtepatadalahBadui, bukanBaduy.

Baca juga:  Tradisi Pukul Sapu di Maluku, Membentuk Perilaku Prososial
Whatsapp Image 2020 08 18 At 1.30.28 Pm
Masyarakat Baduy berjalan kaki dari Jembatan Keong menuju Pendopo Kabupaten Lebak, dalam rangka mengikuti Seba Baduy 2019, 4 Mei 2019 (Foto: @BalaiKita @MattBento)

Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, Banten. Jaraknya sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300–600 meter di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah ratarata mencapai 45%.

Wilayah tersebut berupa tanah vulkanik di bagian utara, tanah endapan di bagian tengah, dan tanah campuran di bagian selatan. Suhu ratarata 20° C. Tiga desa utama orang Kanekes dalam adalah Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.

Sehari-hari, orang Badui berbicara dalam  bahasa  Sunda. Namun, ketika  berkomunikasi dengan penduduk luar,  mereka lancar menggunakan bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang “Badui dalam” tidak mengenal budaya tulis, sehingga adatistiadat, kepercayaan atau agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tutur lisan saja.

Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adatistiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di wilayah yang terkenal sangat hijau itu.

Bahkan sejak era Soeharto, pemerintah telah berusaha memaksa untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah tersebut. Namun orang Kanekes tetap menolak. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis (Gloria dalam Mahasiswa UGM menelisik Tradisi Kawalu di Suku Baduy Dalam dalam laman <https://biroumum.bantenprov.go.id/suku-baduy>, diakses pada tanggal 10 Juli 2020)

Baca juga:  Pemenang Lomba Menulis Ramadan Berkah (1): Ibadah Puasa di Tengah Corona

Suku Baduy masih menjaga dan mempraktekkan tradisi nenek moyangnya. Salah satunya ialah tradisi Kawalu. Tradisi Kawalu disebut juga sebagai bulan suci bagi suku Baduy. Tradisi ini dilakukan selama tiga bulan setiap tahunnya (pada bulan Kasa, Karo, Katiga).

Kawalu diisi dengan doadoa untuk memohon keselamatan alam dan manusia. Dalam pelaksanaannya, masyarakat suku Baduy berpuasa selama sehari di tiap bulannya. Selama Kawalu berlangsung, turis lokal ataupun mancanegara, pejabat daerah, dan pejabat negara tidak boleh memasuki wilayah Baduy dalam (Desa Cibeo, Desa Cikawartana, dan Desa Cikeusik).

Tradisi Kawalu juga dimaksudkan sebagai upacara untuk berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar negara ini diberikan rasa aman, damai, dan sejahtera.

Hal ini menunjukkan keberadaan nilai nasionalisme dalam tradisi Kawalu yang dapat mendukung integrasi nasional. Meski pandemi Covid19 turut melanda Indonesia, namun hal ini tak menjadi hambatan bagi suku Baduy untuk tetap melaksanakan tradisi yang juga menjaga suasana guyub.

Whatsapp Image 2020 08 18 At 1.29.13 Pm
Orang Baduy Dalam — warga Cibeo, Cikeusik dan Cikatawarna, Kanekes — duduk menbelakangi masyarakat Baduy Luar, dalam acara Seba Baduy 2019 di Musium Negeri Banten, Kota Serang, Provinsi Banten, Minggu, 6/5/2019 (Foto: Instagram @Balaikita @MattBento)

Ritual Kawalu yang mereka jalankan ini mirip dengan  “lockdown” (karantina wilayah). Ritual ini dilakukan oleh suku Baduy dalam yang tersebar di Kampung Cikeusik, Cibeo dan Cikawartana. Selama menjalani ritual Kawalu di tengah pandemi saat ini, warga Baduy dilarang pergi ke luar daerah, terutama ke wilayah Jabodetabek yang merupakan zona merah covid 19.

Baca juga:  115 Pesantren Suryalaya: Sinarnya hingga Kawasan Asia Tenggara

Begitu juga warga Baduy yang kini tinggal di perantauan, mereka diminta segera pulang ke kampung. Namun, sebelum kembali ke kampung halaman, mereka diwajibkan menjalani pengecekan kesehatan di puskesmas setempat. Tetua dari suku ini pun meminta warga Baduy agar tetap berada di ladang guna mencegah penyebaran Covid-19.

Tentu saja dalam ritual Kawalu tahun ini, suku Baduy dalam memohon agar pandemi Covid-19 segera berakhir, dan berdoa agar Yang Mahakuasa melindungi seluruh korban dari pandemi. Ini bentuk nyata dari implementasi pancasila, bahwa suku Baduy menjalankan nilai gotongroyong dan saling melindungi antar masyarakatnya.

Bahkan luar biasanya, dalam menjalankan tradisinya, mereka tetap mengikuti protokol kesehatan yang diimbau oleh pemerintah Indonesia. Semoga kita mengambil pelajaran dari warga suku Badui. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0

Azan Toleran

Matinya Madrasah Kami

Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top